MOST RECENT

|

Syariat Setengah Saja



Masriadi Sambo - KONTRAS


Syariat Islam setengah saja, tidak penuh. Ungkapan itu yang tampaknya menggambarkan perilaku sehari-hari warga Lhokseumawe dan Aceh Utara.


PENERAPAN Syariat Islam di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe jauh dari kata sempurna. Buktinya, cerita tentang warga menggerebek pelaku mesum masih saja terdengar nyaring di dua kabupaten/kota itu. Persoalan syariat kini terkesan hanya menjadi tanggung jawab personel Wilayatul Hisbah (WH). Padahal, WH sendiri memiliki segudang keterbatasan. Lihatlah Aceh Utara. Sebanyak 27 kecamatan di kabupaten itu terpaksa diawasi oleh 80 personel WH. Jumlah itu tentu saja tidak memadai.

Wakil Komandan WH, Wilayah Tengah Aceh Utara, M Jamil, kepada Kontras, kemarin menyebutkan, pihaknya tidak memiliki pondasi dana yang cukup untuk melakukan razia secara rutin setiap hari. Dalam sekali razia, mereka butuh dana Rp 200.000. Uang itu digunakan untuk uang minum personel. “Kalau gaji kami sudah ada lah. Uang minum saja untuk razia, kami tidak ada,” terang M Jamil. Dia menyebutkan, idealnya razia dilakukan setiap hari. Namun, karena keterbatasan dana, maka razia saat ini hanya dilakukan berdasarkan permintaan masyarakat. “Misalnya masyarakat minta kita razia di kawasan Pantai Lapang, Aceh Utara, maka kita razia. Itu pun atas inisiatif personel yang di pos. Tidak ada uang minum segala,” kata M Jamil. Dia menyebutkan, WH Aceh Utara memiliki tiga pos, yaitu di Simpang Mulieng, Krueng Geukuh, dan Alue Puteh. Masing-masing pos diisi oleh 20 personel.

Lebih jauh dia menyebutkan, WH saat ini hanya bertugas melakukan pembinaan. Misalnya, ditangkap pelaku pelanggaran syariat, lalu di bina selama seminggu di pos WH setempat. Setelah itu kembali dilepaskan. Kalau untuk wanita tidak ditahan. “Wanita kita beri izin pulang, tapi setiap pagi sampai sore hari dia harus ke pos untuk dibina,” kata Jamil

Dia menilai, pendekatan kemanusiaan cenderung efektif. Terbukti kasus pelanggaran semakin kecil. Dulu, tahun 2008, dalam sepekan mereka bisa menangkap tiga pasang untuk khalwat. Umumnya, pelanggaran yang terjadi adalah khalwat. Kini, sepekan belum tentu ada satu kasus. “Kalau soal intensitas razia, dari dulu sampai sekarang sama sajalah. Kasus meningkat. Tapi rekapitulasi kasusnya saya tidak ingat betul,” terang Jamil.

Dia menilai, saat ini penyidikan kasus khalwat dan penuntutannya sampai ke pengadilan Mahkamah Syariyyah memang terkesan lamban. Buktinya, pelaksanaan hukum cambuk sejauh ini hanya satu kali di Aceh Utara. Hal yang sama terjadi di Lhokseumawe. Untuk itu M Jamil menyarankan agar aparat gampong membuat kesepakatan lokal di semua gampong di Aceh Utara. Misalnya, kalau menangkap pelaku khalwat hukumannya apa. “Nah, ini dibuat kesepakatan saja di tingkat lokal. Agar semua orang menghargai hukum yang disepakati. Terpenting, hukum adat ini tidak bertentangan dengan Alquran, hadist, dan hukum nasional,” saran Jamil.

Sementara itu, psikolog dari Universitas Malikussaleh, Safwan M Psi, menyebutkan, perubahan perilaku masyarakat juga mendorong tidak efektifnya penerapan syariat Islam. Masyarakat mengaku sudah Islam, mengetahui hukum, namun enggan menjalankannya. Ditambah lagi perkembangan teknologi informasi yang semakin menggila. Maka, jadilah syariat setengah saja. Tataran kulit luar. Namun, tidak menyentuh esensi hukum Islam. “Rasa kesadaran masyarakat untuk menjalankan syariat Islam itu yang lemah. Ini yang harus dibenahi dulu. Misalnya, orangtua membenahi akidah anaknya dan akidah dirinya sendiri. Lalu, lingkungan juga harus mengacu ke syariat, dan terakhir intervensi pemerintah yang kuat untuk sektor syariat. Selama ini, rasa kesadaran itu yang tidak ada,” terang Safwan.

Dia menyebutkan, Pemerintah Aceh juga harus mencari model penerapan syariat Islam yang ideal. Misalnya, seperti model Negara Sudan, atau Arab Saudi. Sayangnya, syariat di Aceh saat ini tidak ada model yang baku. “Makanya, penerapannya hanya kulit luarnya saja,” kata Safwan. Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat, DPRK Lhokseumawe, Amir Gani, menyebutkan, perlu perhatian khusus untuk menegakkan syariat secara kaffah. Caranya, Pemerintah Kota Lhokseumawe, dan pemerintah lainnya, memberikan alokasi dana yang cukup untuk satuan WH.

Masalah lainnya, penggabungan Satuan Pamong Praja dan WH dalam satu dinas di semua kabupaten/kota perlu ditinjau ulang. “Kalau pun tidak dipisahkan dinasnya, maka dicari solusi, misalnya kantornya dipisah. Meskipun mereka berada di bawah satu dinas. Ini untuk menjaga citra WH itu sendiri,” kata Amir.

Fraksi Demokrat dan Fraksi Koalisi DPRK Lhokseumawe, telah mendesak Walikota Munir Usman untuk memisahkan gedung WH dan Satpol PP. “Saat itu walikota sudah bilang setuju. Kita tunggu saja aksi walikota,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Kini, syariat belum berjalan maksimal. Sore hari, remaja, ibu-ibu masih bebas berjalan-jalan di pusat keramaian tanpa mengenakan jilbab. Bukan hanya itu, juga mengenakan celana ketat. Kaum adam, masih menggunakan celana pendek dan memperlihatkan lututnya. Tentu itu tidak sesuai dengan Islam. Syariat setengah saja. Tidak penuh. Inilah realita penerapan syariat Islam di Lhokseumawe dan Aceh Utara. (*)

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 536 | Tahun XI 8 - 14 April 201

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.32. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added