MOST RECENT

|

Memburu Kadi Liar di Aceh




Masriadi Sambo - KONTRAS

Jejak kadi liar (muhakkam fasiq) sangat merugikan masyarakat. Hukum nasional tidak mengakui nikah di bawah tangan itu. Lalu, mengapa masih banyak orang yang meminta jasa tengku kadi liar ini?

WAJAH dua remaja itu terlihat tegang, gelisah. Sesekali matanya nanar menatap ke jalan Merdeka Timur di Lhokseumawe. Mereka duduk di salah satu pojok warung kopi di Desa Lancang Garam. Keduanya Is (19) dan Bet (19), warga Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe. Is sibuk memencet telepon selularnya. Dia menghubungi orang-orang yang mengenal kadi liar. Kedua umat manusia beda jenis kelamin itu memang ingin menikah sesegera mungkin.

Sedangkan si perempuan terlihat lesu, tak bersemangat. Wajahnya pucat, matanya sembab, seakan baru saja menangis. “Kami khilaf. Kami sudah melakukan hubungan terlarang. Sekarang kami mau menikah di kadi liar saja. Karena kedua orang tua tidak setuju,” sebut Is kepada Kontras, Sabtu lalu. Lalu, tiba-tiba Is tersentak. Dia ingin melarikan diri ke Medan, Sumatera Utara. Sang wanita pun setuju.

“Kita ke Medan saja. Kalau lama-lama di sini, nanti ditangkap Ayah. Mati kita ‘dibunuh’,” ujar Bet. Tak lama, orang yang dihubungi pun datang. Pria berjenggot itu mengetahui dimana bisa mendapatkan jasa kadi liar.

Untung saja, Is sudah menyiapkan uang untuk memperoleh “SIM” versi kadi liar. Jika saja tak ada uang ekstra, entah bagaimana cara Is mendatangkan jasa sang kadi. ‘Bisik-bisik’ dengan Kontras berhenti ketika pria berjenggot itu merangkul Is meninggalkan warung kopi di sudut desa itu.

Umumnya, kadi liar ini beroperasi di daerah pedalaman Aceh Utara. Informasi yang dihimpun Kontras, bagi masyarakat pedalaman, menikah dengan menggunakan jasa kadi liar adalah sah sesuai hukum Islam dan hukum negara. Salah seorang kadi liar yang ditemui di Kecamatan Baktia, Aceh Utara, menyebutkan, dirinya tidak pernah berniat untuk berprofesi sebagai kadi liar. Dia mengaku hanya kasihan pada orang-orang yang tidak disetujui hubungannya oleh kedua keluarga. “Banyak kasus, berawal dari kedua orang tua tidak setuju. Jadi, kalau nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi sangat sulit,” terang si kadi liar yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Biaya pernikahan di kadi liar jauh lebih mahal dibanding nikah di KUA. Umumnya, untuk Lhokseumawe, biaya nikah berkisar antara Rp 200.000 - Rp 400.000. Itu pun jika akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita. Jika akad nikah di kantor KUA, jauh lebih murah, hanya Rp 75.000. Sedangkan di Kabupaten Pidie dan Bireuen sekitar Rp 350.000.

Sementara biaya nikah di kadi liar paling murah Rp 500.000. Jumlah itu dibagikan kepada dua orang saksi, dan sang kadi sendiri. Bahkan, terkadang jumlah yang diterima sang kadi jauh lebih sedikit. Pasalnya, untuk mencari saksi sangat susah. Terkadang, saksi harus disediakan oleh orang yang ingin menikah. Ini tipe kadi liar pertama. Tipe kedua, kadi liar profesional. Sang kadi menyediakan semua saksi, tempat, dan jadwal pernikahan. Biayanya mencapai jutaan rupiah.

Saat disinggung tentang lokasi pernikahan, sang kadi menyebutkan lokasi pernikahan tergantung kesepakatan dengan orang yang ingin menikah. Bisa di rumah kadi, atau di lokasi yang aman. “Daripada mereka berzina, kan lebih baik dinikahkan,” ujar sang kadi singkat. Cerita kadi liar ini bukanlah monopoli Aceh Utara atau Lhokseumawe. Di Pidie, diprediksi puluhan kadi liar sudah lama beroperasi.

Muslim, warga Kecamatan Mutiara, Pidie, menyebutkan, dirinya baru saja menikah dengan seorang perempuan di Kecamatan Kembang Tanjong. Karena tanpa persetujuan orang tua, mereka memilih kadi liar. “Kami menikah di kawasan Unue,” katanya. Benarkah di daerah itu ada kadi liar? Tidak ada yang tahu persis. Soalnya, sang kadi pasti beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Mereka juga punya jaringan di kantor-kantor Urusan Agama di kecamatan. Pendek kata, jika memungkinkan, surat nikah bahkan bisa didapatkan dengan harga tertentu. Pernikahan yang sejatinya peristiwa sakral tentu saja menjadi kurang bernilai dengan cara seperti ini.

Ulama menentang
Sementara itu, kalangan ulama di Aceh Utara dan Lhokseumawe sejak lama menentang keberadaan kadi liar tersebut. Pasalnya, kadi liar sangat merugikan masyarakat. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara, Tengku Mustafa Ahmad, akrab disapa Abu Paloh Gadeng, menyebutkan, selama ini kadi liar banyak yang berpaktik di Aceh Utara. “Praktiknya sangat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Sebab, nikah yang dilakukan kadi liar itu tidak sah,” sebut Abu Paloh Gadeng.

Lebih jauh disebutkan, keberadaan kadi liar telah membuka peluang terjadinya zina secara terus-menerus. Pasalnya, para kadi liar ini sangat mudah menikahkan seseorang tanpa adanya wali dan saksi. Ulama di Aceh Utara telah beberapa kali melakukan muzakarah terkait kadi liar tersebut. Dalam rekomendasinya, forum ulama mengusulkan agar kadi liar yang berhasil ditemukan di Aceh dihukum kurungan maksimal dua tahun penjara atau sekurang-kurangnya dua bulan penjara.

Hukuman lain yang ditawarkan adalah sang kadi liar membayar denda. “Kita harap pemerintah menertibkan praktik kadi liar ini,” harap Abu Paloh Gadeng. Namun, rekomendasi boleh saja keluar, pemerintah boleh saja mengeluh, praktek pernikahan liar ini terus berlangsung

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 550 | Tahun XII 15 - 21 Juli 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 01.11. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Memburu Kadi Liar di Aceh"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added