Bangkrutnya Bank Pemerintah Aceh Utara
Masriadi Sambo - KONTRAS
BANK Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe milik Pemerintah Aceh Utara nyaris bangkrut. Bank itu tidak memiliki kecukupan modal yang memadai. Benarkah karena manajemennya yang amburadul?
Gedung berbentuk rumah dan toko (Ruko) di Jalan Merdeka, Kota Lhokseumawe, siang itu terlihat sepi. Sekitar sepuluh unit kendaraan roda dua tampak terparkir rapi. Itulah gedung Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe. Bank yang sahamnya dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara.
Memasuki dalam gedung, tidak terlihat antrian nasabah. Bank itu terlihat sepi. Dua orang teller duduk santai di balik meja. Satu orang satuan pengamanan (Satpam) duduk santai di mejanya, tepat di samping pintu masuk gedung. Sesekali datang satu orang nasabah. Membayar kredit. Lalu berlalu. Tidak ada kesibukan luar biasa di gedung berlantai dua itu. Itu rekam kegiatan di gedung BPR Sabe Meusampe.
Suasana gedung terasa sunyi-senyap. Bank ini lah yang dinyatakan Bank Indonesia Lhokseumawe dalam status pengawasan khusus. Bank ini tidak memiliki kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Semua perbankan di Indonesia, diwajibkan memiliki CAR sebesar delapan persen. Namun, BPR hanya memiliki CAR empat persen.
Informasi yang dihimpun Kontras, kekurangan modal PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabee Meusampe Aceh Utara akibat terjadinya kredit macet yang mencapai sekitar Rp 23 miliar. Hal ini dikarenakan proses penyaluran dana Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) pada tahun 2008 tidak sesuai ketentuan Bank Indonesia.
Hal itu diakui Direktur PT BPR Sabe Meusampe Aceh Utara, Zakaria SE kepada Kontras, di Lhokseumawe, Selasa (16/3). Pria berkumis ini mengatakan, BPR memperoleh dana dari APBK Aceh Utara tahun 2007 senilai Rp 23 miliar. Perinciannya, Rp 20 miliar untuk dana PER dan Rp 3 miliar sebagai modal BPR. Tapi, kata dia, manajemen BPR pada saat itu menggabungkan modal Rp 3 miliar ke dalam dana PER.
“Jadi, penyebab kekurangan modal BPR ini akibat terjadinya kredit bermasalah dalam penyaluran dana PER pada tahun 2008. Munculnya kredit bermasalah itu karena proses penyaluran dana PER yang bersumber dari APBK Aceh Utara tahun 2007 yang disalurkan tahun 2008, tidak sesuai format ketentuan BI. Sehingga kredit tersebut telah dinyatakan macet,” kata Zakaria yang mengaku baru menjabat direktur bank itu sekitar lima bulan.
Untuk memperbaiki permasalahan tersebut supaya BPR Sabe Meusampe kembali sehat, kata Zakaria, pihaknya sudah menyusun action plan. Langkah yang akan diambil, pertama; mengeluarkan dana PER senilai Rp 23 miliar itu dari aktiva untuk ditempatkan dalam rekening administratif yaitu di luar pos neraca, tapi tidak menghilangkan kewajiban penagihan. Hal ini dilakukan dengan persetujuan DPRK atas permintaan bupati. Kemudian, setiap perkembangan yang terjadi akan dilaporkan kepada BI Lhokseumawe.
Langkah kedua, kata Zakaria, manajemen BPR Sabe Meusampe meminta pemegang saham mayoritas yakni Pemkab Aceh Utara untuk menyuntik dana senilai Rp 2 miliar dalam rangka menutupi kekurangan modal. Hal ini untuk mengantisipasi Kemampuan Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang negatif atau untuk perbaikan CAR PT BPR yang saat ini, menurut penilaian BI, tidak sehat.
Sedangkah langkah ketiga, lanjut Zakaria, meningkatkan kinerja BPR terkait penagihan kredit macet. Karena, kata dia, inti dari ditetapkan pengawasan khusus oleh BI terhadap BPR ini akibat kekurangan modal, dimana telah membengkaknya kredit bermasalah. “Strategi untuk menarik kembali kredit bermasalah itu, kita yakinkan nasabah bahwa dana PER tersebut pinjaman, bukan dana hibah. Kalau mereka kooperatif maka ke depan BPR akan membantu lagi, sehingga dana ini terus bergulir dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku,” katanya.
Menurut dia, saat ini pihaknya tengah gencar menagih kembali kredit macet dengan mendatangi rumah nasabah. Upaya tersebut, katanya, melibatkan dua tim khusus, yang satu bergerak ke wilayah barat, satu lagi ke wilayah timur Aceh Utara. “Sejauh ini, dana yang sudah kembali hampir Rp 2 miliar. Ini akan terus kita fokuskan secara maksimal,” kata Zakaria.
Namun, rencana tahap dua yang disusun Zakaria tampaknya tak terealisasi dengan baik. Pasalnya, suntikan modal tambahan yang diminta oleh BPR tidak disetujui oleh DPRK Aceh Utara. Tidak ada penambahan modal apa pun dari DPRK untuk bank tersebut. “Perlu diingat, membangun satu BPR itu butuh dana puluhan miliar. Untuk menyelamatkannya, kami hanya meminta suntikan Rp 2 miliar. Tidak lebih. Kita obyektif saja. Kami tidak minta yang muluk-muluk,” terang Zakaria.
Zakaria yakin, bila disuntik Rp 2 miliar, maka kecukupan modal BPR sudah sampai pada angka positif, yaitu delapan persen. Dia menyebutkan, dalam pembahasan anggaran baru-baru ini di gedung DPRK Aceh Utara, dirinya sudah menjelaskan sebab-sebab kebangkrutan BPR. Dia juga sudah mempresentasikan rencana aksi penyelamatan bank milik pemerintah itu.
Dalam rapat itu, kata Zakaria, juga hadir Sekda Aceh Utara, Syahbuddin Usman dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Azhari SE. “Saya sudah presentasikan semuanya. Mungkin dewan berpikiran lain, sehingga tidak memberikan suntikan dana. Saya juga sudah sampaikan ke panitia anggaran, ketua dan wakil ketua DPRK Aceh Utara. Sekarang pun, kalau dipanggil saya siap presentasikan rencana aksi penyelamatan,” kata Zakaria.
Saat ini, bank ini memiliki nasabah sebanyak 5.000 orang. Jumlah itu terbagi dalam dua kategori yaitu nasabah biasa, dan nasabah yang menerima kredit program PER. “Kami akan tagih semua yang macet itu. Kita tagih dengan cara yang baik dulu. Jika terpaksa, ya kita tagih dengan aparat hukum,” terang Zakaria.
Sementara itu, sebelumnya, Kepala Bank Indonesia (BI) Lhokseumawe, Zulfan Nukman, didampingi Deputi Pimpinan Bank Indonesia (BI) Rusly Albas, membenarkan pihaknya melakukan pengawasan khusus terhadap BPR Sabe Meusampe. Selain itu, bank itu juga dilarang menghimpun dan mengeluarkan dana selama enam bulan sejak 11 Januari 2010.
Kepala Bank Indonesia (BI) Lhokseumawe Zulfan didampingi Deputi Pimpinan BI itu, Rusly Ali Basyah, mengatakan, langkah yang diambil BI terkait hal itu, kata dia, sesuai UU yang berlaku. Yakni, UU No.3 tahun 2004 tentang BI, UU No.10/1998 tentang perbankkan, Peraturan BI No.11/20/PBI/2009 dan Surat Edaran BI No.11/19/DKBU tentang tindak lanjut pengawasan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus.
“Pertimbangan yang dilakukan BI untuk kelangsungan usaha BPR Sabe Meusampe itu sendiri. Jadi, setelah kita melakukan pemeriksaan, kita lihat ada kriteria yang kita anggap BPR itu sudah memenuhi ketentuan ini. Yaitu, kecukupan modalnya di bawah empat persen. Berdasarkan kriteria itu, kita panggil pemegang sahamnya, pengurusnya, kita paparkan hasil temuan kita sehingga kita tetapkan BPR itu dalam pengawasan khusus,” kata Zulfan.
Sesuai ketentuan, lanjut Zulfan, BI memberikan waktu selama lebih kurang enam bulan kepada pemegang saham BPR itu untuk mengambil langkah perbaikan. “Dia harus membuat action plant dalam rangka melakukan perbaikan-perbaikan. Selama enam bulan itu terhitung 11 Januari 2010, nantinya harus disampaikan ke BI. Pada akhirnya nanti akan kita lihat, kita evaluasi terhadap action plant yang sudah dibuat, sampai KPMM-nya itu akan kembali positif. KPMM itu kita minta sesuai ketentuan tadi, idealnya minimal delapan persen,” katanya.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 533 | Tahun XI 18 - 24 Maret 2010