MOST RECENT

|

Antara Mutu dan Biaya Kuliah

Masriadi Sambo - KONTRAS

SEKITAR tahun 2007 beasiswa melimpah di Aceh. Sejumlah lembaga donor yang membantu pemulihan ekonomi Aceh memang banyak menawarkan beasiswa. Tujuannya, agar anak Aceh pintar, dan mendapatkan pendidikan secara gratis. Kini, seiring berakhirnya masa tugas berbagai lembaga donor di Aceh, beasiswa pun semakin sedikit.

Di sisi lain, lembaga pendidikan tinggi di Aceh terus mengikuti rekan-rekannya di Nusantara, yakni meningkatkan jumlah 'pungutan' tiap tahun.

Meski jumlah uang yang dikeluarkan tinggi, tidak lantas ada jaminan peningkatan kualitas di perguruan tinggi yang bersangkutan. Pendiri Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial Aceh, Halidi MM di Lhokseumawe, menyebutkan, sejauh ini lulusan perguruan tinggi di Aceh tidak siap menghadapi dunia kerja. Mereka tidak memiliki kemampuan atau skill di bidang tertentu. Hanya menguasai teori, tanpa menguasai aplikasi secara praktis, sebagaimana yang diinginkan lapangan kerja.

"Saya amati, 90 persen lulusan itu tidak siap di dunia kerja. Mereka hanya berpikir, bagaimana menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ini yang sangat memprihatinkan," sebut Hadili.

Banyaknya sarjana di Aceh yang ingin menjadi pegawai negeri sipil, bukanlah isapan jempol. Setiap kali seleksi penerimaan CPNS dibuka, pelamarnya membludak, mencapai ratusan ribu orang. Mestinya, sarjana yang sudah punya kualifikasi tertentu siap berwiraswasta.

Tidak lantas menunggu lowongan kerja sebagai PNS setiap tahun. Lebih jauh dia menyebutkan, proses dalam sistem pendidikan di Aceh belum mengarah kepada kebutuhan pasar. "Kalau prosesnya tidak bagus, yakinlah hasilnya tidak bagus. Saya lihat, kampus belum mengarah ke proses yang bagus, bagaimana mendidik kemampuan tertentu pada mahasiswa," terang Hadili.

Dia membandingkan, lulusan Fakultas Hukum di berbagai kampus di Sumatera Utara sangat diburu kantor advokat, dan kantor lainnya yang membutuhkan sarjana hukum. "Kualitas mereka sangat diakui. Kalau kita minim pengakuan, karena rendahnya kualitas," tegas Halidi. Dia menyarankan, agar kurikulum yang sudah baku dari Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, harus disinkronkan dengan kebutuhan dunia kerja.

"Saatnya memberikan pengetahuan praktis, dan aplikatif. Tidak berkutat pada teori saja. Ini sangat dibutuhkan dunia kerja. Ini pula yang perlu dibenahi pendidikan tinggi di Aceh," terang Halidi.

Menyangkut biaya pendidikan, khusus untuk Aceh Utara, Halidi menyebutkan masih sangat terjangkau. Di daerah ini pun tersedia berbagai jenis beasiswa. Khusus untuk Aceh Utara, selain dari lembaga donor, beasiswa datang dari Pemda Aceh, PIM, PT Arun, Pemkab Aceh Utara, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Namun, kini beasiswa dari lembaga donor dan Pemkab Aceh Utara sudah tak ada lagi.

"Kini beasiswa dari Pemkab Aceh Utara sudah tak ada lagi. Jadi, otomatis sumber beasiswa berkurang. Dulu tahun 2008, bahkan ada beasiswa yang kita kembalikan, semua mahasiswa Politeknik Lhokseumawe gratis sekolah," sebut Humas Politeknik Negeri Lhokseumawe, Mukhtar, kepada Kontras, kemarin.

Dia menyebutkan, di Politeknik Lhokseumawe, biaya masuk bervariasi, dari Rp 175.000-Rp 225.000. "Kalau satu jurusan yang dipilih Rp 175.000, dua jurusan Rp 200.000, dan tiga jurusan plus bisa mendaftar ke Politeknik lainnya di Indonesia, Rp 225.000. Masih sangat terjangkau," sebut Mukhtar.

Dia menambahkan, untuk biaya sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) sejak tahun ini hanya Rp 650.000 per semester, sedangkan untuk D4 mencapai Rp 850.000 per semester.

Dibanding dengan Politeknik Medan yang SPP-nya mencapai Rp 1,2 juta per semester, di Aceh Utara jauh lebih murah. "Jadi, kita jauh lebih murah. Saat ini lulusan kita sudah sangat diterima di dunia kerja. 80 persen alumni sudah bekerja di berbagai bidang," sebut Mukhtar.

Sementara itu, di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, perkuliahan dibagi dua, yakni kelas reguler, dan kelas non-reguler. Non-reguler ini khusus untuk orang-orang yang telah bekerja. Hari kuliahnya Sabtu-Minggu.
"Biaya masuk kelas reguler di bawah Rp 400.000. Angka persisnya saya lupa," terang Humas Unimal, Husen MR. Biaya SPP untuk kelas reguler jurusan ilmu sosial Rp 300.000, dan untuk eksakta Rp 400.000 per semester.

Sedangkan untuk kelas non-reguler biaya pendaftaran Rp 2 juta. Sedangkan biaya SPP, khusus jurusan ilmu sosial Rp 1,2 juta, dan eksakta Rp 1,5 juta per semester.

"Kalau di kampus ini masih sangat terjangkau. Saya enggak tahu di kampus lainnya," sebut Husen.
Untuk meningkatkan kualitas lulusan, sebut Husen, Unimal berupaya meningkatkan kualitas dosen dan melengkapi alat praktik mahasiswa.

"Perlahan kita terus tingkatkan kualitas. Melengkapi laboratorium, kualitas dosen. Banyak dosen yang sedang kuliah S3 saat ini," ujarnya. Dia menyebutkan, 95 persen lulusan Unimal kini bekerja di berbagai lembaga swasta dan pemerintah.

Husen menambahkan, perlahan namun pasti, pihak kampus berupaya membuka akses ke dunia kerja untuk para alumninya. Itulah realitas pendidikan tinggi di Aceh Utara.

Publis Oleh Dimas Sambo on 00.02. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Antara Mutu dan Biaya Kuliah"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added