MOST RECENT

|

Banyak Rintangan Menghadang Ekspor




Masriadi - KONTRAS
Tak mudah menggeliatkan pelabuhan-pelabuhan di Aceh untuk mengekspor aneka barang. Belum apa-apa, pengusaha di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sudah pasang kuda-kuda: Membeli hasil kebun Aceh dengan harga tinggi, sehingga petani lebih tertarik menjualnya ke Belawan ketimbang diekspor melalui Krueng Geukuh. Taktik sementara pengusaha Belawan?


MATAHARI menyengat kulit bumi Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Beberapa tenaga kerja, aparat bea cukai dan lain sebagainya tampak duduk di arena bibir Pelabuhan Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara. Pelabuhan itu kini berstatus internasional. Masyarakat Aceh berharap, pelabuhan ini bisa difungsikan untuk pelabuhan barang dan pelabuhan umum. Sehingga, ekonomi Aceh bisa terbuka. Pasalnya, selama ini, pengusaha Aceh membeli barang-barang dari Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara. Akibatnya, harga barang di Aceh terlalu tinggi. Masyarakat pun mengeluh.

Sebelumnya, frekuensi bongkar-muat yang dilansir PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Krueng Geukuh, di Pelabuhan Krueng Geukuh sangat minim. Tahun 2006, aktivitas bongkar di pelabuhan hanya sebanyak 252.362 ton, sedangkan untuk muat hanya sebesar 152.326 ton. Sedangkan untuk kapal penumpang nol persen dalam kurun waktu 2003-2006. Ketika konflik, pelabuhan ini sering digunakan oleh pasukan kemananan. Bahkan distribusi personel dan logistik tempur juga dilakukan dari pelabuhan ini.

Pascaperang dan tsunami, Pemerintah Aceh Utara, tahun lalu membentuk tim pemberdayaan ekspor komuditi Aceh (PEKA). Surat keputusan pembentukan tim ini dikeluarkan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, tahun lalu. Tugas tim ini bekerja mendatangkan kapal dan para importir ke Aceh Utara, sehingga geliat pelabuhan semakin terasa

“Komoditi kita cukup untuk kita jual ke luar Aceh langsung dari Krueng Geukuh. Saya contohkan, misalnya pinang. Rata-rata dua hari sekali, 700 ton pinang per dua hari. Meski ini pada kondisi musim panen. Kalau kondisi tidak musim panen, 200 ton per dua hari ada barang,” kata Ketua PEKA, Syahruddin Hamzah, baru-baru ini.

Dia menyebutkan, tahun 2007 pihaknya telah berusaha untuk mendatangkan kapal-kapal agar masuk ke pelabuhan. Namun, hasilnya nihil. Meski begitu, mereka terus berupaya untuk menggerakkan pelabuhan. Mendatangkan importir, dan menghimpun kekeuatan eksportir di Aceh Utara. Informasi yang dihimpun Kontras, gerakan rencana ekspor dari Aceh ini mendapat “perlawanan” dari sejumlah pengusaha di Medan, Sumatera Utara. Pasalnya, jika pelabuhan di Aceh melakukan aktivitas ekspor, maka komuditas yang diekspor dari Medan akan menurun drastis. Strategi yang dimainkan adalah dengan menaikkan harga beli di Medan, sehingga pedagang Aceh menjual barang ke Medan melalui jalur darat.

Persoalan lainnya adalah minimnya dukungan perbankan pada kalangan pengusaha ekspor di Aceh. Syahruddin Hamzah menyebutkan, dirinya sudah berkali-kali mendatangi seluruh bank di Lhokseumawe untuk meminta agar diberi kredit pada pengusaha ekspor. Tentu dengan jaminan yang memadai. Namun, perbankan meminta agar pengusaha harus berpengalaman di bidangnya (ekspor-impor) minimal dua tahun. Jika tidak, tidak akan mendapatkan dana segar dari perbankan.

Anehnya lagi, Bank BPD Aceh yang notabene sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota juga tidak mau memberikan kredit. Untuk itu, Syahruddin Hamzah meminta agar Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengintervensi Bank BPD Aceh. “Jika tidak, maka rencana ekspor hanya sebatas wacana,” kata pria berkacamata itu.

Jika mendengar kabar bahwa pelabuhan di Aceh akan memulai ekspor, maka harga komoditas di Medan, Sumatera Utara, langsung meroket. Ini pula yang membuat pedagang pengumpul komoditas tak sanggup menahan godaan harga mahal itu. Solusi mengatasi persoalan ini adalah komitmen Pemerintah Aceh untuk menggerakkan ekspor dan membuka jaringan sekuat mungkin dengan negara tetangga. Sehingga, persaingan antara Medan dan Aceh ini bisa diakhiri.

Dari persaingan harga antara Medan dan Aceh ini menunjukkan kondisi iklim bisnis yang kurang sehat. Semakin memilukan, Keputusan Menteri Perdagangan No 56/2008 tentang lima jenis barang impor tidak memasukkan pelabuhan Aceh di dalamnya. Lima jenis barang impor itu adalah tekstil, makanan, mainan anak-anak, alas kaki, dan elektronik. Tidak satu pun pelabuhan di Aceh yang boleh melakukan impor lima jenis barang itu. Artinya, untuk Aceh, harus melalui Medan.

Persoalan ini tentu membutuhkan energi ekstra dari Gubernur Aceh. Gubernur harus meminta kekhususan Aceh di bidang perdagangan. Misalnya, dengan meminta Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, memasukkan salah satu pelabuhan Aceh dalam daftar pelabuhan yang bisa menerima lima jenis barang impor tersebut.

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh Utara, Teuku Moni Alwi, menyebutkan, jumlah eksportir di Aceh Utara terbilang kecil. “Hanya dua puluhan orang. Namun, ini karena pelabuhan tidak dibuka. Makanya, tidak banyak pengusaha yang bekerja di bidang ekspor. Selain itu, faktor konflik panjang juga mempengaruhi iklim bisnis ekspor ini,” terang Moni.

Dia menyebutkan, Kadin komit mendorong pelaku usaha untuk melakukan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. “Saya sudah menyebutkan ke semua asosiasi pengusaha, maupun personal, agar melakukan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Saya pikir, dalam waktu dekat ini, akan semakin baik iklim bisnis di Aceh,” kata Moni.

Dia berharap, pihak pelabuhan mempermudah para eksportir dari segi administrasi. Sehingga, para eksportir ini bersemangat melakukan kegiatan bisnis. “Jangan sampai nanti, pelabuhan dibuka. Namun, pengusaha dipersulit dengan hal-hal administrasi yang berbelit-belit. Ini tidak bagus. Saya minta, agar Pelindo mempermudah nantinya, ya tentu dalam koridor hukum,” terang Moni.

Lebih jauh dia menyebutkan, pihaknya telah sepakat dengan Pelindo untuk mempermudah pengusaha ekspor di Aceh Utara. Di tempat terpisah, Kepala Bagian Humas, PT Pelindo, Krueng Geukuh, Sempat Manik, menyebutkan fasilitas pelabuhan sudah sangat memadai untuk masuknya kapal. Secara administrasi Pelindo dan instansi pelabuhan seperti bea cukai, adpel dan lain sebagainya sudah sepakat untuk menggerakkan pelabuhan. Caranya, mempermudah para pengusaha, namun sebatas itu tidak melanggar hukum dan ketentuan yang berlaku.

“Kalau fasilitas kita sudah cukup. Sudah sangat memadai. Crain, gudang, dan lain sebagainya sudah sangat memadai. Tinggal lagi, komitmen bersama untuk menggerakkan pelabuhan ini. Kita sudah siap, gudang sudah siap dan lain sebagainya,” kata Sempat Manik. Dia berharap, komitmen bersama semua pihak bisa membuat pelabuhan bergerak, dan para pelaku usaha bisa mudah mengimpor atau mengekspor barang ke luar negeri.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Djakarta Lloyd bidang transportasi laut menyebutkan pihaknya komit membuka rute ke Aceh. Namun, pihaknya juga sangat berhati-hati. Karena khawatir ketiadaan barang dari Jakarta untuk diangkut ke Aceh. Kapasitas kapal yang dimiliki oleh perusahaan negara itu mencapai 200 kontainer untuk sekali jalan.

Untuk tahap awal, akan dibuka jalur transportasi pengangkutan barang Jakarta-Batam-Medan-Krueng Geukuh-Banda Aceh. Jalur ini merupakan jalur terbaru yang dibuka perusahaan milik negara itu. Bahkan, enam kontainer barang telah disiagakan di Krueng Geukuh dan 30 kontainer lainnya telah disiagakan di Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh. Pelabuhan sudah siap, tinggal lagi, bagaimana komitmen perbankan dan semua pihak untuk memotong harga di Medan, Sumatera Utara, sehingga pelabuhan Aceh bisa berjasa, seperti masa Iskandar Muda tempo dulu.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 525 | Tahun XI 21 - 27 Januari 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.31. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Banyak Rintangan Menghadang Ekspor"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added