MOST RECENT

|

M u n a f i k


Cerpen Masriadi Sambo

SETAHUN lalu kantor ini begitu ricuh dengan gelak-tawa. Saban sore, ruang kantor selalu padat. Ada yang sibuk dengan kamera SLR (Single Lens Refleks), ada pula yang sibuk membuat naskah. Untuk dicetak esok pagi. Menyebarkan informasi kepada rakyat negeri. Agar rakyat tak ditipu, agar keadilan ditegakkan. Agar para pejabat tak korup. Dan, dari ruang kecil ini, semua bermula.

Deadline tak lagi menjadi momok yang menakutkan. Bahkan sambil tertawa dengan iringan suara tuts komputer, deadline itu terlewatkan saban hari. Ya, dari situlah semua berkembang. Perlahan dan pasti, media ini semakin besar. Semua masyarakat sudah mengenalinya. Semua pejabat mulai menakutinya. Pejabat korup, selalu menghindar dari para pekerja media ini. Dibangun dari idealisme kru yang luar biasa. Sangat solid dan tangguh.

Tapi, semua itu entah mengapa sirna. Aku tak merasakan gelak-tawa semua kru. Kami menyebutkan diri buruh. Ya, pekerja media juga buruh. Para buruh ini masuk kantor dengan wajah pucat. Ada pula dengan wajah cemberut. Wajah lainnya tak kalah kecut.
Semua berubah. Entah mengapa ini terjadi.

”Ah, sepertinya kita sudah bisa bungkus baju dari kantor. Sudah tak nyaman lagi aku bang,” kata Dede, mengawali perbincangan di warung kopi tempat kami nongkrong saban pagi.

”Ah, yakin kamu. Jangan asal mengeluh. Kalau aku masih lajang. Tak masalah. Siap dengan segala resiko. Aku nggak punya istri sepertimu De,” aku menimpali. Aku ragu benar omongan Dede, temanku itu.

”Ya. Sekarang kalau kamu sudah tak betah di kantor. Ya, kamu keluar. Jangan mengeluh, kalau memang mau bertahan. Sepakat sajalah bagaimana baiknya,” kata Opa sambil minum kopi pahit kesukaannya. Opa orang paling senior diantara kami. Usianya diatas 50 Tahun.

”Aku ikut apa kata teman-teman saja. Kalau sepakat nggak betah di kantor, ya barengan. Kalau sepakat betah, ya senasib lah kita di kantor,” kata Siraj.
”Ah, begini sajalah. Kita bungkus saja semua barang-barang kita. Jadi, sudah tak tahan lagi aku,” kata Dede lagi.

”Setuju,” serempak keempat karyawan kantor itu menjawab. Mereka pun mengajukan pengunduran diri. Pengunduran diri sangat santun, dan lazim dilakukan oleh para karyawan.

Semua teman-teman sibuk mencari tempat bekerja lain. Ada yang bekerja di media regional. Ada pula yang bekerja di media nasional. Ada pula yang memilih konsen jadi politisi. Semua berpencar. Meski begitu, semua masih silaturahmi. Saban pagi, masih minum kopi di tempat biasa. Mengingat kembali kenangan yang setahun lebih telah berjalan.

***
Waktu terus berpacu. Aku sibuk menyelesaikan kuliahku. Selama bekerja, aku kurang perhatian terhadap pendidikan. Kini, kupikir, saatnya serius. Mengakhiri masa panjang studi, dan mempersembahkan gelar sarjana pada ibuku di kampung. Ya, itu yang dia minta. Dia ingin agar putra bungsunya ini menjadi orang kantoran. Memiliki pekerjaan tetap. Keinginan yang mulia.

Kuliahku pun berakhir. Siang ini, aku baru saja mendaftarkan diri sebagai peserta wisuda. Ya, sebentar lagi, aku resmi menyandang gelar sarjana sosial. Dalam perjalanan pulang dari kampus, handphoneku berdering.
“Dimana? Ada baca koran hari ini?” tanya Opa.
“Ah, tidak. Udah lama aku tak baca koran. Paling situs online. Ada apa dengan koran hari ini?” tanyaku heran.
”Dede masuk lagi. Padahal dia yang bilang kalau harus bungkus baju dari kantor. Entah bagaimana anak itu. Cobalah kau tanya?” kata Opa. Dan pembicaraan pun terputus.

Akal sehatku susah menerima itu. Aku heran, temanku yang satu itu. Dia yang paling semangat untuk meninggalkan kantor. Dia pula yang setiap pagi mengatakan kalau sudah tak sanggup dengan iklim di kantor. Mengapa dia pula yang mengawali kembali ke kantor. Aku urungkan niat untuk menelponnya. Kupikir, hidup adalah pilihan. Mungkin dia memilih lain.

Hanphoneku kembali berdering. ”Udah tau informasi yang beredar? Aku dikatakan sebagai biang keluarnya kita dari kantor?” kali ini Siraj yang menelpon.

”Wah, aku belum tahu. Aku pikir, masalahnya sudah berakhir. Aku sibuk menyelesaikan kuliahku. Dan, kamu sebagai calon anggota legislatif (caleg). Jadi, kok bisa begitu,” tanyaku heran.

”Entahlah. Padahal Dede yang semangat waktu itu. Kok malah kita yang kena hal yang tak enak. Biarkanlah dia. Pusing aku,” ujar Siraj lagi.

”Ah, sudahlah. Tak usah ngomong sana-sini. Diam saja. Apa pun kejadiannya, kita pernah bekerja di kantor itu. Tak usah memburukkan. Hidup pilihan Bos. Jadi, tak usah saling menjelek-jelekkan. Saling mengganteng-gantengkan diri saja,” kataku sambil terbahak.

Aku kembali berpikir. Mengapa masalah ini tak ada habisnya. Ah, sudahlah. Semua manusia memiliki jalan hidup yang telah ditakdirkan. Jika suatu waktu aku juga kembali ke kantor itu. Aku pikir itu juga takdir. Aku pikir Dede sudah puas dengan pilihannya. Dan, menggelabui semua kami. Munafik. Ya, itulah karakter manusia. Jika sama, maka tak akan ada perang di negeri ini. Tak akan ada pula koruptor. Tak akan ada pula ulama sebagai penceramah. Tak akan ada pula sosok munafik. Hidup memang aneh. Dan, keanehan itu harus dijalani.

”Siraj, Opa. Kalau semua pikiran manusia sama. Maka tak akan perang Aceh ini. Aman selalu. Dan, tak diperlakukan aparat penjaga keamanan. Karena semua orang baik. Karena semua manusia tak perlu diawasi. Semuanya alim. Patuh pada norma. Jika Dede, sudah memfitnah kalian. Tenanglah. Itulah karakter manusia yang berbeda,” tulisku dalam layar sms. Agar Siraj dan Opa tenang. Tak emosi. Dan Tak menaruh dendam.

Markas Biru, 7 April 2009

Publis Oleh Dimas Sambo on 04.05. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added