MOST RECENT

|

Keputusan ‘Aneh’ PN Lhoksukon




Masriadi Sambo - KONTRAS
Minggu ini, dua terdakwa kasus korupsi pengadaan obat di Dinas Kesehatan Aceh Utara, tahun 2006 silam, dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon. Sebuah keputusan aneh. Pertarungan keadilan dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

KAMIS, 6 Mai 2010, bisa dikatakan menjadi hari paling sial dalam hidup Zakaria SKm, pejabat pembuat teknis kegiatan (PPTK) di Dinas Kesehatan Aceh Utara. Dia bersama Direktur CV Ananda Jihan Humaira, Yosrizal, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Lhoksukon. Sejak kecil, hingga dewasa, keduanya tak pernah bermimpi hidup dibalik jeruji besi.

Kejari Lhoksukon, Zairida M Hum, melalui Kasi Pidana Khusus, Hendra Busrian SH, menyebutkan, keduanya ditahan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan obat-obatan di Dinkes Aceh Utara, tahun 2006 lalu. Keduanya ditahan sampai 26 Mei 2010 dan dititip di LP Lhoksukon. Setelah itu, status mereka diganti menjadi tahanan kota. Dari kasus itu, kejaksaan melakukan penyelamatan kerugian Negara sebesar Rp 197.363.921.

Hendra menyebutkan Zakaria SKM, diduga kuat melakukan kesalahan penyimpangan dan pengadaan denda keterlambatan terhadap pelaksanaan pengadaan obat-obatan untuk Puskesmas dan Pustu di Dinas Kesehatan Aceh Utara tahun 2006. Dari tersangka ini, mampu diselamatkan kerugian negara sebesar Rp 82.967.097,50.

Lebih jauh Hendra, menjelaskan Yosrizal, tersandung kasus yang sama. Yosrizal sebagai rekanan dengan nomor kontrak No027/363/KPBJ/Dinkes/2006/8 Nov 2006, karena telah memasukkan garansi Bank pelaksanaan yang palsu (bodong) dimana BPD Aceh tidak pernah menerbitkan atau mengeluarkan garansi bank untuk pelaksanaan proyek itu. Dari tersangka ini berhasil diamankan kerugian Negara sebesar Rp 114.396.824.

Dia menambahkan, sesuai dengan penyimpangan yang dilakukan, kedua tersangka dijerat Pasal 3, 12e UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP. Kemudian, proses persidangan pun berlanjut. Salah satu agenda persidangan yang menarik diikuti terjadi Rabu, 14 Juli 2010. Saat itu, majelis hakim mendengarkan, keterangan saksi ahli, M Huriyonto, dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh. M Huriyonto adalah salah satu auditor senior di BPKP Aceh.

Dalam keterangannya di depan majelis hakim, M Huriyonto, menyatakan kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 120 juta. “Denda yang ditetapkan oleh Dinkes Aceh Utara dalam kasus pengadaan obat-obatan itu terlalu kecil. Pemutusan kontrak seharusnya dilakukan Desember 2006, namun baru dilakukan 4 September 2007. Setelah kita hitung sesuai ketentuan, kerugian negara Rp 120 juta,” kata M Huriyonto.

Sejak awal sampai akhir sidang kasus ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Tauhari Tafsirin SH dan hakim anggota Jamaluddin SH dan Riswandi SH. Kedua pengacara terdakwa, yakni pengacara terdakwa Zakaria SKM, Yusuf Ismail Pase, dan pengacara Yosrizal, Sofyan Adami keberatan dengan hadirnya saksi ahli tersebut.

Pasalnya, pengacara menilai kehadiran saksi ahli tidak mendasar, karena tidak tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sebelumnya. Namun, majelis hakim membolehkan hadirnya saksi ahli untuk didengarkan pendapatnya. Dalam persidangan itu, saksi ahli juga menjelaskan letak kerugian Negara dalam kasus itu. Dia berkali-kali menyebutkan, bahwa siapa pun auditornya, maka akan menyebutkan kasus itu sangat merugikan negara.

“Siapa pun auditornya, saya pikir, jika dia auditor benaran, maka dia akan mengetahui kerugian negara. Sangat jelas, angka kerugian negara dalam kasus ini,” ujar M Huriyonto, pria berdarah Batak, Sumatera Utara, itu mengakhiri keterangannya sore itu.

Dituntut 5 Tahun
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ferik Demiral SH dan Ruhamah SH menuntut Zakaria dihukum 5 tahun penjara plus denda Rp 100 juta dan subsider 6 bulan kurungan. JPU juga menuntut Yosrizal agar dihukum 4 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 100 juta dan subsider kurungan 6 bulan.

Selain itu, JPU juga menuntut kedua terdakwa menyediakan uang pengganti sisa kerugian negara sebanyak Rp 117 juta. Menurut jaksa, total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 197 juta dan Rp 80 juta di antaranya sudah disita oleh kejaksaan beberapa waktu lalu.

Vonis bebas
Pada Rabu 1 September 2010, Zakaria dan Yosrizal bisa bernapas lega. Setelah empat bulan berkutat dengan kasus dugaan korupsi, keduanya siang itu divonis bebas oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Tohari Tafsiri SH dan hakim anggota masing-masing Jamaluddin SH dan Rismawan SH.

Majelis hakim membacakan amar putusan setebal 65 halaman secara bergantian. Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai kedua terdakwa tidak bersalah. Khusus untuk Zakaria, dinilai kesalahannya hanya pada ranah administratif saja. Sehingga, tidak mungkin kesalahan administratif dibawa ke ranah pidana, lebih spesifik tindak pidana korupsi. Terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan dan direhabilitasi namanya.

Pagi itu, ruang sidang lantai satu, Pengadilan Negeri LHoksukon, dipenuhi oleh keluarga Zakaria. Terlihat anak, paman, keponakan dan istrinya memenuhi ruang sidang. Semua wajah tampak tegang ketika majelis hakim membacakan amar putusan secara bergantian. Zakaria juga terlihat lesu, tidak bersemangat dan enggan menatap ke kamera wartawan.

Dia mengenakan kemeja kotak-kotak. Lalu, ketika majelis hakim memvonisnya dengan ganjaran bebas murni, Zakaria tersenyum girang. Melakukan sujud syukur dan memeluk seluruh keluarganya yang hadir. “Ini sangat berat. Namun, sekarang jauh lebih lega. Saya yakin sejak awal, saya tidak bersalah,” ujarnya kepada Kontras, usai persidangan. Hal senada disebutkan Direktur CV Jihan Humaira, Yosrizal. Keduanya kini bisa bernapas lega, menyambut Idul Fitri tak lagi dibui. Mereka bisa bersuka-cita di rumah bersama anak-istri.

Bertarung di MA
Namun, kebahagiaan Zakaria dan Yosrizal tampaknya tak bisa begitu lama. Pasalnya, Kejari Lhoksukon, Zairida M Hum, resmi menyatakan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan bebas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Lhoksukon.

Zairida menilai vonis bebas itu sangat aneh dan tidak logis. “Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) sudah jelas menyatakan adanya kerugian negara sekitar Rp 190 juta lebih. Majelis hakim sendiri juga mengakui adanya kesalahan terdakwa, meskipun hanya kesalahan administratif. Tapi anehnya, kedua terdakwa malah divonis bebas,” kata Zairida M Hum.

Lebih jauh dia menjelaskan, proses tender obat-obatan tersebut melanggar Pasal 35, Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pangadaan barang dan jasa, dimana terdakwa Yosrizal menggunakan garansi bank palsu.

“Ini sesuai keterangan saksi ahli dan ini menandakan proses kontrak cacat hukum atau tidak sah. Jika majelis hakim tidak menemukan adanya unsur pidana, semestinya bisa dialihkan ke perdata,” tegas Zairida. Sekadar diketahui, untuk kasus vonis bebas, maka JPU bisa mengajukan kasasi. Bukan banding ke Pengadilan Tinggi. Banding khusus untuk vonis lebih ringan dibanding tuntutan JPU. “Kita faighting lagi di MA,” pungkas Zairida M Hum.

Sementara itu, Masyarakat Transparansi Aceh menilai majelis hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon secara tidak langsung telah ‘membuka’ ruang korupsi yang berpotensi menghancurkan keuangan negara. Buktinya, hakim memvonis bebas dua terdakwa perkara korupsi pengadaan obat-obatan di Aceh Utara.

Koordinator Badan Pekerja MaTA Alfian kepada Kontras, baru-baru ini di Lhokseumawe, menyebutkan, putusan bebas terhadap terdakwa korupsi Zakaria dan Yusrizal karena hakim mengabaikan pasal 4 UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Bunyi pasal 4 itu, antara lain, bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara tindak menghapus tindak pidana korupsi”.

“Artinya, langkah yang diambil hakim tersebut berpotensi membahayakan keuangan negara, karena di satu sisi hakim justru `mengajak’ pejabat dan pihak lainnya yang bermental korup untuk menggerogoti uang negara. Nanti jika diproses oleh penyidik, buru-buru mengembalikan kerugian negara, sesampai di pengadilan divonis bebas,” kata Alfian.

Menurut Alfian, vonis bebas terdakwa korupsi itu juga menunjukkan ke publik bahwa ternyata di Aceh Utara antara jaksa dengan hakim tidak sejalan dalam pemberantasan korupis. Padahal, kata dia, tindakan jaksa menyita uang dari terdakwa menunjukkan kuatnya potensi kerugian keuangan negara. Tapi begitu beraninya hakim membebaskan terdakwa korupsi itu.

“Kita mencurigai ada sesuatu di balik putusan yang kita nilai tidak murni sesuai fakta hukum. Karenanya, kita harapkan agar jaksa tidak hanya ngomong akan menempuh upaya kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan hakim PN Lhoksukon itu, tapi upaya hukum tersebut perlu ditunjukkan buktinya ke publik,” tegas Alfian.

Sementara itu, Ketua Majelis Hakim kasus itu, Tohari Tafsiri SH, mempersilakan kedua belah pihak menggunakan proses hukum lainnya. “Sebagai pencari keadilan, saya persilakan JPU atau pengacara terdakwa untuk mengambil langkah hukum lain, setelah jatuh vonis. Jika JPU mau kasasi, silakan saja,” sebut Tohari. Dia menyebutkan, vonis yang diambil oleh majelis hakim telah didasari oleh fakta persidangan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Sekadar diketahui, proses kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan waktu sangat lama. Rata-rata, proses kasasi baru ditanggapi MA setelah tiga tahun. Umumnya, MA lebih mengejar kasasi yang terdakwanya ditahan oleh JPU dan dititipkan ke LP di sejumlah daerah. Jika terdakwa tidak ditahan, biasanya tiga tahun baru mendapat jawaban kasasi tersebut.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 558 | Tahun XII 9 - 15 September 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.11. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Keputusan ‘Aneh’ PN Lhoksukon"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added