MOST RECENT

|

Pro-Kontra Rancangan Qanun PD Migas Aceh Utara




Masriadi Sambo & Jafaruddin - KONTRAS

RANCANGAN qanun Perusahaan Daerah Bina Migas dan Energi yang lebih akrab disebut qanun PD Migas kembali digodok di DPRK Aceh Utara. Langkah ini untuk melanjutkan tindakan DPRK periode sebelumnya, yang juga menggodok qanun yang sama. Sebelumnya, seluruh elemen sipil di Aceh Utara telah menolak rencana DPRK periode sebelumnya membahas qanun ini. Masyarakat sipil menilai, qanun itu penuh kepentingan oleh segelintir masyarakat di kabupaten yang dulu dijuluki Kota Petro Dolar itu.

Kini, qanun itu kembali dibahas. Informasi yang diterima Kontras, qanun itu telah dibahas secara intensif di panitia legislasi DPRK Aceh Utara. Kontras menemukan draf rancangan qanun tersebut setelah direvisi per Agustus 2010. Kabarnya, eksekutif dan legislatif akan membahas qanun itu satu kali lagi, sebelum disahkan dalam sidang paripurna dalam tahun ini.

Sontak, rencana pengesahan qanun ini pun mendapat kritikan tajam dari sejumlah elemen sipil di Aceh Utara. Juru bicara Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Aceh Utara, Safwani SH, menyebutkan, pihaknya sudah menolak hajatan mendirikan PD Migas di Aceh Utara itu. Dia menilai, tidak ada untungnya untuk mendirikan perusahaan tersebut. Perusahaan yang sudah ada saja tak kunjung menghasilkan laba dan menambah pendapatan asli daerah (PAD).

“Sejak awal, ketika DPRK periode lalu mengusulkan qanun ini disahkan, kita sudah menolak. Sangat aneh juga, DPRK kali ini membahas qanun itu lagi,” sebut Safwani. Dia menilai, DPRK Aceh Utara tidak memahami kebutuhan qanun yang diperlukan di daerah itu saat ini. Safwani menyontohkan, seharusnya seluruh rancangan qanun dibahas dengan forum publik. Sehingga, qanun yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat di kabupaten itu.

“Qanun yang harus dipikirkan itu bagaimana meningkatkan PAD dari sektor yang jelas. Misalnya, retribusi sarang burung walet, masih banyak sarang burung walet ilegal di kabupaten ini,” sebut Safwani.

Data dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPPKD) Aceh Utara, pajak burung walet hanya Rp 60 juta, ditambah retribusi burung walet sebesar Rp 20 juta. Sektor burung walet hanya menyumbang Rp 80 juta. Angka yang sangat memprihatinkan. Padahal, puluhan sarang burung walet berada di Tanah Jambo Aye, Lhoksukon, Geudong, dan sejumlah kecamatan lainnya.

“Mengapa potensi jenis ini tidak dipikirkan?” tanya Safwani. Dia menyebutkan, pihaknya tetap menolak rencana pengesahan qanun tersebut. Hal senada disampaikan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian. Pria lajang ini mengatakan, dari awal qanun PD Migas memiliki muatan politis. “Qanun itu dirancang untuk orang-orang tertentu yang tidak memiliki jabatan lagi,” sebut Alfian.

Dia menyarankan agar Pemerintah Provinsi Aceh saja yang mendirikan PD Migas, bukan pada level kabupaten/kota. Alfian menyontohkan, Kabupaten Aceh Timur yang telah mendirikan PD Migas sejak tahun 2008 hingga kini belum memiliki investor yang mau menanamkan modalnya di sektor minyak bumi dan gas.

Bahkan, informasi yang diterima Alfian, setiap tahun PD Migas Aceh Timur mengeruk uang APBK kabupaten itu sebesar Rp 900 juta - Rp 1,5 miliar. Uang itu untuk biaya operasional, alat tulis kantor (ATK), dan gaji para pengelola PD Migas Aceh Timur. “Jika ini kembali di Aceh Utara, sangat disayangkan. Harusnya legislatif bercermin pada kasus Aceh Timur itu,” beber Alfian.

Dia menilai, qanun itu tidak sesuai dengan semangat efisiensi anggaran di Aceh Utara. Sejauh ini, jumlah satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK) diperkecil hanya menjadi 24 dari sebelumnya mencapai 32 SKPK. Dia menyebutkan, DPRK Aceh Utara perlu menjelaskan kepada publik alasan konkrit dan pentingnya mendirikan PD Migas tersebut. “Jangan sampai PD ini hanya menjadi lahan bagi orang yang tidak memiliki posisi politis,” sebut Alfian. Dia mendesak agar panitia legislasi (Panleg) DPRK Aceh Utara melakukan kajian serius terhadap qanun itu dan memaparkannya pada publik Aceh Utara.

Selama ini kalangan pengusaha di Aceh Utara mendukung berdirinya PD Migas tersebut. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh Utara, Teuku Moni Alwi.

“Kita sangat mendukung berdirinya PD Migas. Karena bisa menyerap lapangan kerja dan menunjang PAD Aceh Utara,” sebut Moni kepada Kontras, baru-baru ini. Dia menyebutkan, kekhawatiran elemen sipil bahwa akan menguras keuangan daerah bisa terjawab dari kinerja tim yang akan duduk di PD Migas itu.

“Dari awal, hajatannya tidak akan mengambil uang kas daerah. Jika perlu, sesama pengusaha di Aceh Utara melakukan investasi ke PD tersebut,” tegas Moni. Gagasan Moni ini ditanggapi tegas oleh Alfian. Dia menyebutkan, jika pun ada pihak ketiga atau investor yang ingin masuk ke PD Migas nantinya, dari sekarang harus sudah jelas investor mana yang akan membantu pendanaan tersebut.

“Harus jelas siapa nama investornya. Nanti butuh dana operasional, PD minta lagi ke daerah. Jika begini terus, maka pembangunan sektor rakyat akan nol,” tegas Alfian. Dia menyarankan, pihaknya tetap menolak rencana pendirian PD Migas tersebut. “Saran kita, DPRK dalam hal ini Panleg harus menanyakan pendapatan industri ekstraktif untuk negara itu berapa. Misalnya, pendapatan PIM berapa? Ini kan masih misteri, Pemerintah Aceh juga harus tahu angka itu, sehingga dana bagi hasil minyak bumi dan gas bisa jelas berapa rill-nya,” tegas Alfian.

Mengapa mesti dimulai oleh DPRK Aceh Utara? Alfian menyebutkan, karena Aceh Utara sebagai daerah penghasil wajib mengetahui berapa angka laba perusahaan industri ekstraktif di Aceh Utara. “Jadi, bagi hasil migas semakin jelas dan transparan. Ini juga menguntungkan Aceh Utara dan PAD-nya,” tegas Alfian.

Kekhawatiran elemen sipil bukan tidak beralasan. Pasalnya, dalam draf qanun yang diperoleh Kontras, tercantum jelas bahwa modal PD Migas merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Artinya, kekayaan Kabupaten Aceh Utara yang disetorkan dalam PD tersebut. Dalam jabaran pasal 10 tentang modal dan pembiayaan disebutkan bahwa besaran modal awal yang ditempatkan dan disetor pada perusahaan pada saat pendiriannya. Besaran rupiah yang disetor sebagai modal awal dan modal berikutnya sesuai dengan keputusan bupati serta mendapat persetujuan DPRK Aceh Utara.

Sementara itu, soal modal dari pihak ketiga disebutkan harus disetujui oleh bupati dan DPRK Aceh Utara, plus semua alat likuiditas disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh, atau bank pemerintah lainnya.

Selain itu, draf qanun itu juga menyebutkan soal pengangkatan direksi dan badan pengawas PD Migas. Tidak disebutkan secara detail berapa orang yang duduk dalam badan pengawas dan direksi. Masa jabatan mereka masing-masing tiga tahun, diangkat oleh bupati dan diuji kelayakan dan kepatutan oleh DPRK Aceh Utara.

Kabar yang diterima Kontras, dari kalangan pengusaha di Aceh Utara calon kuat yang akan menduduki pos direksi adalah Terpiadi. Terpiadi sebelumnya bekerja pada ExxonMobil di Aceh Utara. Bahkan, disebut-sebut Terpiadi sudah memiliki tim untuk mengelola PD Migas tersebut. Fenomena tersebut bagi sebagian kalangan dianggap aneh. Pasalnya, qanun belum disahkan, sudah ada “putra mahkota” yang akan menempati pos tersebut.

Dalam draf tersebut juga disinggung soal gaji. Namun, tidak ada angka yang pasti, karena persoalan gaji ini dikatakan akan diatur dalam keputusan bupati. Tujuan PD Migas sendiri disebutkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan daerah dalam rangka pengusahaan kegiatan usaha pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi. Selain itu, mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien plus transparan. Lainnya, untuk meningkatkan PAD dan menciptakan lapangan kerja. Adapun bidang yang akan dikerjakan oleh PD Migas, yakni pengelolaan participating interest 10 persen, pengelolaan dan pemanfaatan sumur migas tua pada wilayah kerja Aceh Utara, membangun pusat distribusi bahan bakar minyak (BBM), pusat pengumpulan dan penyaluran pelumas bekas, pusat pemnimbunan, penyaluran, transportasi, pengolahan dan niaga migas. Selain itu, bidang usaha yang diincar PD ini yakni pengusahaan kegiatan usaha pertambangan umum, dan pertambangan minyak, gas bumi, kandungan mineral, serta kegiatan usaha lainnya yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang pertambangan.

Jika melihat lingkup kegiatan PD Migas dalam rancangan qanun itu, bisa dipastikan perusahaan itu membutuhkan modal puluhan miliar. Setidak-tidaknya untuk modal awal saja perusahaan ini diperkirakan harus mendapat suntikan dana sebesar Rp 100 juta. Ini jika membandingkannya dengan perusahaan daerah air minum yang didirkan oleh Pemko Lhokseumawe dengan modal awal Rp 100 juta.

Pertanyannya, mampukan Aceh Utara membiayai perusahaan tersebut? Entahlah. Inilah rekam rancangan kebijakan di negeri gasin bin papa. Pepatah Aceh layak ditabalkan untuk kebijakan ini, yaitu som gasien peuleumah kaya (menyembunyikan kemiskinan, namun menunjukkan seolah-olah masih kaya).

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 559 | Tahun XII 23 - 29 September 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.18. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Pro-Kontra Rancangan Qanun PD Migas Aceh Utara"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added