Meluruskan Kiblat Pembangunan Aceh Utara
Masriadi Sambo - KONTRAS
Kiblat pembangunan Aceh Utara semakin tidak jelas. Ini akibat efek getar bobol kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, dan kasus ini sedang diselidiki Polda Aceh. Sebagian terdakwa telah dijebloskan ke penjara. Lalu, bagaimana meluruskan pembangunan di daerah yang pernah menduduki nomor urut dua terkaya di Indonesia itu?
ARAH pembangunan Kabupaten Aceh Utara semakin kacau. Kondisi itu terjadi pascabobolnya kas daerah Rp 220 miliar di Bank Mandiri Jelambar. Kehilangan uang kas sebesar itu tentu membuat pemerintah setempat kelimpungan. Ditambah lagi kemampuan melobi pusat dan investor untuk menanamkan modal ke kabupaten yang pernah menduduki nomor urut kedua terkaya di Indonesia itu. Pepatah menyebutkan, orang kaya jatuh miskin, akan sulit menerima kenyataan.
Itulah yang dialami masyarakat Aceh Utara dan pemerintahnya saat ini. Publik kabupaten itu menganggap pemerintahnya gatot alias gagal total. Krisis keuangan di daerah itu tak bisa dibiarkan terlalu lama. Jika dibiarkan, maka “kiamat” kecil akan dirasakan masyarakat Aceh Utara. Efek belum kembalinya uang kas Aceh Utara itu ke kas daerah mengakibatkan sejumlah proyek yang telah ditenderkan tidak bisa dijalankan. Informasi yang dihimpun Kontras, tender itu terpaksa ditunda pengerjaannya. Pasalnya, tidak ada uang untuk mengerjakan proyek itu.
Kepala dinas, badan dan kantor di Aceh Utara umumnya memilih jalur aman. Jika melanjutkan proses tender, mereka khawatir akan dikejar-kejar rekanan yang telah mengerjakan proyek. Selain itu, sebanyak 195 buruh angkut sampah tidak mendapatkan hak mereka seperti tahun lalu. Gaji mereka dikurangi Rp 5.000 per hari per orang. Bukan hanya itu, gaji keuchik pun hingga kini belum dibayarkan. Sedikitnya 1.704 pimpinan gampong yang terdiri atas keuchik dan sekretaris desa (sekdes) beserta 2.556 kaur dari 852 gampong di Kabupaten Aceh Utara.
Jerih keuchik Rp 700.000 per bulan, Sekdes Rp 500.000 per bulan, dan kaur Rp 250.000 per bulan biasanya dibayar tiga bulan sekali. Bukan hanya itu, uang meugang untuk 12.500 pegawai negeri sipil (PNS), termasuk tenaga honorer di berbagai kantor Pemkab Aceh Utara, juga ditiadakan. Biasanya, para PNS, termasuk tenaga honorer, tiap kali makmeugang selalu mendapat uang daging sebesar Rp 200.000-Rp 800.000.
Alokasi dana gampong (ADG) tahap II tahun 2009, Rp 25 juta per desa, juga belum jelas kapan akan dibayar. Ketua Asosiasi Keuchik Aceh Utara (Asgara) Muksalmina, menyebutkan, pihaknya sangat berharap agar dana itu segera dibayarkan oleh Pemkab Aceh Utara. Namun, hingga kini belum ada kejelasan sumber dana untuk ADG tersebut.
Sampai saat ini, Aceh Utara masih kelimpungan mencari pendanaan. Sejumlah PNS, tenaga honorer, jarang terlihat masuk kantor. Kantor pun sepi. Tidak ada aktivitas untuk melayani masyarakat secara maksimal.
Bupati harus mundur
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, menyebutkan, untuk mengatasi krisis keuangan di Aceh Utara secepat mungkin Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, dan Wakil Bupati Aceh Utara, Syarifuddin SE, mengundurkan diri dari tampuk pimpinan daerah itu.
Solusi lainnya, sebut Alfian, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara dan Panitia Anggaran DPRK Aceh Utara secepatnya harus duduk bersama membahas potensi untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). “Saat ini, yang kita tahu PAD Aceh Utara hanya Rp 38 miliar. Daerah sebesar Aceh Utara ini tidak mungkin PAD hanya begitu. Artinya, ada kebocoran pada level pengutipan PAD,” sebut Alfian.
Dia menyebutkan, kebocoran ini harus ditindak tegas. Siapa pun yang mengambil uang PAD itu harus dijebloskan ke penjara. Terkait adanya kebocoran PAD, kepala bidang PAD, di DPKKD Aceh Utara, Khatijah baru-baru ini di depan sidang paripurna DPRK Aceh Utara mengakui hal itu. Dia menyebutkan, perlu ditertibkan kebocoran-kebocoran PAD yang dipungut sejumlah dinas tertentu. “Perlu ditertibkan pungutannya. Misalnya, dinas A, memungut sektor A, tim dinas itu harus ditertibkan, agar tidak bocor lagi,” sebut Khatijah.
Motivasi pegawai
Alfian menyebutkan, kondisi Bupati dan Wakil Bupati yang tersangkut dalam kasus Rp 220 miliar itu berpengaruh pada motivasi kerja para pegawai. Saat ini, sebutnya, sejumlah pegawai hanya datang, duduk, dan pulang.
Tidak ada tunjangan prestasi kerja lagi untuk para pegawai di daerah tersebut. Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang ditemui Kontras, mengaku memang tidak semangat untuk bekerja. “Mana ada semangat, saya punya anak enam orang. Gaji sudah dipotong oleh bank, karena saya ambil kredit. TPK sudah dipangkas habis, saya terpaksa mencari pendapatan lain,” sebut salah seorang PNS. PNS lainnya menyebutkan hal yang sama. Dia menyebutkan, gajinya sudah habis dipotong oleh bank. “Tidak ada gaji lagi. Sekarang saya harus nyambi menjadi agen sepeda motor. Jual sepeda motor, bisa dapat untung sedikit,” ujarnya lirih.
Solusi penyelamatan
Hal senada disebutkan Direktur Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial Aceh di Lhokseumawe, Halidi MM. Dia menyebutkan, Aceh Utara harus pandai melakukan efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Misalnya, memangkas anggaran yang tidak terlalu penting seperti biaya operasional SKPK, pembelian kertas, mobil dan lain sebagainya.
Selain itu, menyetop penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) untuk tahun 2010 ini. “Kecuali yang diterima khusus tenaga teknis yang sangat dibutuhkan, misalnya guru untuk SMK. Dokter spesialis tertentu, dan lain sebagainya,” sebut Halidi. Halidi menguraikan tahun 1997, ketika Bireuen dan Lhokseumawe masih bergabung ke Aceh Utara, jumlah pegawai hanya 7.000 orang. Kini, jumlahnya mencapai 13.000 pegawai. Angka yang luar biasa untuk melayani 852 gampong.
Halidi menawarkan enam solusi untuk efisiensi anggaran di Aceh Utara. “Solusi pertama menunda sebagian kegiatan yang telah disahkan dalam APBK 2010 kemarin. Dianalisis, mana yang bisa ditunda, mana yang tidak,” tegas Halidi. Selain itu, dia menawarkan agar sebagian aset Aceh Utara dijual atau menjaminkan aset tersebut untuk mendapatkan suntikan dana dari perbankan. “Pinjam uang ke bank tidak masalah. Manajemennya harus profesional, layaknya perusahaan yang profesional,” terang Halidi.
Dia juga menyarankan, agar menunda pembayaran proyek multiyears. “Langkah yang sudah tepat yang diambil Aceh Utara saat ini adalah meminta bantuan dana dari provinsi. Misalnya, dana gaji keuchik itu yang sudah dianggarkan di APBA. Ini langkah sudah benar,” terang Halidi.
Halidi bahkan menyarankan hal paling ekstrem, yakni meminta sumbangan pada masyarakat. “Jika memang berani, pemerintah bisa meminta sumbangan dari masyarakat untuk melakukan pembangunan tersebut. Namun, ini jalan paling akhir dan sudah buntu,” sebut Halidi.
Untuk menghemat anggaran, Pemkab Aceh Utara juga bisa mengambil langkah melakukan regrouping (penggabungan) desa. Saat ini tercatat desa di kabupaten itu mencapai 852 desa. Padahal, masih sangat banyak desa yang tidak layak disebut sebagai desa. Idealnya, satu desa harus memiliki penduduk 1.000 jiwa atau 200 kepala keluarga.
“Saya pikir, sekitar 400 desa bisa digabungkan dengan desa lainnya. Artinya, ini sudah menghemat uang sebesar Rp 2 miliar untuk biaya alokasi dana gampong (ADG). Karena, jika ADG tidak disediakan oleh pemerintah kabupaten, maka dana BKPG juga tidak bisa diberikan oleh provinsi,” sebut Halidi.
Bukan hanya itu, honor keuchik pun bisa dihemat. Memang akan mendapatkan penolakan, namun, ini langkah yang harus diambil. “Pemimpin harus berani mengambil langkah ini. Jika mau melakukan penghematan,” sebut Halidi. Informasi lain yang dihimpun, dari kalangan DPRK Aceh Utara menyebutkan, kalangan DPRK Aceh Utara telah duduk dengan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, bulan lalu. Hasilnya, diketahui baru 20 persen dari Rp 38 miliar target PAD yang dihimpun oleh dinas tersebut.
Sementara itu, salah seorang panitia anggaran DPRK Aceh Utara, Zulfadli Abdul Thaleb, menyebutkan, sejauh ini pihaknya juga sedang memikirkan formulasi untuk menggenjot PAD Aceh Utara.
“Kita sedang berupaya menyusun langkah strategis untuk meningkatkan PAD. Sektor apa yang bisa kita tingkatkan, ini sedang kita kaji secara mendalam. Ini nantinya, akan dituangkan dalam qanun PAD, yang sedang dibahas,” sebut Zulfadli. Dia menyebutkan, sektor PAD yang akan digenjot diupayakan tidak akan memberatkan ekonomi masyarakat. “Janganlah masyarakat lagi kita bebankan. Misalnya begini, kalau tarif parkir kita naikkan, ini tidak bijak. Memberatkan masyarakat. Makanya, kita kaji secara serius untuk menghasilkan PAD yang bagus, dan tidak memberatkan masyarakat,” terang Zulfadli.
Politisi Partai SIRA ini juga meminta agar kelompok sipil memberikan masukan konkret, sektor PAD apa saja yang bisa ditingkatkan, namun tidak memberatkan masyarakat. “Kita terima dengan lapang dada masukan elemen sipil. Jangan sampai nanti, kebijakan yang dikeluarkan daerah, menjepit rakyat. Rakyat sudah susah, dijepit dengan aturan-aturan baru yang kita keluarkan. Ini tidak bagus,” terangnya.
Panitia anggaran, sebut Zulfadli, juga sangat serius mengupayakan sumber dana lain, seperti meminta pada Gubernur dan DPR Aceh untuk membantu pendanaan gaji keuchik dan aparatur gampong. “Kita juga mengupayakan pendanaan lain. Sehingga, kita harap, dengan begitu, pembangunan terus berjalan. Ya, meski pun agak lamban,” pungkas Zulfadli.
Respons bupati
Sementara itu, Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, baru-baru ini meminta masyarakat untuk mengerti tentang kondisi keuangan Aceh Utara. “Khusus untuk pegawai, sebagai anak yang baik, tentu dia akan mengerti kondisi keuangan orangtuanya. Harap bersabar, jika kemampuan keuangan daerah memadai, pasti akan diberikan fasilitas lebih juga pada PNS,” sebut Ilyas.
Terkait upaya konkrit yang dilakukan, Ilyas menyebutkan pihaknya sedang mencari sumber pendanaan lainnya, seperti meminta bantuan Provinsi Aceh. “Kita sedang cari sumber pendanaan lain yang sah,” sebut Ilyas. Saat disinggung tentang uang Rp 220 miliar itu, Ilyas tidak mau menjawab. “Kalau persoalan itu, saya no comment. Tanyakan ke pengacara saya,” pungkas Ilyas A Hamid singkat.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 556 | Tahun XII 26 Agustus - 1 September 2010