MOST RECENT

|

Saya, Hasan Tiro, dan Face Book

SATU hari, setelah meninggalnya Tengku Muhammad Hasan Di Tiro, seorang teman, Reza Idria, mengabari bahwa ada satu akun face book menghujat tokoh tertinggi di kalangan mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu. Saya kenal karakter Reza. Dia jarang marah. Bahkan, hampir tidak sama sekali. Namun, kali ini, dia begitu berapi-api.
“Ada satu pecundang dari seberang bernama Andriansyah Syihabuddin yang telah melecehkan berita duka meninggalnya wali Orang Aceh dan menghina makna wali bagi kita. Bereskan!” tulis Reza dalam status pribadinya.
Ada 11 orang menyukai status seniman Aceh ini. Lalu, 65 komentar bervariatif terhadap status Reza. Ada yang menghujat, ada pula yang nyeleneh. Intinya, semua mendukung argumen Reza Idria.

Saya tidak pernah mengenal Hasan Tiro sebelumnya. Saya mendengar cerita tentang Hasan Tiro, dari ibu kandung saya, yang asli dari Meureudu, Pidie Jaya. Bagi ibu saya, Hasan Tiro sosok yang misterius. Namun, sangat hebat dan fenomenal.

Ibu saya pun, mendeskripsikan Hasan Tiro sebagai pemuda yang kecil, tampan, berani, dan terbuka. Menurut ibu saya, beliau mendengar cerita tentang Hasan Tiro dari almarhum kakek saya.

Setelah meranjak dewasa, menimba ilmu di jurusan Ilmu Komunikasi, saya pun mulai mencari referensi tentang sang Wali Nanggroe (sebutan GAM untuk Hasan Tiro).

Dari sisi fisik, pria ini berbadan kecil. Namun, memiliki tatapan mata yang tajam. Pendiriannya jelas. Hanya kata-Merdeka- untuk Aceh.

Perjuangan melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditabuhkannya. Baginya, Indonesia, hanya sebuah Negara yang tidak pernah memikirkan provinsi dan kabupaten/kota. Daerah hanya sebuah “negara” bayangan. Hanya bisa dihayalkan. Namun, tidak dianggap dalam kehidupan nyata. Akibatnya, daerah selalu tertindas. Harta karun dari daerah dikeruk dan dibawa ke Jakarta, sebagai ibukota Negara. Ini pula yang membuat Sang Wali memberontak. Memanggul senjata. Mengumpulkan massa, dan menabuh genderang perang.

Bukan hanya itu, Hasan Tiro memiliki kemampuan mengolah isu, Menjustifikasi semua peristiwa alam, menjadi peristiwa politik. Ini pula yang dilakukan oleh kader mantan pejuang GAM.

Lihatlah ketika Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, April 2009 lalu. Satu hari, ada kejadian alam, di Pantai Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Ada lima ekor ikan hiu, mengantar satu ekor hiu lainnya ke daratan Pantai Lancok. Hiu itu terluka dan perlu pengobatan dari manusia.

Kemudian, beredar kabar, di kalangan mantan kombatan, bahwa satu ikan hiu yang terluka itu merupakan tafsiran dari Partai Aceh. “Enam ikan hiu, hanya satu yang diantar oleh teman-temannya di Aceh. Itulah Partai Aceh. Satu-satunya partai hasil MoU Helsinki,” begitu kabar yang beredar saat itu.

Kita tau, enam partai lokal lolos verifikasi dan berhak mengikuti Pemilu 2009 adalah, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Daulat Atjeh (PDA).

Klaim kejadian alam ini, merupakan trik kampanye yang luar biasa. Seolah-olah membenarkan bahwa hiu yang terluka itu adalah Partai Aceh, yang didominasi oleh mantan pejuang GAM, yang baru terintegrasi paskadamai di Aceh.

Kemudian, lihat pula spanduk yang dipasang oleh Partai Aceh. “Nyo keuh partai amanah MoU Helsinki (Inilah partai amanah MoU Helsinki),”. Bunyi spanduk itu seakan-akan, hanya partai Aceh sebagai amanah MoU Helsinki. Bagi masyarakat awam di Aceh, ini adalah sebuah fakta. Mereka tidak akan ambil pusing, bahwa amanah MoU Helsinki, adalah di Aceh diperbolehkan adanya partai lokal. Tentunya, bukan hanya Partai Aceh.

Dalam masa kampanye, tulisan spanduk itu, sangat wajar. Tujuannya, agar PA menang mutlak di Aceh. Hasil akhir, menunjukkan bahwa PA memang menang di sejumlah kabupaten/kota. Artinya, peristiwa alam,ditafsikran menjadi peristiwa politik sebagai kampanye efektif.

Mesin kampanye ini tentu tidak datang dengan sendirinya. Elit mantan GAM tentu mendisain pola kampanye apa yang digunakan untuk memenangkan Pemilu. Elit GAM, tentu langsung berkomunikasi dengan Sang Wali, untuk menentukan format kampanye itu. Hal ini, yang tidak saya lihat bisa diproduksi oleh partai lokal lainnya di Aceh.

Dengan segala kelebihan yang dimiliki Hasan Tiro, tentu banyak pemikir Aceh yang sangat marah, bila ada orang yang menghina sosok yang sangat fenomenal itu. Kemarahan itu, adalah sebuah kerinduan, akan hadirnya sosok baru sekelas Hasan Tiro. Sosok yang bisa menyatukan seluruh elemen di Aceh, untuk sebuah kata pembangunan berkelanjutan. Mengakhiri perang yang berkepanjangan, dan meneruskan damai untuk generasi masa depan.

Saat ini, masa depan damai Aceh tergantung bagaimana mantan GAM memposisikan diri. Merangkul mantan GAM yang masih menderita dan mengalami keterpurukan ekonomi. Jika tidak, saya khawatir, akan muncul barisan sakit hati. Jika ini terjadi, maka, damai Aceh berada diujung tanduk.

Bagaimana pula, parlemen Aceh yang didominasi kader PA, bisa membuat trobosan baru dalam lima tahun masa jabatannya. Membuat program pro rakyat. Mengenyampingkan kepentingan pribadi.

Pertanyaannya, mampukah kader PA menahan “nafsu” pribadi setelah duduk di kursi empuk parlemen? Hanya waktu yang bisa menjawab itu.

Publis Oleh Dimas Sambo on 21.46. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Saya, Hasan Tiro, dan Face Book"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added