Aceh Utara Menjadi Pengemis
Masriadi Sambo - KONTRAS
Sempat menjadi daerah terkaya di Aceh, kini malah menyandang predikat daerah termiskin. “Kiamat” sudah terjadi di Aceh Utara. Tak ada pembangunan lagi. Malah kini mereka mengemis untuk mendapatkan suntikan anggaran dari Pemerintah Provinsi Aceh.
BUPATI Aceh Utara, Ilyas Abdul Hamid akrab disapa Ilyas Pase, Senin, 16 Agustus 2010 lalu, mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Surat dengan nomor 050/5207/2010 itu berisi permohonan bantuan keuangan untuk tahun 2011.
Dalam surat itu, bupati yang maju dari jalur independen ini meminta agar Irwandi Yusuf membantu pendanaan khusus untuk membayar gaji keuchik, imum mukim, sekretaris desa, kepala urusan gampong, tuha peut, dan kepala dusun. Selain itu, diminta pula untuk membayar gaji imam masjid, dari tingkat meunasah, kemukiman, kecamatan hingga imam masjid di kabupaten.
Selain itu, bupati juga meminta agar provinsi bersedia membayar gaji pimpinan dan guru dayah, plus guru balai pengajian. Dari semua items itu, Ilyas meminta suntikan dana sebesar Rp 59.203.500.000. Jumlah itu untuk membayar gaji 13.938 aparatur gampong, 1.162 gaji imam masjid, 5.941 gaji pimpinan dayah dan guru balai pengajian dari berbagai tipe.
Jika uang itu disetujui, maka uang itu akan dimasukkan dalam pos anggaran sekretariat daerah dan Dinas Syariat Islam Aceh Utara, tahun 2011 mendatang. Dalam surat itu, bupati berlasan, bahwa pendapatan Aceh Utara dari sektor bagi hasil migas, dari waktu ke waktu kian mengecil. Pendatan Aceh Utara tahun 2011 diperkirakan hanya sebesar Rp 712.236.943.900. Dari jumlah itu, sebesar Rp 545.118.310.919 digunakan untuk biaya tidak langsung, khususnya membiayai honor pegawai. Sisanya Rp 167. 118. 632.981 rencananya digunakan untuk belanja langsung.
Krisis keuangan dari sektor migas ini menjadi alasan utama, bupati “mengemis” suntikan dana ke provinsi. Tidak disinggung sedikit pun, bahwa Aceh Utara memiliki dana sebesar Rp 181 miliar yang kini dijadikan barang bukti, dalam kasus bobol kas daerah itu Rp 220 miliar. Kasus ini, kini dalam proses penyelidikan Polda Aceh. Bupati, Ilyas A Hamid, Sekda Syahbuddin Usman, dan Wakil Bupati Aceh Utara, Syarifuddin sudah diperiksa. Plus istri orang nomor satu dan dua daerah itu juga telah diperiksa.
Jumlah Rp 181 miliar itu tentu sangat besar. Cukup membayar gaji aparatur gampong, imum masjid, dan guru balai pengajian selama tiga tahun di daerah itu. Namun, apa boleh buat uang itu belum bisa diambil, masih ditahan sebagai barang bukti. Dalam surat itu, bupati tampaknya menyadari bahwa jika tidak membayar gaji aparatur gampong, maka roda pemerintahan akan berhenti. “Apabila honororium dimaksud tidak dibayar, dikhawatirkan tidak akan berjalan roda pemerintahan gampong dan melemahnya pembinaan keagamaan. Tentu saja akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Aceh Utara, khususnya dan Pemerintah Aceh umumnya,” tulis bupati dalam surat itu. Surat itu ditembuskan ke Ketua DPRA, Ketua Bappeda Aceh, Kepala DPKKA Aceh, Ketua DPRK Aceh Utara, Kepala Bappeda Aceh Utara, dan Ketua DPKKD Aceh Utara.
“Mengemis” anggaran bukan kali pertama dilakukan oleh Pemerintah Aceh Utara. Tahun 2010, Pemerintah Aceh juga membantu sebesar Rp 21 miliar dana untuk gaji keuchik di Aceh Utara. Pertanyaannya, sampai kapan harus menjadi “pengemis” anggaran ke Provinsi Aceh? Bukan kah ini akan memicu kecemburuan dari daerah lainnya, yang juga belum sejahtera? Lihatlah Aceh Tenggara, Nagan Raya, Subulussalam, Gayo Lues, daerah pinggiran itu juga mengalami krisis keuangan. Pembangunan juga belum merata, jalan kupak-kapik dan berlumpur menjadi pemandangan jika melintasi kawasan itu.
Kritikan pun dilontarkan. Aktivis antikorupsi menyebutkan, sangat tidak adil jika provinsi terus-menerus memberikan dana pada Aceh Utara. “Tahun 2010 sudah dibantu keuangan Aceh Utara. Tahun 2011 dibantu lagi, ini akan menyakiti rasa keadilan daerah lainnya. Kami menolak, bila provinsi memberikan bantuan lagi di tahun 2011,” sebut Koordinator Badan Pekerja, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, kepada Kontras.
Alfian menilai, jika Provinsi Aceh terus menerus memberikan bantuan uang, maka Aceh Utara akan menjadi kabupaten yang manja. “Tanpa mau berupaya keluar dari krisis keuangannya. Selama ini belum ada langkah konkrit untuk menambah pondasi pendapatan Aceh Utara,” terang Alfian.
Menurut data yang dimilik MaTA, Aceh Utara terpaksa “berutang” sebesar Rp 450 miliar. Jumlah itu untuk menutupi belanja aparatur di kabupaten itu. “Kalau untuk belanja publik memang sudah tidak ada. Jika pun uang Rp 181 miliar dari sitaan kasus bobol kas Aceh Utara berhasil diambil kembali, Aceh Utara tetap krisis. Tetap kiamat,” terang Alfian.
Kritikan lainnya datang dari anggota DPRA, Hj Nuraini Maida, ketika berkunjung ke kabupaten itu baru-baru ini. “Intinya kita sepakat untuk membantu Aceh Utara. Namun, perlu dilakukan terobosan andal, untuk mengatasi krisis keuangan yang berkepanjangan ini. Karena tidak mungkin selamanya disubsidi dari provinsi,” sebut politisi Partai Golkar itu.
Mantan anggota DPRK Aceh Utara ini menyebutkan, ketika Aceh Utara meminta suntikan dana ke Provinsi Aceh, banyak anggota DPRA juga tidak setuju memplotkan anggaran itu. “Namun, kita ingatlah jasa Aceh Utara. Saya ibaratkan, Aceh Utara ini seperti sapi betina, yang dulu gemuk, dan susunya diperas terus-menerus. Hasil susu itu diberikan juga ke daerah lain, saatnya membalas jasa Aceh Utara. Namun, sampai kapan ini harus berakhir. Ini yang patut dicarikan solusinya oleh Pemerintah Aceh Utara sendiri,” tegas Nuraidi Maida.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar ketika berkunjung ke Lhokseumawe juga mengingatkan Aceh Utara agar segera melakukan terobosan untuk mengakhiri krisis keuangan itu. “Jangan sampai disubsidi terus menerus. Daerah lainnya juga harus mengelola keuangan dengan baik. Jangan sampai terjadi krisis keuangan, terjadi di daerah lain. Cukup Aceh Utara saja,” sindir Wagub.
Solusi pertanian
Sementara itu, Ketua Asosiasi Keuchik Aceh Utara (Asgara), Muksalmina, kemarin, menyebutkan mendukung langkah Aceh Utara untuk meminta uang pada Pemerintah Aceh. “Itu hanya bisa dilakukan untuk sementara waktu. Harus ada langkah konkrit untuk meningkatkan pendapatan rakyat dan pendapatan daerah,” sebut Muksalmina.
Pria berkacamata ini menyebutkan, Aceh Utara harus menggenjot sektor pertanian untuk menambah angka pendapatan petani. “Misalnya, digenjot sektor sawit, coklat, dan karet. Disiapkan saja harga yang pantas atau dibuka pasar untuk petani. Gorontalo sukses mengekspor jagung ke Korea. Dari situ, PAD Gurontalo luar biasa, ini yang perlu dicontoh. Dan kami sebagai warga masyarakat dan petani sangat berharap ini,” ungkap Muksalmina.
Dia menyebutkan, perhatian dari Pemerintah Aceh Utara terhadap aparatur gampong terbilang minim. Ketika kabupaten itu masih kaya gaji keuchik tidak pernah dibayar tepat waktu. Umumnya dirapel per tiga bulan, bahkan pernah dibayar per enam sampai delapan bulan. “Waktu daerah ini kaya, gaji keuchik juga tidak mahal. Sekarang, sudah lumayan mahal Rp 700.000 per bulan. Harapan kami, dibangkitkan dulu sektor pertanian, untuk menutupi kekurangan uang daerah ini,” harap Muksalmina.
Terkait wacana penghapusan 320 desa di Aceh Utara sebagai langkah menghemat anggaran, Muksalmina menyatakan pihaknya sangat tidak setuju. “Kami tawarkan solusi lain, perkecil jumlah aparatur gampong, tanpa menghapus gampong itu sendiri. Misalnya sekarang satu desa ada empat keplor, dijadikan dua keplor saja,” saran Muksalmina.
Lebih jauh agar gaji keuchik merata di Aceh, perlu dibuat qanun tentang gaji keuchik. “Seluruh keuchik di Aceh gajinya disamakan saja. Misalnya, gajinya sesuai upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp 1,3 juta per bulan. Ini merata seluruh Aceh,” harapnya. Pemerataan besaran gaji itu, sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja aparatur gampong, dan provinsi bisa membantu sharing dana untuk semua daerah, bukan hanya Aceh Utara saja. “Daerah lain juga mengalami krisis keuangan. Nah, kalau polanya seperti ini, yang dibantu semua daerah kan,” ujarnya.
Belanja Pas-Pasan
Kepala Dinas Pengelolaan, Keuangan, dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Zulkifli tidak berhasil dikonfirmasi. Ketika didatangi ke kantornya, di lantai 2, kompleks Kantor Bupati Aceh Utara, Zulkifli tidak berada di tempat. Stafnya menyebutkan, akhir-akhir ini kepala dinas itu memang jarang masuk kantor. Dua nomor handphone yang digunakan Zulkifli pun tidak aktif. Pesan singkat yang dikirimkan Kontras, untuk meminta keterangan lengkap soal kebijakan anggaran di Aceh Utara, hingga deadline tidak dijawab oleh Zulkifli.
Sementara itu, Kapala Bidang Pengelolaan Anggaran, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPPKD) Aceh Utara, Nasir AW, yang dihubungi terpisah mengakui pihaknya telah mengusulkan agar Provinsi Aceh membantu anggaran di Aceh Utara. “Kita sudah minta Rp 52 miliar lebih. Tidak tahu, berapa angka yang akan dibantu oleh provinsi,” sebut Nasir AW.
Mengapa memilih angka Rp 52 miliar lebih? “Karena, tahun 2004 kita masukkan honor tengku dayah, dan balai pengajian. Kan, tidak mungkin kita hapuskan. Bisa menimbulkan konflik besar nanti,” ujar Nasir.
Dia menyebutkan, jumlah pegawai sebanyak 12.000 orang lebih, menyedot hampir seluruh anggaran daerah. Jumlah pegawai yang diterima tidak sebanding dengan jumlah pegawai yang pensiun. Plus, pegawai honor yang menambah beban pengeluaran daerah. Nasir menyontohkan, pada tahun 2008 saja pegawai yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) baik itu formasi umum dan honorer mencapai 2.000 orang. Padahal, jumlah PNS yang pensiun hanya sekitar 50 orang.
Saat didesak untuk menyebutkan angka pasti APBK Aceh Utara tahun 2011, Nasir enggan menyebutkannya. “Saya lupa. Sekitar 700-800 miliar. Uang sejumlah itu kita tujukan hanya untuk kebutuhan dasar saja. Belum ke arah pembangunan. Sehingga, tidak defisit. Namun, tidak ada pembangunan yang luar biasa,” sebut Nasir.
Hal senada diakui oleh Ketua Panitia Anggaran DPRK Aceh Utara, Khaidir Abdurahman. Politisi Partai Aceh ini menyebutkan, tahun 2011 pihaknya sepakat untuk membelanjakan uang daerah pas-pasan. “Sesuai kebutuhan dasar saja. Kita sepakat untuk memplot anggaran pada kebutuhan yang mendesak,” sebut Ketua Komisi C, bidang anggaran DPRK Aceh Utara ini.
Langkah lain yang diambil oleh DPRK dan Bupati Aceh Utara adalah menyetop penerimaan PNS. Informasi yang dihimpun, menyebutkan, bupati dan kalangan legislatif telah sepakat dua sampai tiga tahun ke depan tidak akan menerima PNS di kabupaten itu.
Saat ditanyakan hal ini pada Khaidir, dia enggan menjawab. Terkait suntikan dana sebesar Rp 21 miliar dari Pemerintah Aceh tahun 2010, Khaidir membenarkan. Sabtu, 4 September 2010, uang sebesar Rp 21 miliar itu sudah masuk ke kas daerah Aceh Utara. “Untuk gaji keuchik tahun ini sudah aman. Jadi, kita harap keuchik tidak khawatir lagi,” sebutnya.
Sedangkan untuk tahun 2011, masih menunggu jawaban dari DPRA dan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Khaidir menyebutkan, pihaknya mendesak agar DPKKD Aceh Utara memaksimalkan sektor PAD. Misalnya, sektor galian C, penangkaran burung walet. “Memang tidak maksimal. Tapi, paling tidak ini membantu krisis keuangan,” ujar Khaidir.
Selain itu, Khaidir menyebutkan DPRK Aceh Utara dan Pemerintah Aceh Utara bersama daerah lainnya di Aceh bersepakat untuk mendorong agar qanun pengelolaan dana otonomi khusus diubah. Sehingga, dana ratusan miliar tidak lagi menumpuk di Provinsi Aceh, tapi bisa langsung ke daerah.
“Sehingga, keuangan pemerintah daerah juga bisa terbantu. Pembangunan bisa berjalan maksimal. Kalau sekarang ini, seluruh dana Migas dan Otsus terkonsentrasi di provinsi, sehingga puluhan miliar setiap tahunnya harus dikembalikan ke pemerintah pusat, karena tidak habis digunakan,” ujar Khaidir. Dia berharap, agar perlahan namun pasti, kerja sama eksekutif dan legislatif bisa mengakhiri krisis keuangan di Aceh Utara ini.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 558 | Tahun XII 9 - 15 September 2010