Kredit Fiktif BPR Sabe Meusampe
Masriadi Sambo - KONTRAS
Banyak kredit PER yang disalurkan BPR Sabe Meusampe berkategori fiktif. Ini salah satu kebobrokan lagi dalam pengelolaan angaran milik publik di Aceh Utara.
SEORANG satuan pengamanan (Satpam) tampak siaga di depan pintu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe, di Jalan Merdeka, Lhokseumawe. Sejumlah karyawan lainnya duduk santai di kursi masing-masing.
Bank ini salah satu unit usaha yang dimiliki Pemerintah Aceh Utara. Niatnya, hadirnya bank ini bisa memberikan jaminan finansial pada masyarakat miskin yang tidak “dilayani” oleh bank konvensional di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Ingin untung, malah buntung.
Cerita buntung ini berawal tahun 2007 lalu, saat Pemerintah Aceh Utara, mengucurkan dana untuk penguatan ekonomi rakyat (PER) sebesar Rp 20 miliar melalui BPR Sabe Meusampe. Plus uang segar penyertaan modal sebesar Rp 3 miliar.
Saat itu, wacana yang muncul di tengah masyarakat, dana itu adalah dana hibah. Padahal, dana itu berupa kredit alias harus dibayarkan kembali menggunakan sistem revolving fun (dana bergulir).
Ini merupakan program paling bergengsi untuk rakyat miskin di Aceh Utara kala itu. Secara teknis, syarat yang diwajibkan BPR untuk mendapatkan kredit itu yakni membentuk kelompok. Satu kelompok minimal sepuluh orang. Lalu, melampirkan kartu tanda penduduk (KTP) anggota kelompok, surat keterangan dari keuchik, dan camat. Plus, melampirkan agunan.
Belakangan muncul persoalan. Ternyata, verifikasi di internal BPR tak valid. Buktinya, Tiga kelompok di Desa Ceumeucet, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara, yang tercantum sebagai kelompok penerima kredit, namun pada kenyataannya, anggota kelompok itu malah tidak menerima uang kredit. Tiga kelompok itu yakni kelompok Peusaho Rakan, Makmu Beusare, dan kelompok Kita Bina.
Jangankan menerima uang, mengajukan permohonan pun tidak pernah. Hal itu diungkapkan salah seorang anggota kelompok Saifuddin kepada Kontras. Dia tercatat namanya dalam kelompok Peusaho Rakan.
“Kami sangat terkejut ketika ada surat tagihan kredit dari bank yang ditujukan ke kami. Setelah kami tanya-tanya di kampung, ternyata dari 30 nama yang masuk dalam tiga kelompok itu, hanya ada tujuh orang masyarakat Desa Ceumeucet. Selebihnya, tidak ada nama itu di desa kami. Ketujuh orang itu pun tidak pernah menerima uang tersebut,” ungkap Saifuddin didampingi teman-temannya.
Dia menyebutkan, seluruh masyarakat yang menerima tagihan itu sangat khawatir. “Kami sangat takut. Karena tidak pernah menerima uang itu, malah kami diminta membayar kredit. Ini sangat aneh,” kata Saifuddin. Disebutkan, untuk Kelompok Pesaho Rakan dan Makmu Beusare, tunggakan pokok masing-masing mencapai Rp 36.666.666, bunga Rp 2.933.333 dan denda Rp 2.666.666. Sedangkan untuk kelompok Kita Bina, tunggakan pokok mencapai Rp 31.500.000, bunga Rp 2.250.000 dan denda Rp 2.280.000.
Masyarakat menduga, seluruh KTP itu dipalsukan oleh salah seorang nama yang masuk dalam kelompok itu. Artinya, ada orang yang mengatasnamakan kelompok, namun meraup kepentingan untuk pribadi. Sayangnya, Saifuddin dan teman-temannya tidak bisa mengetahui siapa dalang intelektual itu.
Bahkan, ketika mereka meminta slip penarikan uang, untuk mengetahui siapa pelaku yang menarik uang mereka, pihak BPR tak bisa memberikan. Dengan dalih, masih tahap penyelidikan di pihak kepolisian.
Rizal, temannya Saifuddin, juga mengaku sangat terkejut. “Aneh saja, mengapa ini bisa terjadi. Keluarga ribut, karena ditagih uang puluhan juta. Padahal, suami tidak mengambil uang itu,” kata Rizal. Saifuddin dan kawan-kawannya menduga, surat camat dan keuchik dipalsukan oleh orang yang menjadi dalang aktivitas penipuan itu.
Evaluasi
Sementara itu, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak DPRK Aceh Utara agar segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe. Desakan ini terkait, penyaluran bantuan penguatan ekonomi rakyat (PER) bersumber APBK Aceh Utara 2007 sebesar Rp 20 miliar yang diduga penyalurannya banyak fiktif.
“Kita desak agar DPRK Aceh Utara turun tangan terkait masalah yang ada di BPR Sabe Meusampe. Perlu dievaluasi bagaimana aset dan pola penyaluran kredit itu. Ini sangat penting,” kata Koordinator MaTA, Alfian.
Dia menyebutkan, penyaluran kredit yang tidak tepat sasaran itu juga terjadi beberapa tahun lalu di BPR Sabe Meusampe. “Kita mempertanyakan, sejauhmana komitmen DPRK untuk melakukan evaluasi. Bagaimana pula efektifitas penyertaan modal tahun 2007 sebesar Rp 3 miliar,” tanya Alfian.
Praktik penyaluran bantuan tidak tepat sasaran, menurut Alfian, bukanlah hal aneh lagi di BPR. Dia menyebutkan, bertahun-tahun penyaluran bantuan melalui lembaga itu, selalu sarat masalah. “Kalau DPRK tidak mau mengevaluasi seluruh kinerja BPR, perlu dipertanyakan ada apa dengan DPRK?” kata Alfian.
Sementara itu, Ketua Panitia Aset dan Anggaran, DPRK Aceh Utara, Khaidir Abdurahman, menyebutkan beberapa waktu lalu, pihaknya sudah duduk bersama untuk membicarakan persoalan yang ada di tubuh BPR Sabe Meusampe.
“Beberapa waktu lalu, DPRK sudah duduk dengan BPR, Sekda sebagai komisaris BPR, Bank Indonesia, untuk membicarakan persoalan yang dihadapi BPR. Intinya, DPRK mendukung langkah BPR untuk menagih kredit yang telah disalurkan,” kata Khaidir.
Dia menyebutkan, pihaknya juga sudah mendapat kabar, bahwa ada oknum masyarakat yang mengatasnamakan kelompok, namun mengambil uang kredit untuk keperluan pribadi dari BPR tersebut.
“Kalau ada oknum yang mengambil kredit untuk kepentingan pribadi, silakan diproses melalui jalur hukum. Kita sedang memikirkan langkah yang terbaik untuk penyelamatan BPR Sabe Meusampe. Karena, bank itu terancam dilikuidasi Juli mendatang, bila tidak memiliki kecukupan modal,” kata Khaidir.
Dia menyebutkan, sejauh ini, pihak DPRK Aceh Utara belum mengetahui soal aset yang dimiliki bank yang sahamnya dimiliki Pemerintah Aceh Utara itu. “Kalau asetnya saya belum tau. Kita terus mengevaluasi nasib BPR,” ujar politisi Partai Aceh itu.
Pidana
Sementara itu, salah seorang pengacara di Lhokseumawe, Ahmad Munir, menyebutkan, bagi masyarakat yang merasa dirugikan terhadap tindakan BPR Sabe Meusampe, bisa mempidanakan pihak-pihak terkait.
“Orang yang merasa tidak menerima kredit, namun ditagih oleh BPR Sabe Meusampe, bisa mempidanakan BPR dan sejumlah pihak terkait lainnya. Bisa melaporkan ke polisi. Itu sudah masuk pencemaran nama baik. Silakan nanti polisi yang mengusut,” kata Ahmad Munir.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 544 | Tahun XI 3 - 9 Juni 2010