MOST RECENT

|

SK Ajaib Pelabuhan Krueng Geukuh



Masriadi Sambo - KONTRAS
Surat Keputusan Gubernur Aceh tentang tim pengembangan perdagangan melalui pelabuhan Krueng Geukuh sebagai pelabuhan ekspor dan impor, penuh kontroversi. SK ini dinilai juga ajaib. Ada apa sebenarnya?

KEGIATAN Pelabuhan Krueng Geukuh, di Desa Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, sepi. Tidak ada geliat signifikan sebagai sebuah pelabuhan yang katanya berkategori internasional. Jangan pernah membayangkan pelabuhan ini sama seperti pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, Semarang, Surabaya, Batam dan kota lainnya yang penuh dengan kapal.

Di situ, hanya satu atau dua kapal yang bersandar. Itu pun kapal regular, seperti milik PT Arun NGL, PT Pupuk Iskandar Muda atau PT Semen Lafarge. Sekali waktu, kapal pengangkut beras milik Badan Urusan Logistik (Bulog) yang membongkar barang di pelabuhan itu.

Kini, sejak Juni 2010 lalu, mulai masuk kapal pengangkut komoditi ekspor, yaitu kapal milik PT MCL Permata Malaysia. Kapal itu pengangkut barang komoditi ekspor dari Aceh ke Malaysia.

Hajatan ekspor barang ke Malaysia merupakan semangat pemerintah kabupaten/kota di Aceh untuk bisa menjual barang ke luar negeri. Ini untuk memutuskan ketergantungan dengan para pengusaha di Medan, Sumatera Utara. Plus, menyejahterakan petani di Aceh. Payung hukumnya, Undang-Undang Pemerintah Aceh.

Setelah perang selama 30 tahun lebih di Aceh, semua orang bersepakat Aceh lebih maju. Mengejar ketertinggalan akibat perang. Namun, mampukah itu dilakukan?

Kontras mencoba menelusuri perjalanan rencana ekspor ini. Awalnya, akhir tahun 2008, Pemerintah Aceh Utara mendirikan tim percepatan ekspor Aceh, diketuai oleh Syahruddin Hamzah. Dari sini, berbagai upaya dilakukan untuk menggerakkan Pelabuhan Krueng Geukuh. Hasilnya tak seberapa. Gagasan pun muncul, mengajak kabupaten lainnya bergabung untuk mengekspor barang via Krueng Geukuh. Dibutuhkan tim untuk bekerja menggerakkan ekspor itu. Sejak Februari 2010, rapat semakin intens dilakukan. Sepuluh kabupaten menyatakan sepakat untuk ekspor lewat pelabuhan nomor dua di Aceh itu. Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen. Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie dan Pidie Jaya, siap bergabung.

Untuk mempercepat rencana ekspor, diperlukan tim yang solid. Maka disepakatilah, formatur untuk menyusun tim itu. Sumber Kontras, menyebutkan orang yang duduk sebagai formatur yaitu Syahruddin Hamzah, Teuku Moni Alwi, Junaidi Arsyen, dan Asril Ibrahim. Formatur bertugas menentukan ketua tim, dan melengkapi struktur tim penggerak ekspor itu.

Rekomendasi formatur saat itu, adalah Syahruddin Hamzah atau Asril Ibrahim yang menjadi ketua tim. Rekomendasi ini dibawa ke Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk dikeluarkan surat keputusan (SK). Sehingga, ada kekuatan hukum yang menjadi landasan tim ini bekerja.

“Waktu itu, pemilihan formatur setelah rapat di Gedung Bank Indonesia sekitar bulan Februari. Lalu, formatur mengusulkan nama ke Gubernur Aceh,” kata sumber yang meminta namanya tidak disebutkan. Maka pada 9 April 2010, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf resmi menandatangani surat keputusan nomor 515/131/2010 tentang pembentukan tim pengembangan perdagangan melalui Pelabuhan Krueng Geukuh sebagai pelabuhan ekspor dan impor (TP3KG). Di dalam SK itu keluar nama ketua umum HT Zulkiram Hanafiah. Padahal, informasi yang diterima Kontras, nama Zulkiram belakangn masuk dalam tim.

Anehnya, meski telah ada nama yang diusulkan, tim ini masih gamang. Tidak memiliki rencana aksi dan konsep yang matang untuk menggerakkan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Modalnya, hanya semangat untuk ekspor. Soal cara, mekanisme, dan rencana aksi, dipikirkan ‘kapan-kapan’.

Informasi lain yang diterima Kontras, belakangan setelah Gubernur Irwandi Yusuf meneken SK tim tersebut, bulan April 2010 sejumlah anggota tim menemui Direktur Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial, Halidi MM. Pertemuan itu meminta agar Halidi membantu konsep rencana aksi kegiatan tim.

Rapat pertama antara Halidi dan tim ini digelar di Lantai Tiga, Dhapu Kupi Jalan Merdeka Timur, Lhokseumawe. Di sini, kelihatan, setelah SK keluar, tim belum memiliki konsep apa pun. Ketika dikonfirmasi, Halidi membenarkan bahwa tim tersebut memang menemuinya, dan meminta membuatkan rencana aksi. “Benar, saya ditemui. Waktu itu, saya bersedia membuatkan rencana aksi, karena lembaga yang saya pimpin memang bergerak dibidang pendampingan perusahaan, atau tim yang bergerak di bidang usaha. Saya pikir, ini sesuai bidang saya,” sebut Halidi.

Bahkan, waktu itu, Yunaidi Arsyen, Syahruddin Hamzah dan lain sebagainya mengajak Halidi bahkan sebagai konsultan untuk tim tersebut. Namun, tidak ada perjanjian tertulis antara Halidi dan tim ini. Hanya pembicaraan lisan.

Pada Juni 2010 rencana aksi telah disiapkan. Bahkan, tim mengadakan rapat pleno di Gedung PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Krueng Geukuh untuk menyetujui rencana aksi itu. Sampai di sini, seakan tidak ada masalah apa pun di dalam tim tersebut. Hanya persoalan tidak ada kesiapan rencana aksi.

Namun, lihatlah SK tentang tim ini. SK itu membawahi sepuluh kabupaten/kota. Sebuah SK yang memiliki kekuasaan yang begitu luas. Sejumlah bupati dan walikota duduk sebagai penasehat. Kepala dinas perindustrian, perdagangan, koperasi, dan usaha kecil menengah, dari sepuluh kabupaten/kota itu juga masuk di dalam tim. Sejumlah nama pengusaha juga masuk di dalam anggota. Pertanyaannya, bagaimana membedakan kepentingan bisnis dengan kepentingan ekspor?

Selain itu, SK tersebut tidak memiliki batas waktu tertentu. Misalnya, SK itu hanya berlaku satu atau dua tahun. Bisa disimpulkan, SK ini berlaku sepanjang usia bumi. Sebuah SK yang sangat panjang masa berlakunya. “Ini SK ajaib,” kata seorang pengamat.

Soal pendanaan, SK ini menyebutkan, pendanaan bersumber dari APBA Provinsi Aceh, dimungkinkan pula kabupaten/kota menyumbang pendanaan untuk mempercepat kegiatan ekspor itu.

Artinya, jika semua kabupaten/kota menyetorkan dananya, maka tim ini akan mengelola dana melimpah. Namun, memasuki bulan Agustus 2010 ini, belum diketahui pasti berapa alokasi dana yang telah diserap oleh tim tersebut.

Informasi yang dihimpun dari kalangan pelaku bisnis di Aceh Utara dan Lhokseumawe, menyebutkan tim itu telah merogoh kas APBA sebesar Rp 1 miliar. Padahal, kinerja tim baru satu bulan. Uang itu digunakan untuk operasional tim.

Direktur KKB Finansial, Halidi MM menyebutkan tim tersebut tampaknya belum menjalankan rencana aksi yang telah disepakati bersama. Buktinya, hingga saat ini, belum ada kegiatan regular untuk ekspor ke luar negeri.

“Saya yakin tim ini memiliki kemampuan. Namun, masyarakatlah yang menilai, apakah tim ini kinerjanya bagus atau tidak. Saran saya, ya, ikuti rencana aksi yang telah dibuat. Karena, direncanakan aksi semua masalah ada tawaran solusinya, dan ada alat ukurnya,” sebut Halidi.

Dia menyebutkan, manajemen di internal tim itu yang patut dibenahi. Misalnya, bagaimana berkoordinasi antar sesama pengurus tim. Pasalnya, anggota tim terpencar di sejumlah kabupaten/kota. Tidak terkonsentrasi di Lhokseumawe atau Aceh Utara. Bahkan, sampai saat ini, tidak ada kantor tim itu di Lhokseumawe atau Aceh Utara.

Sumber Kontras, menganimi memang koordinasi antar tim selama ini agak tidak bagus. “Pemerintah sudah keluarkan SK. Tinggal lagi sejauhmana kemauan tim untuk bergerak. Misalnya, bagaimana menghimpun pengumpul barang, menjembatani permodalan, lalu bagaimana pula soal hambatan aturan hukum. Termasuk soal pendanaan yang dibutuhkan tim,” kata sumber ini.

Dia menyebutkan, sejauh ini, hanya PT Almajaro, perusahaan asal Italia, yang melakukan ekspor kakao melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Komuditi lainnya nihil. “Tim kurang agresif. Misalnya, soal biaya pajak 5 persen yang diwajibkan menteri perdagangan. Tim tidak berupaya meminta keringanan kepada menteri, atau melobi DPR RI untuk mendesak menteri meringankan pajak Pelabuhan Krueng Geukuh. Kita ini pelabuhan baru. Jangan disamakanlah dengan pelabuhan lainnya di Indonesia,” sebut sumber ini yang juga salah satu anggota tim.

Sejumlah persoalan melilit internal tim itu sendiri. Hingga kini, kapal yang dijadwalkan masuk regular per 15 hari sekali juga belum tercapai. Saat ini, PT MCL Permata, masuk sesuai dengan ada atau tidak adanya barang di Aceh. Jika tidak, mereka tidak masuk. Ini pula yang membuat enggan pelaku ekspor dari Aceh, enggan mengirim barang lewat Krueng Geukuh. Tidak ada kepastian rute dan jadwal kapal.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 554 | Tahun XII 12 - 18 Agustus 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 21.43. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "SK Ajaib Pelabuhan Krueng Geukuh"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added