MOST RECENT

|

Harapan dari Ujung Dewantara



Masriadi Sambo - KONTRAS

Korban konflik masih menyisakan duka. Kenangan buruk, saat senjata menyalak, tak hilang begitu saja. Trauma berkepanjangan. Mungkinkah bisa disembuhkan?

SEJUMLAH kaum perempuan duduk melingkar, di kantor Komunitas Korban Hak Azasi Manusia Aceh Utara (K2HAU) di Desa Keude Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, pekan lalu. Komunitas ini adalah lembaga yang mendampingi sejumlah korban hak azasi manusia di Aceh Utara, seperti korban kasus Simpang KKA, tragedi Gedung KNPI, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya. Saban pekan, sejumlah korban konflik datang ke kantor dengan gaya minimalis itu. Mereka duduk, berdiskusi. Mengenang masa lalu, dan mencoba meraih masa depan yang lebih baik.

Ketua K2HAU, Murthala, kemarin, menyebutkan pihaknya mengadakan program konseling pemulihan trauma untuk korban konflik. Bagi korban HAM, dan korban konflik yang berdekatan dengan kantor, program konseling diselenggarakan di kantor tersebut. Mendatangkan psikolog dan menyegarkan pikirkan para korban konflik itu. Jika tidak maka pengurus K2HAU sendiri yang datang ke sejumlah desa yang pernah terjadi pelanggaran HAM di Aceh Utara. “Kami datang sendiri ke kampung-kampung,” ujarnya ditemui di kantor K2HAU. Kantor itu terdiri dari empat kamar. Dulunya, bangunan itu salah satu rumah mewah dengan gaya minimalis di Krueng Geukuh. Kini, K2HAU menyewa, sebagai lokasi beraktifitas.

Dia menyebutkan, sejauh ini, K2HAU menaungi ratusan anggota di Aceh Tengah, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Utara dan Lhokseumawe. “Kita mau buat pertemuan Minggu depan, ya sekaligus dalam rangka buka puasa bersama. Kita tetap komit mendesak agar KKR bisa segera ada di Aceh,” sebut Murthala. Pria berkumis itu menyebutkan, sejauhini kondisi keuangan masyarakat korban konflik dan pelanggaran HAM belum membaik. Mereka terpaksa menjadi buruh harian di lokasi pembuatan batu bata. Ada pula yang memilih menjadi nelayan. Penghasilan tak menentu. “Kami mengadakan pelatihan life skill. Mereka kita ajarkan untuk membuat kerajinan tangan, dengan bahan kayu-kayu bekas. Lalu, hasilnya kita jual. Ini yang lumanyan bagus. Namun, dana kami juga sangat terbatas,” sebut Murthala.

Harapan Korban
Kampanye terus dilakukan agar KKR dan pemenuhan hak ekonomi korban konflik dan HAM bisa terpenuhi. Korban HAM sendiri hingga kini masih melarat. Lihatlah Samsul Ubet (25). Dia salah satu korban pelanggaran HAM yang terjadi di Simpang KKA sepuluh tahun silam.

Kakinya cidera terkena peluru tajam. Dia berjalan tertatih-tatih. Namun, dia terpaksa melanjutkan perjalanan hidup. Ketika peristiwa berdarah itu terjadi, Samsul Ubet berusia 15 tahun. Dia tak mengerti politik. Namun, dia hanya sedang melintas bersama rekan-rekannya di Simpang KKA tersebut. Tak Ayal, peluru menyalak, dan dia pun salah satu korban insiden berdarah tersebut.

Kini, dia hanya bisa menjadi nelayan di Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. “Saya harus bekerja di Pulo (Pulo Aceh-red). Di sini, menjadi nelayan sulit. Ikan sudah tidak banyak lagi, kalau di Pulo, ikannya masih mudah ditangkap dan sangat banyak jumlahnya,” sebut Samsul. Selama Ramadan, dia memilih menetap di rumah ibunya. Usai lebaran, dia berencana kembali ke Pulo Aceh. Menantang ombak demi segepok rupiah. “Saya harap damai ini berlanjut. Soal kaki saya yang cedera, tak masalah, namun apa ini yang namanya keadilan? Pengadilan HAM harus ada, siapa pun yang melakukan kesalahan harus bertanggung jawab,” ujar pria lajang itu.

Dia berharap agar Pengadilan HAM dan KKR segera ada di Aceh. Tidak hanya sebatas wacana semata, namun langsung terlihat nyata. Nasib Rahmi (27) lebih baik. Ibu muda ini, kini menjadi guru honorer di salah satu taman kanak-kanak Kecamatan Dewantara. Dia juga salah satu korban insiden simpang KKA. “Meski tubuh saya cedera, namun saya tetap semangat menuntut keadilan. Kami ini orang kecil, kami hanya perlu keadilan. Kalau luka, sudah kering tak perlu diobati lagi oleh pemerintah,” harap Rahmi. Dia mengaku terkadang geram dan sesekali putus asa. Setiap memperingati perjanjian damai Aceh, setiap tanggal 15 Agustus, dia selalu berharap bahwa pengadilan HAM bisa lahir pada tanggal 16 Agustus, satu hari kemudian.

Namun, harapan itu telah dipendamnya lima tahun terakhir. Hingga kini, belum ada titik temu soal pengadilan HAM dan KKR di bumi Serambi Mekkah. Entah Sampai kapan Rahmi harus menunggu, keadilan untuk cacat yang fisik yang dideranya?

Kondisi masyarakat

Salah satu kecamatan yang diklaim sebagai daerah rawan pascaperjanjian damai adalah Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Beberapa kali insiden kekerasan terjadi di sana. Sebut saja perampokan mobil Cardi, penolakan lembaga ICRC, dan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kaum hawa di daerah itu tak bisa mengenakan celana panjang, diwajibkan mengenakan rok oleh “kelompok garis keras” di daerah itu.

Kini, perlahan namun pasti, semua itu sirna. Kelompok garis keras, yang menamakan diri Pasukan Peudeung telah tiada. Telah membaur ke dalam masyarakat. Tak lagi menenteng parang dan menghadang siapa pun yang datang seperti era 2006 silam. Tokoh Masyarakat Sawang, Basri A Gani, kepada Kontras, beberapa waktu lalu menyebutkan, saat ini masyarakat sudah bisa keluar-masuk Sawang setiap saat abahkan pada dini hari. “Tidak perlu takut lagi. Semua sudah sangat aman. Orang bisa keluar-masuk sawang pukul 2.00 WIB dinihari,” sebut Basri.

Dia menyebutkan, cap hitam untuk Kecamatan Sawang memang sangat kental terasa. Tahun 2007, lembaga donor enggan membiayai pendampingan masyarakat di Desa Sawang. Para donor ini menyerah. Khawatir, mereka juga menjadi tumbal kekerasan, seperti apa yang dialami donor sebelumnya Cardi dan ICRC. “Saya mendirikan LSM lokal sudah lama. Saya tawarkan program ke sejumlah lembaga donor, namun, tak ada yang mau membiayai saat itu,” terang Basri.

Lalu, tahun berikutnya, dia pun kembali berusaha menyakinkan lembaga donor. Kali ini, dia mengincar USAID-lembaga donor asal Amerika Serikat. Basri dan lembaganya mendapatkan donor untuk program penguatan perdamaian di dareah itu. Program itu dijalankan di Desa Paya Gaboh, Gle Dagang, Gampoeng Teungoh, Lancok, Krueng Baro, Babah Krueng, Blang Tarakan, dan Desa Gunci. “Kami bahkan menyebutkan, bahwa sumber dana kegiatan ini dari USAID. Sebuah lembaga donor asal Amerika. Sampai sekarang, berjalan lancar. Dari sini, saya dan teman-teman merubah image Sawang di depan mata donor. Bahwa Sawang tidak mengerikan lagi,” kata Basri.

Sejak saat itu, sejumlah lembaga donor mulai melakukan kegiatan kembali di Sawang. Kini, lembaga donor, IRD, Serasi dan sejumlah lembaga lainnya, masih melakukan penguatan perdamaian di Kecamatan Sawang dan Matang Kuli. Harapannya jelas, masyarakat tak teringat perang, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, plus meningkatkan taraf hidup. Inilah harapan dari zona kelam, Sawang. (*)

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 555 | Tahun XII 19 - 25 Agustus 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 21.55. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Harapan dari Ujung Dewantara"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added