Aceh Utara Terlilit Masalah Kas Terbobol, Uang Dipinjam
Masriadi - KONTRAS
Pascabobolnya kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar di Bank Mandiri Jelambar, kini Aceh Utara sulit mendanai pembangunannya. Daerah itu pun berencana mengutang ke perbankan. Elemen sipil dan mahasiswa mulai mengancam menurunkan massa untuk menolak utang.
Jika melihat dari luar, seolah Aceh Utara masih memiliki kemampuan yang cukup kuat membangun daerah yang pernah dijuluki kabupaten kedua terkaya di Indonesia, setelah Kutai Kertanegara itu. Namun, lihatlah alokasi anggaran daerah tersebut. Kini, Aceh Utara tinggal tong kosong. Pondasi dana yang dulu diagung-agungkan telah sirna. Berharap pada pendapatan asli daerah (PAD) suatu hal yang mustahil. Pasalnya, daerah yang memiliki 27 kecamatan itu hanya mampu menargetkan PAD sebesar Rp 38,2 miliar untuk tahun ini. Sedangkan tahun sebelumnya, PAD Aceh Utara hanya sebesar Rp 78 miliar.
Angka itu tentu tidak cukup untuk menutupi pembangunan satu kecamatan pun. Sedangkan sumber dari dana perimbangan sebesar Rp 618, 8 miliar serta pendapaan lainnya yang sah sebesar Rp 13,7 miliar. APBK Aceh Utara tahun ini diperkirakan sebesar Rp 763, 8 miliar. Hal itu terlihat dari kebijakan umum anggaran (KUA) dan plafon prioritas anggaran sementara (PPAS) tahun 2010 yang kini sedang dibahas di DPRK setempat. Untuk menutupi kekurangan belanja pembangunan itu, Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, meminta izin pada DPRK agar meminjam uang sebesar Rp 126 M pada perbankan. Tujuannya untuk menjalankan roda pembangunan. Usulan ini telah dimasukkan eksekutif ke legislatif, 6 Januari lalu. Dewan belum mengamini usulan bupati tersebut.
Untuk melakukan penghematan, sejumlah DPRK dan Bupati pun mulai memikirkan cara lain. Solusi yang diambil adalah merampingkan dinas, kantor dan badan di Aceh Utara. Sebelumnya, tercatat sebanyak 34 dinas, kantor dan badan di pemerintahan itu. Usulan itu disetujui oleh DPRK Aceh Utara. Pada 2 Februari lalu, DPRK setempat mengesahkan qanun satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK). Kini, hanya ada 29 SKPK, dengan rincian 16 dinas, dan 13 kantor dan badan yang dimiliki Aceh Utara.
Adapun ke 16 dinas itu yaitu dinas syariat Islam, dinas pendidikan, pemuda dan olahraga, dinas pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah, dinas kependudukan dan catatan sipil, dinas kesehatan, dinas binamarga, dinas cipta karya, dinas perindustrian dan perdagangan, dinas koperasi dan usaha kecil dan menengah, dinas pertanian dan peternakan, dinas perikanan dan kelautan, dinas pasar, kebersihan dan pertamanan, dinas sosial tenaga kerja dan mobilitas penduduk, dinas kehutanan dan perkebunan, dan dinas perhubungan, pariwisata dan kebudayaan.
Sedangkan 13 kantor dan badan, yaitu badan perencanaan daerah (Bapeda), badan pemberdayaan masyarakat, badan kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat, badan penanggulangan bencana daerah, badan ketahanan pangan dan penyuluhan, Inspektorat, rumah sakit umum daerah, kantor pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga sejahtera, kantor perpustakaan daerah, kantor wilayatul hisbah dan satuan pamong praja, kantor lingkungan hidup, kantor pelayanan perizinan terpadu satu pintu.
Sejumlah SKPK digabungkan ke dalam SKPK lainnya seperti Dinas Sumber Daya Mineral digabungkan ke dinas pengairan sehingga namanya menjadi Dinas Pengairan dan ESM. Sedangkan dinas pemuda, olahraga, kebudayaan dan pariwisata dipecahkan ke dalam dua dinas, yaitu bagian pemuda dan olahraga digabungkan ke dalam dinas pendidikan sehingga berganti nama menjadi dinas pendidikan, pemuda dan olahraga. Sedangkan bagian pariwisata dan kebudayaan digabungkan ke dalam dinas perhubungan, sehingga berganti nama menjadi dinas perhubungan, kebudayaan dan pariwisata.
Dinas pertanian, tanaman pangan serta dinas peternakan dan kesehatan hewan digabungkan menjadi satu dinas, yaitu dinas pertanian dan peternakan. Sedangkan badan pendidikan, pelatihan dan pengembangan aparatur dilebur ke dalam badan kepegawaian daerah (BKD), sehingga namanya berubah menjadi badan kepegawaian, pelatihan dan pengembangan aparatur. Selain itu, badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak diturunkan statusnya menjadi kantor pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Selain itu, seksi pemberdayaan perempuan, pemuda dan olahraga yang ada di kantor camat juga dihapuskan. Perampingan yang dilakukan ini dinilai banyak kalangan tidak mampu menghemat anggaran. Pasalnya, sangat sedikit kantor dan dinas yang dirampingkan, hanya sekitar lima kantor dan dinas saja. Diperkirakan, jika penciutan begitu, hanya bisa menghemat anggaran sebesar Rp 5 miliar.
“Saya pikir, kalau begitu diciutkan paling hemat Rp 5 miliar saja,” kata Ketua Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, kepada Kontras, baru-baru ini. Lajang aktivis antikorupsi ini menilai, seharusnya bisa ditinggalkan menjadi 25 dinas dan kantor saja, mengingat kemampuan Pemkab kini yang sangat terbatas. Solusi yang paling mumpuni adalah mengambil dana yang dijadikan barang bukti bobol kas Aceh Utara sebesar Rp 177 miliar di Polda Metro Jaya. Namun, tampaknya ini bukan menjadi pilihan Bupati Ilyas A Hamid.
Bupati Aceh Utara menyebutkan dirinya tidak akan mengambil dana barang bukti itu. “Berapa kali saya bilang, saya tidak akan mengambil uang itu. Karena, itu kesalahan perbankan. Uang itu harus dikembalikan utuh. Saya tidak akan ambil uang itu,” ujarnya kepada sejumlah wartawan di Gedung DPRK Aceh Utara, baru-baru ini.
Dia menyebutkan jika tidak meminjam uang ke perbankan, maka tidak bisa membangun Aceh Utara secara maksimal. Namun, saat ditanya ke bank mana akan dipinjam, Ilyas tidak menjawab. “Banknya belum kita tentukan. Baru pada taraf angka. Ini kan baru kita ajukan ke legislatif. Kalau tidak kita pinjam, maka kita tidak bisa bangun Aceh Utara ini,” terang bupati.
Ilyas tetap optimis, kasus bobol kas Aceh Utara itu merupakan kejahatan perbankan. Dia yakin, uang Aceh Utara akan kembali utuh sebesar Rp 220 miliar seperti ketika uang itu didepositokan. Di tubuh DPRK Aceh Utara sendiri tidak satu suara terkait rencana peminjaman itu. Anggota panitia anggaran, Zulfadli A Thaleb, terang-terangan menolak rencana peminjaman uang itu. Dia menyebutkan, dirinya akan menolak rencana peminjaman itu karena Aceh Utara akan dipusingkan dengan beban bunga yang dihasilkan dari pinjaman tersebut.
“Aneh sekali, kita masih punya uang di Jakarta. Mengapa mesti pinjam? Saya jelas akan menolak rencana itu. Kita akan dibebani dengan bunga lagi. Sudah tidak ada uang, ditambah beban bunga, akan pening nanti semua kita di Aceh Utara ini,” kata politisi muda itu. Informasi yang dihimpun, besaran bunga bank bervariasi antara 12-14 persen per tahun. Angka ini tentu sangat besar yang harus dibayarkan.
Sementara itu, dihubungi per telepon, Ketua DPRK Aceh Utara, Jamaluddil Jalil, yang akrab disapa Mualim Jamal, menyebutkan, pihaknya akan mempertimbangkan rencana peminjaman itu. Dia membantah kabar bahwa DPRK telah menyetujui rencana peminjaman itu. “Belum setuju. Kita analisis dulu. Bila memang sangat memerlukan, maka kita akan setuju. Angkanya pun belum kita setujui, berapa besar yang akan dipinjam,” kata Mualim Jamal. Dia menyebutkan, pihaknya akan menganalisis sejauhmana urgensi rencana peminjaman tersebut. “Kita lihat nanti. Pokoknya kita analisis dulu secara detail,” pungkas Mualim Jamal.
Ancaman elemen sipil
DPRK Aceh Utara berencana mengesahkan anggaran APBK 2010 akhir Februari 2010 ini. Salah satu poin yang ditunggu rakyat Aceh Utara, apakah DPRK akan mengamini rencana peminjaman uang sebesar Rp 126 miliar untuk mendanai pembangunan tahun ini? Saatnya menunggu aksi wakil rakyat, dan elemen sipil sudah siap dengan kuda-kuda.
Kalangan elemen sipil Aceh Utara kini sedang bersiap-siap untuk menentang rencana peminjaman itu. Pintu terakhir adalah DPRK Aceh Utara. Bila DPRK setuju, maka muluslah peminjaman uang tersebut. Koordinator MaTA Aceh, Alfian menyebutkan, kini kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Lhokseumawe dan Aceh Utara sedang menyusun kekuatan untuk melakukan demonstrasi akbar. Isunya, khusus menolak rencana peminjaman itu.
Kalangan LSM, sebut Alfian, tetap mendesak agar Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, menarik barang bukti yang kini berada di Polda Metro Jaya. Syarat untuk peminjaman barang bukti itu pun terbilang mudah. Cukup dengan surat bupati dan DPRK. Plus, sisakan sedikit sebagai barang bukti. Jadi, dana sebesar Rp 177 miliar itu bisa disisakan Rp 1 juta saja sebagai barang bukti. Sisanya bisa digunakan untuk pembangunan Aceh Utara. “Kita sedang menyusun kekuatan. Teman-teman LSM akan menggelar demonstrasi bila DPRK menyetujui peminjaman itu,” kata Alfian. Sementara itu, kalangan mahasiswa di Aceh Utara kembali menyuarakan teriakan lantang. Sudah lama memang tidak terdengar aksi yang menyentak dari aktivis kampus di daerah itu. Jika pun ada demonstrasi, hanya segelintir mahasiswa dengan variasi isu yang sangat beragam.
Kini, mereka mulai merencanakan aksi bersama. Hal itu diungkapkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Zulfikar. Dia menyebutkan, mereka kini sedang mensinergikan kekuatan berbagai kampus di daerah itu. Saat ini, ada tujuh kampus swasta, dan tiga kampus negeri yang sedang bersinergi terkait isu tersebut.
“Kita sedang satukan pandangan, satu kan niat khusus untuk menolak rencana peminjaman uang itu. Terpenting, uang barang bukti mau diambil balik oleh bupati Aceh Utara. Uang itu harus bisa digunakan untuk pembangunan daerah ini, bukan terpajang sebagai barang bukti,” kata Zulfikar. Dia menilai, sikap diam bupati untuk tidak mengambil uang itu akan merugikan Aceh Utara. Zulfikar menyebutkan, mahasiswa akan mengepung Lhokseumawe dalam waktu dekat ini. Saat disinggung kapan pastinya demonstrasi itu digelar, Zulfikar enggan menyebutkan.
Dia mengatakan, mereka akan menurunkan masa sekitar 2.000 orang. Dengan masa sebegitu besar, maka dipastikan akan memenuhi seluruh jalan protokol di Lhokseumawe. Dalam sejarah gerakan mahasiswa di Lhokseumawe, gerakan yang begitu besar menghadirkan massa terjadi dua tahun lalu, ketika mahasiswa menolak rencana DPRK Aceh Utara untuk memiliki tanah Reklamasi Pusong, Lhokseumawe. Demonstrasi itu pula yang menyurutkan niat dewan untuk menguasai tanah itu. Kini, di atas tanah itu dibangun sekolah dasar. Akankah gerakan serupa membuat dewan kali ini tidak menyetujui rencana peminjaman uang ke perbankan? Entahlah!