Kegelisahan Seorang Gerilyawan
Masriadi Sambo - KONTRAS
Para pejuang tampak garang. Tidak takut menghadang lawan, meski diserang ribuan butir amunisi. Meski begitu, pejuang manusia biasa. Bukan robot tak bernurani. Pejuang memiliki kegelisahannya tersendiri.
KALIMAT itu cocok untuk menggambarkan kisah yang diberi judul “Kabut Perang”. Sebuah novel karya Ayi Jufridar, seorang jurnalis, kini menetap di Lhokseumawe. Gaya bertutur Ayi, dalam novel ini mirip dengan gaya bertuturnya pada novel pertama “Aloen Buluek” yang diterbitkan oleh Grasindo Jakarta.
Ayi tidak bisa lepas dari gaya bertuturnya sehari-hari. Gaya bicara Ayi terekam benar dari kalimat-kalimat dalam novel ini. Gaya penulisan jenis ini sangat membantu orang memahami makna kalimat yang disajikan. Bagi orang yang mengenal Ayi, tentu sangat bisa memahami gaya penulisan Ayi. Santai, penuh deskripsi dengan detail di sana-sini kalimat. Namun, gaya bahasa ini, belum tentu bisa dinikmati oleh masyarakat umum di seluruh penjuru negeri ini.
Bagi saya, membaca novel ini sama dengan mendengarkan cerita dari penulisnya. Sedikit panjang, namun detail. Saat ini, berkembang gaya penulisan bertutur ala Majalah Tempo. Menggunakan kalimat pendek, penuh makna, dikolaborasi dengan detail-detail cerita di seluruh bagian paragraf. Ini yang belum terlihat.
Dari sisi gagasan, cerita ini memuat pesan bahwa perang tak pernah menguntungkan masyarakat sipil. Di negeri mana pun, perang selalu menghadirkan kesengsaraan. Menyisakan duka mendalam, dan merenggut ratusan nyawa ummat manusia. Perang hanya bagian ambisi kekuasaan.
Pesan itu pula menjadi latarbelakang cerita novel ini. Selain itu, para gerilyawan selalu mengatakan mereka pantang mundur, berani menghadapi musuh. Meski senjata hanya satu atau dua orang saja yang memanggulnya. Itu pun tidak boleh melepaskan tembakan sembarangan. Harus menghemat peluruh. Selebihnya, para gerilyawan itu hanya memiliki senjata tajam, sejenis rencong, parang, pedang dan lain sebagainya.
Cerita lain yang diungkapkan Ayi, bahwa ada pula pejuang yang galau, takut, gemetar. Tidak mengerti makna perjuangan sesungguhnya. Apa yang ingin diraih, kata “merdeka” atau sekadar balas dendam semata.
Tasrif sebagai tokoh utama dalam novel ini terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah, berawal ketika bom mobil meledak di depan rumahnya. Dia masuk dalam gerakan anti pemerintah, karena usai bom meledak, seisi kampung dibumi hanguskan. Tak satu pun tersisa. Ini pula yang membuat Tasrif geram.
Lalu, dia ditugaskan untuk merekrut pasukan baru. Mencari orang-orang yang benci pada sikap dan kebijakan pemerintah. Khususnya, orang yang mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan negara. Dan, dia pun gagal. Kegagalan Tasrif bukan tidak beralasan. Dia galau, tak tau arah gerakan. Sekali waktu dia merenung, mencari apa makna dari perjuangan yang dia lakukaan saat ini. Wajar saja, saat itu, Tasrif belum genap berusia 20 tahun. Dia mengantungi kartu tanda penduduk (KTP) dengan status pelajar. Tentu, aparat negara tidak pernah curiga, pelajar masuk dalam gerakan melawan pemerintah.
Lalu, dia pun mendapat tugas berat. Membeli senjata di luar kota. Ini yang membuat hatinya semakin binggung. Menggunakan senjata, tentu digunakan untuk menembak lawan. Belum tentu, lawan yang dibunuh itu bersalah. Dalam hukum Islam, membunuh orang bagian dari dosa besar. Hati Tasrif risau.
Dia mencoba merenung. Bertanya pada teman-temannya. Bertanya pada langit dan alam semesta. Jawabannya variatif. Ada yang membenarkan membunuh atasnama perjuangan. Ada pula yang enggan berkomentar. Semua menyampaikan kebenaran versi masing-masing. Tasrif binggung, baginya kebenaran adalah hukum Allah. Tidak boleh ditafsirkan sesuka hari.
Lalu, latar belakang para pemberontak ini pun bervariasi. Ada yang menghindari dari kejaran hutang-piutang. Ada pula karena semangat balas dendam, temannya yang lain karena kecewa ditinggal sang kekasih. Semuanya memiliki pandangan yang berbeda. Lalu, tujuan perang ini sendiri apa?
Sementara itu, korban harta dan nyawa terus berjatuhan. Perang terus menyalak. Suara desing mesiu dan bom terdengar saban waktu. Tak ada ruang ekspresi. Hidup di daerah perang dibekap ketakutan mendalam. Takut akan Izrail menjemput. Takut pula bila dibunuh atau mati koyol bila peluru nyasar tersangkut dijantung.
Suasana semakin kacau. Pasukan negara terus bertambah. Lalu lalang kendaraan pengakut senjata dan bahan makanan pasukan negara terus datang ke seluruh pelosok kampung. Kontak senjata tak terelakan. Sekali kontak senjata, maka satu kampung sirna. Ludes dilalap sang jago merah. Tasrif masih bertahan. Kini, tugasnya sebagai mata-mata. Mencari tau dimana pasukan negara. Mengabarkan ke para gerilyawan. Dia bebas bergerak. Keluar-masuk kota. tanpa ada yang curiga. Dia benar-benar menjadi intel sejati.
Dia pula mengantarkan bahan makanan pada pasukan di dalam hutan. Setiap kali melewati pos aparat negara, dia berakting seolah masyarakat sipil biasa. Bukan berasal dari kelompok gerilyawan. Sepandai-pandai tupai melompat, sesekali jatuh juga. Pepatah klasik itu dialami Tasrif. Dia pun tertangkap. Temannya, yang dulu bergabung dalam kelompok gerilyawan menunjukkan dirinya. Dia ditangkap. Dikunci dalam ruang pengab.
Cerita itu direkam Ayi. Saya menyebutkan cerita ini tidak hanya mengandung fakta, namun juga fiksi yang dalam. Bisa ditamsilkan, 50:50. Artinya, 50 persen fakta, sisanya fiksi. Tidak mudah menggambarkan ketakutan ketika perang masih menyalak.Namun, Ayi menggambarkan dengan apik. Tidak menghakimi siapa benar, dan siapa salah. Tidak pula dengan gamblang menyebutkan kelompok pemberontak bersalah, dan aparat negara yang benar. Dia berada ditengah-tengah. Meski untuk lebih detail, tak ada masalah menunjukkan siapa yang dimaksud sebagai kelompok separatis, dan siapa pula aparat negara. Mungkin, Ayi agak hati-hati.
Dia paham benar masyarakat di daerah bekas perang sangat sensitif dengan isu-isu perang. Mudah salah tafsir. Mudah pula menghakimi karya orang sebagai upaya pencemaran nama baik. Nampaknya Ayi memilih jalur aman. Tidak memilih nama tempat yang ada di salah satu daerah, dan nama institusi tertentu.
Ya, inilah realitas perang. Ayi merekam dalam tulisan sastra. Tujuannya, mengingatkan semua kita, bahwa perang pasti dibarengi dengan penderitaan. Ya, penderitaan masyarakat sipil, yang tidak ikut dalam salah satu kelompok yang bertikai. Buku ini layak dibaca oleh seluruh masyarakat sipil di Aceh dan Indonesia. Agar kita sadar, bahwa damai adalah pilihan yang tepat. Menjaga demokrasi seutuhnya dan menjaga damai di negeri ini selamanya.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 554 | Tahun XII 12 - 18 Agustus 2010