MOST RECENT

|

Membongkar Jaringan PSK di Lhokseumawe

Masriadi Sambo - KONTRAS

SEKILAS Lhokseumawe tampak seperti kota lainnya di Aceh. Masyarakat umumnya berjilbab. Bergaya muslim dan muslimah. Namun, siapa sangka, kota yang dulu dijuluki Petro Dolar itu, juga memiliki pekerja seks komersial (PSK). Mencegangkan memang, karena sebagian pelaku tergolong pelajar pula.

Siang itu, Senin, 19 April 2010. Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Kontras. Isinya menyebutkan, bahwa di Lhokseumawe sudah banyak wanita tuna susila (WTS). Membaca pesan singkat itu, Kontras lalu coba menelusuri kebenarannya.

Ada beberapa tempat persinggahan dan pertemuan antara sang penjaja seks dengan penggunanya. Misalnya di sebuah cafe di bilangan Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Cafe di daerah ini disebut-sebut sebagai daerah transitnya para pekerja seks komersial itu.

Umurnya bervariatif. Antara 16- 45 tahun. Transaksi dilakukan secara sangat rahasia. Seorang PSK yang ditemui menyebutkan, dirinya sangat memilih konsumen. Takut ketahuan dan ditangkap. Wanita ini bersekolah di salah satu sekolah menengah atas (SMA) di Lhokseumawe. Sebut saja namanya Arini (bukan nama sebenarnya).

Sore itu dia mengenakan celana jeans ketat, khas remaja. Baju berwarna biru dipadu dengan jilbab berwarna ungu. Senyumnya sumringah. Dia terlihat santai. Rileks. Tidak mengesankan dia wanita nakal.

Gaya bahasanya khas anak SMK. Dia datang bersama temannya. Awalnya dia sempat enggan berbicara. Lalu, perlahan, dia mulai bercerita. Dia menyebutkan, selama ini, umumnya konsumen yang membookingnya tidak pernah dalam waktu lama.

“Biasanya, sekali main sudah cukup,” katanya sambil tersenyum malu-malu. Lalu, dia menyebutkan, umumnya pelanggan yang menentukan tempat mereka bercinta. Biasanya, lokasi yang dijadikan tempat adalah rumah-rumah yang kamarnya bisa disewa. Dia menyebutkan, rumah jenis ini sangat banyak di Lhokseumawe. Tinggal lagi, mencari jaringan agar bisa masuk ke rumah itu.

“Biasanya, kalau sudah kenal baru dikasih. Kalau tidak, ya tidak dikasih. Atau yang memboking menentukan tempat sendiri. Dimana saja terserah, misalnya di dalam mobil,” beber wanita yang sampai saat ini masih kelas 1 SMA itu.

Untuk sekali main, sebut wanita dengan bibir agak tebal ini, dia memasang tarif sebesar Rp 300.000. Jika membooking kamar tertentu di rumah warga, harga kamar untuk sekali main sebesar Rp 80.000.

Pernah dibooking sepanjang malam? “Tidak. Paling lama dari jam 8 malam sampai 12 malam. Itu aku dibayar Rp 1 juta. Tiga kali main,” ungkap wanita ini tanpa beban. Jika dibooking sepanjang malam, wanita ini bersedia, asal dibayar Rp 4 juta. Sebuah harga yang terbilang mahal untuk ukuran negeri yang baru lepas dari konflik ini.

Lebih jauh dia menyebutkan, selama ini pekerjaan itu dilakukan selepas pulang sekolah. Dia berdalih menggunakan uang itu untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah. Selama ini, tidak sekali pun dia absen ke sekolah. Dia berupaya menerima pelanggan dalam selepas pulang sekolah dan pulang ke rumah sebelum pukul 22.00 WIB.

“Namun, kalau ada konsumen sampai tengah malam, tinggal bilang saja ke orang tua, kalau ada kegiatan belajar kelompok di rumah teman,” jelas Arini. Dia menyebutkan, menekuni pekerjaan itu sejak masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Awalnya, ada seorang temannya yang mengajak Arini untuk mencoba. Lalu, lama kelamaan dia juga membutuhkan uang dalam jumlah besar. Dia mengaku suka berbelanja. Jika berharap dari orang tua, hanya diberikan uang jajan saja. Tidak bisa berbelanja barang-barang mewah sesuai kebutuhannya.

Artinya, sudah empat tahun dia menekuni pekerjaan terlarang itu. Khulida Lain Arini, lain pula Yarisi (bukan nama sebenarnya). Wanita berbadan kecil ini, tidak mau melakukan hubungan badan dengan pelanggannya. Dia menyebutkan, seks yang dia anut hanya Khulida (khusus wilayah dada-red).

Saat ditanya alasannya untuk hanya Khulida, Yarisi tersenyum. “Takut nanti kalau hamil. Dan, tidak perawan lagi. Takut enggak ada yang mau nikah dengan aku nanti,” kata Yarisi.

Lebih jauh dia menyebutkan, dia hanya iseng saja melakukan seks Khulida. Dia mengatakan, pelanggan khusus Khulida ini hanya satu atau dua orang saja. Bahkan, terkadang dalam sepekan bisa kosong, tidak ada pelanggan sama sekali. Dia mematok harga, untuk seks Khulida ini hanya Rp 150.000 per jam.

Sejauh ini, dia tidak enggan sedikit pun melakukan hubungan seks jenis ini. Tidak ada risiko. “Aku masih virgin,” ujarnya bangga. Sejauh ini, praktik jaringan PSK ini memang sangat rahasia. Sekilas terlihat biasa saja. Tidak ada yang mencurigakan. Transaksi dilakukan berjaringan. Misalnya Arini, dia juga menawarkan teman-temannya untuk para pelanggan.

Dari proses ini dia mendapatkan sedikit uang. Tergantung berapa yang akan diberikan temannya. Paling besar diberikan besar Rp 100.000 untuk komisi agen.

Dia menyebutkan paling senang dengan orang yang masih muda. “Jadi, bisa lebih menikmati dibanding dengan orang yang sudah tua,” terang Arini. Informasi yang dihimpun, PSK lainnya berusia di atas 35-40 tahun. Jika siang, mereka bekerja di sejumlah perusahaan swasta dan sebagian bekerja sebagai pegawai honorer di sejumlah dinas Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Jika malam hari, ini baru memasuki jam kerja tambahan. Menerima pesanan via handphone selular. Biasanya, nomor handphone diperoleh dari pelanggan yang sudah dikenal kupu-kupu malam ini. Ini kelas elit. Permainan mereka dilakukan biasanya di luar kota. “Biasanya pergi ke luar kota. Misalnya, ke Medan. Ini sejenis perselingkuhan yang menghasilkan uang,” sebut sumber Kontras.

Dia menyebutkan, biasanya dibuat dulu janji, kapan pergi ke Medan. Lalu, masing-masing mencari alasan kepada istri dan suami, agar bisa pergi ke luar kota. Sumber ini menyebutkan, jumlah WTS jenis ini sekitar 50-an orang. Sedangkan WTS di kalangan remaja jumlahnya sekitar 30-an orang. Dia mengatakan, faktor penyebab menjadi WTS bermacam-macam, misalnya hubungan seksual rumah tangga yang tidak maksimal, dan sudah tidak perawan lagi. Sangat sedikit karena faktor ekonomi.

Di sisi lain, data dari Komite Penanggulangan Aid Daerah (KPAD) Aceh Utara tercatat sampai saat ini, empat orang di Aceh Utara dinyatakan positif mengidap virus mematikan itu. Sedangkan di Lhokseumawe, tercatat sebanyak tiga orang dinyatakan positif.

Ketua KPAD Aceh Utara, dr Machrozal, menyebutkan virus ini hingga kini belum ditemukan obat yang menyembuhkan. Penyebaran virus bukan semata-mata akibat berhubungan seks.

Namun, bisa karena tersentuh darah oleh orang yang mengidap virus positif HIV. “Misalnya, ada orang yang tabrakan di depan mata kita. Dia berdarah. Dia positif HIV. Itu jika kita tidak melapisi tangan kita dengan plastik, maka kita bisa tertular. Ini solusinya, harus dilapisi plastik,” kata Machrozal.

Dia menyebutkan, pihaknya terus berupaya untuk menyosialisasikan kepada masyarakat tentang bahaya virus HIV yang bisa menghancurkan sistem kekebalan tubuh ini. “Target kita, agar masyarakat jangan menggunakan narkoba. Karena, sebagian besar pengidap HIV itu tertular dari jarum suntik akibat menggunakan sabu,” kata Machrozal. Dia menambahkan, usia pengidap HIV paling banyak antara 17-35 tahun.

Lebih jauh dia mengatakan, HIV memiliki efek turunan. “Satu orang yang terkena HIV, berarti besar kemungkinan 100 orang akan tertular. Ini puncak gunung es,” terang Mahcrozal.

Inilah realitas buram kehidupan dunia malam di Lhokseumawe. Maka sudah sepatutnya orang tua lebih berhati-hati menjaga anaknya, agar tidak terjerumus menjadi kupu-kupu malam. Pemerintah pun harus lebih agresif mencegah penyakit sosial yang sudah berumur sangat tua ini dengan berbagai cara.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 538 | Tahun XI 22 - 28 April 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 21.41. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added