MOST RECENT

|

Tuan M




Tuan M, sore itu terlihat begitu segar. Dengan Puan C disamping. Bocah kecil di depan. Ya, senyum sumringah yang kau berikan pada semua orang-orang yang melintas di depanmu. Peci mengkilap di atas kepala. Sekilas, kehidupan Tuan M, tak ada yang salah. Semua berjalan normal. Mengalir seperti air mengikuti dataran yang lebih rendah. Rezeki pun mengalir. Istri memiliki pekerjaan yang mapan. Sedangkan Tuan M, memiliki gaji yang melimpah. Saban akhir pekan menikmati liburan ke berbagai daerah di negeri ini. Ya, tak ada yang kurang sama sekali. Semua mengalir begitu saja.

Tuan M, sering bercerita pada orang-orang, dulu ketika dia menimba ilmu di perguruan tinggi. Dia pernah bekerja sebagai bilal di meunasah (surau) dekat kampusnya. Orang tuanya, tak memiliki pondasi dana yang memadai untuk membiayai anak ke enamnya itu. Tuan M pun tak meminta banyak. Dia hanya pasrah pada takdir hidupnya. Niatnya bulat. Berangkat meninggalkan kampung untuk belajar dan bisa menikmati hidup yang lebih baik di jantung Kota Lhokseumawe.

Dia juga sering bercerita, ketika dia kuliah dulu, saban Senin – Kamis selalu menunaikan puasa sunat. Bukan karena ikhlas ingin beribadah. Namun, karena beras memang tidak ada. Untuk menghemat, harus puasa dua hari dalam sepekan. Kisah hidup Tuan M, ini pun diceritakan setiap hari, setiap kali ketemu dengan orang-orang.

Selain menjadi bilal dan puasa, dia juga terpaksa harus menjadi kernet angkot. Semuanya dilakukan untuk menyelesaikan sarjana hukumnya. Dia pun mulai aktif berorganisasi. Dari sini, namanya mulai popular di pusat kota. Dia pun mulai dikenal.

Usai menamatkan pendidikan, dia pun menjadi pengajar di salah satu kampus ternama di pusat kota. Dia mulai jarang pulang kampung. Dalihnya, konflik yang berkepanjangan dan kontak senjata saban hari, antara pemberontak dan aparat keamanan, membuatnya mengurungkan niat pulang kampung. Sampai pada akhirnya, dia meninggalkan Indonesia, menempuh pendidikan paskasarjana di negeri tetangga. Ya, Malaysia, menjadi impian Tuan M.

Dua tahun dia hanya bisa berkomunikasi per telepon dengan ibunya. Wanita ringkih yang selama ini selalu berusaha untuk memberikan biaya pendidikan pada putranya itu. Ya, ibu tua itu selalu bekerja, menjadi buruh pada perkebunan, menjadi tukang kusung, menjadi dukun beranak, dan segudang pekerjaan lainnya.

Rupiah demi rupiah dia kirimkan untuk Tuan M. Jumlah itu tak seberapa, bila dibandingkan dengan biaya kuliah di perguruan tinggi. Meski begitu, ibu tua itu tetap semangat. Niatnya hanya satu, dia ingin, satu dari delapan anaknya bisa menjadi sarjana. Harapan lebih jauh adalah, Tuan M, bisa membantu adiknya. Bisa menanggung biaya pendidikan anaknya di perguruan tinggi. Bisa pula membantu merekomendasikan adiknya untuk bekerja. Itulah harapan wanita ringkih, dengan mata yang sudah rabun, dan kulit keriput. Ibu Tuan M, janda. Sudah lima tahun bercerai dengan ayahnya. Sehingga, dia harus bekerja sendiri. Bertahan dirumah gubuknya yang hampir roboh. Sedangkan Tuan M, kini sudah berada di luar negeri.

Usai menempuh pendidikan paskasarjana, Tuan M, pulang ke Lhokseumawe. Dia resmi menyandang gelar, LLM (law legal master). Namanya pun diagung-agungkan di kampung. Masyarakat kampung mulai termotivasi untuk menyuruh anaknya menimba ilmu ke perguruan tinggi. Tuan M, selalu dijadikan referensi keberhasilan.

Dia pun pulang ke kampung. Sekitar 45 kilometer arah timur Lhokseumawe. Jauh sekali dari pusat kota. Dia mengaku tidak memiliki uang. Lalu, dia bicara ingin membangun rumah gubuk ibunya. Secara kebetulan, adik Tuan M, sudah remaja. Dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Seluruh tabungannya dikuras untuk membangun rumah ibunya. Sedangkan, uang dari Tuan M, hanya sebagian saja.

Ibunya pun miris. Dalam hatinya, sang ibu menangis. Dia tau, adik Tuan M ini tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi, seluruh tabungannya dia kuras untuk membangun rumah. Sedangkan Tuan M, hanya memberikan sedikit uang. Padahal, ibunya tau, bahwa dia memiliki uang yang lumanyan besar. Karena, selain gaji, dia masih memiliki sisa beasiswanya untuk sekolah di paskasarjana.

Sang ibu hanya diam. Mengurut dada. Itu realitas hidup. Putra yang dia harapkan bisa membantu. Malah tak membantu. Malah putra yang dia pikir tak bisa membantu, ternyata membantu secara maksimal. Wanita tua ini pun memanjatkan do’a pada kedua putranya itu. Untuk Tuan M, dia berdo’a agar karakternya tidak kaku, memperhatikan orang tua, dan selalu mendapatkan rezeki yang mengalir. Sedangkan untuk putranya yang satu lagi, namanya Tuan Z, do’anya agar rezeki mengalir dan mendapatkan pekerjaan yang layak, kemudian, mendapatkan jodoh yang baik.

Lalu,enam bulan kemudian, Tuan M menikah dengan Puan C. Kejadian bukan lebih baik. Tuan M, semakin jarang menjenguk ibunya. Jika dulu, dia bisa menjenguk sebulan sekali. Kini, setahun sekali pun dia jarang menjenguk. Ketika lebaran, dia hanya pulang sekitar satu jam ke rumah ibunya. Jangankan memberikan uang, memberikan perhatian, menjenguk pun jarang. Ibunya hanya berharap diberi perhatian. Tidak lebih dari itu. Ibunya bercerita, hati orangtua pada anaknya, selalu rindu dan kangen.

Namun, laku Tuan M tak berubah. Kini, hidupnya jauh lebih baik. Dia sudah memiliki mobil sedang keluaran terbaru. Menempati rumah yang terbilang mewah di pusat kota. Ibunya semakin renta. Sering sakit. Mengidap komplikasi jantung, gula, reumatik, dan lain sebagainya.

Ibunya selalu berobat ke pusat kota. Menaiki angkot. Padahal, Tuan M memiliki mobil. Namun, tidak sempat menjemput ibunya. Alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan. Hari terakhir, tepat Kamis sore, ibunya ingin berobat. Dia meminta Tuan M mengantarkannya ke rumah sakit. Namun, sang putra ini mengaku sibuk. Dengan mata berlinang, sang ibu memilih pulang ke kampung. Tanpa berobat sama sekali.

Dia tidak ingin membebani putranya Tuan Z. Dia tau, Tuan Z, tidak memiliki mobil. Sedangkan jika menaiki kendaraan roda dua, punggung ngilu seperti disayat sembilu. Dia pun pulang kampung. Meratapi sikap Tuan M. Meminta pada Tuhan agar Tuan M berubah.

“Anakku seperti bukan anakku. Anakku telah hilang. Tuan M, telah tiada,” ujarnya dalam lelap panjang saat adzan magrib berkumandang. [Cerpen > Masriadi Sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 22.07. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added