Orang-Orang Gila di Aceh
Masriadi - KONTRAS
Pascaperang dan tsunami di Aceh, pengidap gangguan jiwa mencapai ribuan orang. Inilah layanan kesehatan yang tidak memadai di provinsi kaya uang. Kontras menelusuri apa yang dialami warga yang kurang beruntung itu.
Ramli Yusuf (45 Tahun), tak pernah bermimpi dalam sejarah hidupnya mengidap gangguan jiwa. Ketika usianya meranjak dewasa, pria ini adalah striker sepak bola. Tatapan matanya tajam. Bola mata itu berputar ke kiri-kanan. Layaknya ingin membagi bola pada teman, dan membidik kelemahan penjaga gawang lawan dan mencetak gol. Dia bermain untuk klub Kijang Putra Kecamatan Paya Bakong. Klub itu satu di antara sekian banyak klub kecamatan yang “sangar” dan kerap memboyong piala.
Bahkan karena kelihaiannya dalam memainkan si kulit bundar tak jarang ia menjadi pemain bayaran dalam berbagai even turnamen bola kaki. Namun, itu semua hanya tinggal kenangan manis yang takkan mungkin kembali. Semua cita-cita anak kedua dari empat bersaudara untuk menjadi pemain tim nasional Indonesia pupus sudah.
Itulah nasib pria warga Desa Tanjong Beurunyong, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Dia tak pernah bermain bola lagi. Saban hari hanya bisa mengembuskan gumpalan asap kretek sembari meratapi nasibnya. Pria tampan ini telah dipasung oleh keluarganya 21 tahun silam. Menurut Erni, adik kandung Ramli, menceritakan kepada Kontras meski mengalami gangguan jiwa, naluri lelaki abang kandungnya itu berjalan normal.
“Suatu hari beberapa teman saya datang berkunjung ke rumah. Saat itu abang saya hanya memandangi dari balik jendela tempatnya di pasung. Matanya tertarik pada teman-teman saya yang menurut Bang Ramli sangat cantik,” kisah Erni. Lalu, ketika teman-temannya pulang, Ramli langsung memanggil Erni dan menanyakan pertanyaan konyol dan menggelikan.
“Dek, ngen kah item meucewek ngon lon han (Dek, teman kamu mau ngak pacaran sama abang?)” tutur Erni menirukan ucapan abangnya kala itu. Gubuk tempat Ramli dipasung hanya berukuran 3 x 4 meter. Udaranya pengab. Tidak ada udara yang mencukupi. Rambut pria itu mulai gondrong. Kumisnya tidak teratur.
Cerita lainnya diutarakan M Husen, abang kandung Ramli. Beberapa tahun lalu ia pernah dilepas dari pasungannya dan itu belangsung lebih dari empat tahun. Namun, terpaksa dipasung kembali karena selain merugikan keluarga, ia juga mengganggu ketentraman banyak orang.
“Saat bebas, kerjanya hanya nongkrong ngebon di warung kopi hingga tagihannya mencapai Rp 400 - 500 ribu per bulannya, belum lagi ulahnya yang suka mengusili warga,” ungkap M Husen pilu. Lanjut Husen, pernah ia menyuruh salah seorang pemuda yang melintas untuk berhenti hanya dengan maksud mengambil paksa jam tangan yang melingkar di tangannya. “Jelas pemuda itu tidak memberi, alhasil bogem mentah mendarat empuk di wajah lelaki tak berdosa itu. Akibatnya, keluarga terpaksa meminta maaf dan menempuh jalur damai,” kenangnya sambil menggelengkan kepalanya.
Sambil menerawang menatap ke atas langit-langit rumah orang tuanya, Husen mencoba berkisah, dulunya sekitar tahun 1980-an, Ramli adalah tipikal pemuda tampan dengan wajah rupawan yang digemari kaum hawa.
Bahkan tak jarang banyak wanita yang menyebut wajahnya menyerupai David Beckam, playmaker (pemain gelandang) asal Inggris. Dengan hanya menyandang ijazah SD, ia termasuk pekerja keras sebagai salah seorang buruh di PTP V Krueng Pase- sekitar 10 kilometer dari tempat tinggal Ramli. Namun, semuanya sirna pada 1989, karena dari situlah semua bencana itu bermula.
Menurut Husen, saat masih menjadi pemain bayaran, Ramli pernah mendapat honor sebesar Rp 10 ribu, namun uang itu hilang. Akhirnya, ia rela mencari uang hasil jerih payahnya itu berhari-hari hingga jatuh sakit. “Pihak kantor mengetahui bahwa Ramli merupakan salah seorang striker handal di Club Kijang Putra Paya Bakong, dan mereka (pihak PTP V) memberi angin surga dengan menawari adik saya untuk bergabung di club mereka. Tawaran itu membuat adik saya berangan tinggi terbang ke awan, namun pada kenyataannya impian tak seindah fakta yang ada. Pihak PTP V membatalkan tawaran itu secara sepihak, akibatnya adik saya menjadi uring - uringan dan ia mencoba menenangkan pikirannya dengan mengonsumsi narkoba jenis ganja,” ungkap Husen.
Kondisi itu terus berlangsung lama hingga Ramli berhenti bekerja dan menghabiskan waktunya hanya dengan melamun dan terjerumus untuk menghisap ganja. Tak lama berselang, ia mulai berbicara sendiri dan sesekali tertawa bahkan menangis. “Itulah awal mula kehancuran hidupnya dan itu terjadi sebelum ia sempat membina rumah tangga,” ujar Husen. Karena suka mengamuk dan mengambil harta benda milik orang lain, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk memasungnya dan itu berlangsung dari 1989 hingga akhir 2002. Tepat tanggal 1 Januari 2003, Ramli dibawa ke RSJ Banda Aceh untuk menjalani perawatan intensif hingga 1 Juni 2004. “Pihak RSJ mengizinkan kami untuk membawanya pulang karena sesuai hasil pemeriksaan, kondisi kejiwaan adik saya lumayan stabil,” ungkap Husen.
Sepulang menjalani perawatan di RSJ, pihak keluarga memutuskan untuk melepaskan pasungannya dan ia pun bebas pergi seperti warga lainnya selama beberapa tahun. Namun, itu hanya berlangsung sekejab karena setelah itu ia kembali mengamuk dan mengganggu warga. Atas pertimbangan ketentraman warga desa, pihak keluarga memutuskan kembali memasungnya pada 1 Juni 2009 lalu.
Sehari-hari di gubung tempat pemasungan, Ramli ditemani ibu kandungnya, Hamidah (80 Tahun). Wanita renta inilah yang setia menemani Ramli berbicara. Mengajak Ramli berdiskusi tentang banyak hal. Hamidah berharap putranya pulih kembali. Sesekali kesadarannya pulih. Ramli meminta dibelikan tabloid olahraga. Maklum, dia mantan striker. Sebenarnya, ia sendiri tidak paham dengan isi yang tertera di koran, namun ia hanya suka melihat-lihat sambil mengoceh tak tentu.
Dalam gubuk itu, ia hanya duduk berdiam diri dengan sebelah kaki yang terpasung kayu sepanjang 60 centimeter, sehelai tikar kumal dan bantal lusuh menjadi teman setia. Saat ini pihak keluarga hanya bisa berpasrah karena telah kehabisan dana untuk membawa Ramli berobat. Keluarga tidak memiliki lagi uang untuk berobat. Bantuan pemerintah pun tak kunjung tiba. Padahal, UU 23/2002 tentang Pokok-pokok kesehatan mengamanahkan bahwa orang yang mengidap gangguan jiwa tidak boleh dipasung. Bahkan diharamkan. Pemasungan bukan solusi penyembuhan. Pemasungan hanya membuat penderita semakin menderita, tenggelam dan larut dalam pikirannya yang semakin kacau. Untuk Aceh Utara, informasi yang dihimpun Kontras, sebanyak 20 masyarakat yang di pasung di berbagai kecamatan dalam kabupaten itu. Penyebabnya pun variatif, ada yang mengidap gangguan jiwa karena kecanduan narkoba, ada pula karena himpitan ekonomi, putus cinta dan ditinggal mati keluarga ketika tsunami terjadi di Aceh, 2004 silam. Sebanyak 120 penderita gangguan jiwa di seluruh kabupaten/kota saat ini dipasung oleh keluarganya di Aceh. Angka yang sangat memprihatinkan.
Kalangan DPRK Aceh Utara, mendesak Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk membuat program mendirikan rumah sakit jiwa. Jika melihat luar areal Aceh, idealnya Aceh membutuhkan dua rumah sakit jiwa lagi, yaitu di berada di Lhokseumawe untuk kawasan timur, dan barat-selatan idealnya berada di Meulaboh, Aceh Barat.
“Aneh sekali, Aceh hanya memiliki rumah sakit jiwa satu. Provinsi lain, rumah sakit jiwa sampai lima seperti di Jawa Tengah. Kita masih kurang memperhatikan soal kesehatan,” kata anggota DPRK Aceh Utara, Muhammad HR. Hal senada disebutkan oleh anggota DPRK Lhokseumawe, Amir Gani. Politisi Partai Demokrat Lhokseumawe ini menyebutkan, seharusnya rumah sakit jiwa memang diberdirikan di Aceh. Ini untuk menangani masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga cerita mirisnya dipasung tidak terdengar lagi di seluruh provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu.
Penanganan masyarakat yang mengidap gangguan jiwa pun belum maksimal. Hanya ada rumah sakit umum ditambah satu atau dua orang dokter spesialis syaraf di semua daerah. Di RSUD Cut Mutia, hanya ada satu dokter spesialis syaraf. Tentu, tidak mungkin melayani ribuan orang yang mengidap gangguan jiwa.
Ditambah lagi angka gangguan jiwa di Aceh Utara mencapai 2.212 orang. Angka ini dihimpun Dinas Kesehatan Aceh Utara sejak akhir Desember 2009-Januari 2010. “Selain perlu RSJ. Kita harus menyediakan dokter spesialis syaraf di rumah sakit daerah. Ini untuk memberi pelayanan yang baik,” kata Muhammad.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara, Muhammad Hasan, membantah bahwa layanan untuk pasien gangguan jiwa tidak maksimal. Dia menyebutkan, pihaknya telah memberikan pendidikan khusus bagi satu orang dokter umum, dan dua tenaga medis di 27 Puskesmas di Aceh Utara. “Orang mengalami gangguan jiwa memang harus ditangani khusus. Makanya, kami didik dokter umum dan tenega medis, teknik dasar penanganan pasien gangguan jiwa,” kata Hasan.
Lebih jauh dia menyebutkan, pihaknya juga mengunjungi pasien yang dipasung. Memberikan obat per satu minggu sekali. Plus, melatih keluarga pasien cara meramu obat dan meminum obat yang tepat. Hasan mengakui, dinas yang dipimpinnya tidak memiliki psiater untuk melayani masyarakat gangguan jiwa. Namun, kata Hasan, pihaknya bekerjasama dengan ExxonMobil menyediakan psiater dari Medan, Sumatera Utara. Psiater itu datang ke Aceh Utara per bulan. Lalu, bagaimana biaya pengobatan? “Untuk pasien gangguan jiwa, semuanya gratis. Tapi, masalahnya, masyarakat kita tidak mau melaporkan ke dinas, kalau ada saudaranya yang mengidap gangguan jiwa. Alasannya malu. Ini sangat menyulitkan kami,” kata Hasan. Ini pula menjadi penyebab, sehingga data orang yang dipasung pada Dinkes Aceh Utara hanya sebanyak tiga orang. Padahal, sumber Kontras menyebutkan jumlahnya mencapai 20 orang.
Hasan menambahkan, pihaknya tidak mengirimkan ke RSJ Banda Aceh, karena kapasitas rumah sakit itu sudah tidak mampu menampung pasien baru. Sehingga, penanganan terpaksa dilakukan ditingkat kabupaten. Saat ini, RSJ Banda Aceh, berkapasitas maksimal 350 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat sudah melebihi kapasitas.
Selain itu, Hasan menyebutkan perlu keterlibatan lintas sektor untuk menekan angka gangguan jiwa di Aceh. “Misalnya, perlu turun Disperindagkop, setelah pasien sembuh. Harusnya diberikan modal usaha, sehingga mereka tidak lagi mengalami tekanan ekonomi,” pungkas Hasan. Untuk seluruh Aceh, data dari RSJ Banda Aceh, jumlah penderita mencapai 46.000 orang. Kontras, menghimpun data penderita gangguan jiwa dari berbagai kabupaten/kota di Aceh.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 527 | Tahun XI 4 - 10 Februari 2010