PERS KEBABLASAN DI ACEH
MINGGU ketiga Ramadan 1431 Hijriah, bisa jadi menjadi salah satu bukti kebablasan oknum pekerja pers di Aceh. Saat itu, Arif Surahman, jurnalis Tabloid Citra Aceh (media lokal berkantor pusat di Kota Langsa) memuat sebuah berita tentang dugaan mobil dinas yang dibawa oleh mantan kepala bagian kelautan, Dinas Kelauatan dan Perikanan (DKP) Lhokseumawe, Nur Khalis, ditangkap di Aceh Besar, dengan tuduhan membawa narkoba. Tidak tanggung-tanggung, dalam berita itu, Arif menggunakan sumber anonim (sumber yang dirahasiakan) sebagai sumber utama. Sumber kedua berita adalah pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengutuk bahwa mobil dinas tersebut disalahgunakan. Sumber ketiga, konfirmasi terhadap kebenaran berita itu sendiri pada sang tertuduh, yakni Nur Khalis.
Sekilas tidak ada yang salah, dalam berita itu. Cukup berimbang. Kesalahan berita itu baru terungkap, ketika Nur Khalis, menodongkan pisau tajam ke leher si wartawan di satu sore di rumahnya. Sontak, komunitas wartawan di Lhokseumawe dan Aceh Utara heboh terhadap adanya kekerasan terhadap pekerja pers ini. Tentu, tindakan Nur Khalis itu masuk dalam ranah kriminal, dan patut diganjar hukum pidana.
Tindakan Nur Khalis kemudian dilaporkan secara resmi oleh Arif Surahman, kepada Polisi Sektor (Polsek) Banda Sakti, Lhokseumawe.
Saat itu, saya dan teman-teman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe, mencoba menelaah isi berita itu. Diskusi kecil membahas persoalan itu pun digelar. Ada yang menganalisis dengan menggunakan metode conten analysis (metode analisis isi) dan ada pula yang menggunakan metode sebab-akibat. Tak mungkin diancam bunuh, bila tidak menulis sesuatu yang merugikan orang tertentu.
Saya menyimpulkan, antara Arif Surahman dan Nur Khalis, keduanya dalam posisi salah. Kesalahan Arif ini bisa disebutkan, merupakan kebablasan dari oknum pekerja pers di Aceh. Ada beberapa hal kesalahan yang saya temukan dalam berita tersebut.
Pertama, sumber kedua, dalam berita itu disebutkan salah seorang aktifis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bernama Arif Surahman. Belakangan, diketahui, sumber ini adalah sang wartawan sendiri, yang juga bekerja pada salah satu LSM di Lhokseumawe. Tindakan ini sudah melanggar melanggar Pasal 3, kode etik wartawan Indonesia (KEWI). Pasal 3, KEWI menyebutkan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penjabaran pasal ini menyebutkan, opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif yaitu pendapat yang merupakan interpretasi wartawan atas fakta (Lembaga Pers DR Soetomo, Jakarta, 2010). Kasus Arif, tentu masuk dalam kategori memasukkan opini pribadi.
Kedua, ketika Nur Khalis mengancam Arif Surahman dengan sebilah pisau ke lehernya, agar menyebutkan siapa sumber rahasia itu, Arif langsung menyebutkan nama sang sumber tersebut. Idealnya, wartawan tidak boleh menyebutkan sumber yang dirahasiakannya (anonim) pada siapa pun. Kecuali, jika kasus itu bergulir ke depan pengadilan. Hanya dipengadilan, sumber anonim ini bisa dibuka. Selain itu, wartawan harus faham, tujuh kriteria sumber anonim seperti yang disebutkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (1999) yang kemudian dikampanyekan oleh Yayasan Pantau Jakarta. Ketujuh keriteria itu, yakni sumber tersebut berada dalam lingkaran pertama “kasus” yang diberitakan, misalnya dia pelaku atau saksi mata. Bukan penggosip, yang menyampaikan gosip pada wartawan untuk tujuan tertentu. Selain itu, keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya kita tulis.Contohnya, dia dan keluarganya akan kehilangan nyawa bila namanya kita cantumkan. Bukan sekadar kehilangan pekerjaan atau hubungan sosial semata. Motivasi sumber anonim memberikan informasi, apakah benar untuk kepentingan publik atau kepentingan pribadi. Selain itu, integritas sumber harus diperhatikan. Satu hal yang sering dilupakan, penggunaan sumber anonim harus mendapatkan izin dari atasan, semisal redaktur halaman, redaktur pelaksana, dan pemimpin redaksi. Sumber anonim orang yang independen. Selain itu, perlu disepakati dengan si sumber anonim, bahwa perjanjian pengunaan nama anonim akan batal, bila kemudian hari dia terbukti berbohong, dan patut namanya dipublish ke publik, sebagai ganjaran kebohongan itu sendiri.
Kecendrungan wartawan di Aceh saat ini, langsung menulis sumber anonim, tanpa memverifikasi keabsahan sumber tersebut. Sehingga, banyak narasumber yang merasa dirugikan. Karena, pernyataan yang dikeluarkan oleh sumber anonim itu tidak didukung oleh data dan fakta yang kuat. Sehingga, terkesan fitnah dan memojokkan seseorang. Tentu ini tidak ideal, dan tak patut ditiru. Wartawan dan media yang baik, tentu menggunakan standar jurnalisme yang tinggi, untuk menghindari gugatan hukum dikemudian hari.
Ketiga, persoalan penggunaan hak jawab. Orang yang merasa dirugikan dari pemberitaan pers, bisa menggunakan hak jawabnya. Nur Khalis, sebagai orang yang disudutkan seharusnya menggunakan hak jawabnya dalam kasus itu. Tanpa perlu melakukan pengancaman dengan sebilah pisau. Dalam aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, Jakarta, media wajib memeberikan hak jawab selama 60 hari sejak berita itu disiarkan. Itu pun, jika memang dalam berita itu belum ada hak jawab, atau hak jawab terlalu sedikit. Misalnya, si narasumber menyebutkan, maaf saya sedang sakit di rumah sakit. Minggu depan, saya akan berikan keterangan lebih lengkap. Si wartawan, wajib memberikan hak jawab sinarasumber tersebut. Sehingga, tidak muncul sengketa antara pers dan pejabat publik atau narasumber dari kelompok lainnya.
Bahkan, menurut Atmakusumah, jurnalis senior dan pengajar di LPDS Jakarta, dalam sebuah perbincangan dengan saya di Banda Aceh, menyebutkan, jika media tertentu, mengambil berita itu dari kantor berita, atau situs online lainnya, lalu menyiarkannya, maka media yang menyiarkan berita itu wajib memberikan hak jawab pada pihak yang merasa dirugikan. Misalnya, media A, mengambil salah satu berita dari kantor berita ANTARA milik Indonesia, lalu menyiarkannya, maka media A juga wajib memberikan hak jawab orang yang merasa dirugikan.
Keempat, keberimbangan (cover both side). Keberimbangan yang dipahami oleh wartawan secara umum adalah telah mengkonfirmasi kepada narasumber yang diduga melakukan kesalahan. Bisanya, format penulisan berita yang digunakan yakni menulis segala macam tudingan pada bagian atas berita, sedangkan konfirmasi hanya beberapa paragraf saja dibagian bawah berita. Idealnya, yang dimaksud yaitu sejak alinea pertama telah disebutkan bahwa orang yang diduga bersalah itu membantah semua tuduhan tersebut. Hal ini mengingat, umumnya, pembaca surat kabar hanya membaca tiga sampai empat paragraf pertama. Tidak membaca seluruh isi berita secara utuh. Sehingga, media benar-benar menjadi tempat yang netral, dan tidak memojokkan salah satu pihak. Soal siapa yang salah dan benar, biarlah sidang pembaca yang menilai. Soal pembuktian kesalahan itu, sudah ada aparat hukum, dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan yang menelusuri dan menjatuhkan vonis.
Kasus Arif Surahman dan Nur Khalis patut menjadi renungan kita semua. Kasus ini ditutup, karena keduanya sepakat untuk berdamai. Namun, kasus itu patut dijadikan bahan renungan untuk kalangan pekerja media, pejabat publik dan seluruh sidang pembaca. Sehingga, jika ada yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, silahkan menempuh jalur hak jawab. Tak perlu menggunakan kekerasan. Meski begitu, pers juga patut melakukan introspeksi diri. Sudahkah memenuhi kode etik, dan memahami UU Pokok Pers.
Akhir tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, pers adalah pilar demokrasi. Kebebasan pers, bukan kebebasan tiada batas, seperti lautan luas tak bertepi. Kebebasan dalam menggali, mencari, menulis, dan menyiarkan fakta dan data pada publik. Bukan kebebasan kebablasan, sesukanya, tanpa mengikuti aturan yang berlaku. Mari merenung []
SUMBER > http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=313:pers-kebablasan-di-aceh-&catid=77:humaniora&Itemid=127