MOST RECENT

|

Tidak Ada Intervensi Gubernur



KONTRAS
BANYAK kalangan mempertanyakan kinerja Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) dalam setahun terakhir. Elemen antikorupsi menilai, banyak kekurangan di tubuh lembaga antikorupsi itu. Untuk menjawab berbagai persoalan tersebut, Masriadi dari Kontras mewawancarai Ketua TAKPA, Amrizal J Prang. Berikut petikan wawancaranya:

TAKPA dinilai banyak kalangan sebagai lembaga yang memback-up kepentingan politik Gubernur Irwandi Yusuf?
Apa yang disampaikan oleh sebagian kalangan saya pikir keliru, karena sejak saya dan Tim di TAKPA, Februari 2010, tidak pernah Gubernur baik implisit maupun eksplisit menyampaikan kepada saya atau TAKPA untuk melindungi kepentingan beliau. Bahkan, tujuan dibentuk TAKPA menurut beliau untuk mengungkapkan dugaan korupsi di Aceh. Apalagi, sebelum beliau menjabat, praktek korupsi ini sudah lama terjadi walau yang terungkap relatif sedikit.

Selama ini, TAKPA hanya menyerahkan kasus-kasus indikasi korupsi pada kepolisian, tanpa mengawal sampai proses pengadilan. Dengan kondisi pengadilan kita sekarang, penting sekali mengawal kasus korupsi sampai ke pengadilan. Bagaimana tanggapan Anda?
Tidak mengawal? Saya pikir tidak demikian, kami terus komunikasikan dengan Polda Aceh terhadap hasil verifikasi yang kami temukan. Bahkan, menurut informasi yang disampaikan Polda Aceh kepada kami ketiga kasus yang telah kami serahkan pada 18/08/2010 lalu sedang dalam pengembangan, yaitu dugaan pemalsuan tanda tangan pengamprahan dana pembangunan jalan Paya Ilang-Paya Tumpi di Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 5,8 miliar; pengadaan bibit kelapa sawit unggul di Kabupaten Nagan Raya Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 5,9 miliar; dan dugaan korupsi pengadaan 2 juta bibit kopi di Bener Meriah Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 7,6 miliar.

Karena, tugas kami hanya sebatas verifikasi, sementara penyidikan dan tuntutan itu ada pada Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Artinya, ketiga kasus yang telah kami serahkan kepada kepolisian sudah menjadi konsumsi publik di Aceh, maka kami berharap seluruh elemen masyarakat bersama-sama TAKPA ikut mengawal proses tindaklanjut ketiga kasus tersebut. Sehingga, sesuai asas persumtion of innoncent (praduga tidak bersalah), dugaan korupsi terhadap ketiga kasus tersebut, oleh pengadilan dapat segera memutuskan dan masyarakat dapat mengetahui status hukumnya.

Selama kepemimpinan Anda, berapa kasus yang sudah ditangani oleh TAKPA, dan dilaporkan ke penegak hukum, baik itu polisi maupun kejaksaan?
Sejak saya masuk dalam TAKPA, Maret 2010 lalu ada 22 verifikasi yang dilakukan oleh TAKPA. Tiga di antaranya sudah kita diserahkan kepada penegak hukum (Polda Aceh) yaitu: pemalsuan tanda tangan pengamprahan dana pembangunan jalan Paya Ilang-Paya Tumpi di Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 5,8 miliar. Kemudian indikasi korupsi pengadaan bibit kelapa sawit unggul siap salur di Kabupaten Nagan Raya Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 5,9 miliar. Serta indikasi korupsi pada pengadaan 2 juta bibit kopi di Bener Meriah Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 7,6 miliar.

Mohon dirincikan jenis kasus yang telah ditangani oleh TAKPA, dan potensi kerugian negara, serta sumber dana yang digunakan?
Ada 22 kegiatan verifikasi yang sudah dilakukan oleh TAKPA antara lain:

1) Pemalsuan tanda tangan pengamprahan dana pembangunan jalan Paya Ilang-Paya Tumpi di Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 5,8 miliar, bersumber dari dana Otsus 2009;

2) Pengadaan bibit kelapa sawit unggul siap salur di Kabupaten Nagan Raya Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 5,9 miliar, bersumber dari dana Otsus 2009;

3) Pengadaan 2 juta bibit kopi di Bener Meriah Tahun Anggaran 2009 senilai Rp 7,6 miliar, bersumber dari dana Otsus 2009;

4) Land clearing, kebun sawit di Aceh Barat Daya, senilai Rp 269 juta, bersumber dari APBA 2009;

5) Pembangunan jalan ie beudoh-Aceh Kongsi di Nagan Raya, bersumber dari dana Otsus 2009;

6) Pengadaan alat pengering jagung (drayer) di Aceh Tenggara, senilai 2,265 miliar, bersumber dari dana APBA 2008;

7) Pengadaan komputer untuk pesantren di Badan Dayah;

8) Bantuan dana hibah kepada Yayasan Tarbiyah Islamiah (YTI) Al-Muhajirin, senilai Rp. 600 Juta, bersumber APBA 2009;

9) Pekerjaan penyiapan sarana dan prasarana permukiman di Lae Balno, senilai Rp 7 miliar, bersumber dari dana APBA 2009;

10) Pekerjaan pengadaan sarana produksi pertanian T+1 (franco lokasi), Aceh Barat, senilai Rp 408 juta, bersumber dari dana APBA 2007-2008;

11) Pekerjaan penyiapan sarana dan prasarana permukiman di Trumon, Aceh Selatan senilai Rp 3,9 miliar, bersumber dari dana APBA 2009;

12) Pekerjaan rehab lahan sawah terlantar pola padat karya dan pembuatan saluran air tingkat usaha tani, pola padat karya di Nagan Raya, senilai Rp 2 miliar, bersumber dari dana APBA 2008;

13) Penggunaan dana kerja gubernur tahun 2010 di Aceh Tenggara, senilai 280 juta;

14) Pembangunan perumahan dhuafa wilayah Sawang, Aceh Utara bersumber dari dana APBA 2008;

15) Pembangunan jalan Rerebe di Gayo Lues;

16) Pembangunan mushalla dan sekolah di Bener Meriah;

17) Pembangunan sekolah di Peusangan Selatan, Bireuen, senilai Rp 290 juta, bersumber dari dana APBA 2009;

18) Penggunaan dana anak yatim dan janda korban konflik;

19) Penggunaan dana hibah Gubernur kepada Unsyiah, senilai 39,6 miliar, bersumber dari dana APBA 2009;

20) Pekerjaan penyiapan sarana dan prasarana permukiman di Lango, Aceh Barat, senilai Rp 7,1 miliar, bersumber dari dana APBA 2008;

21) Pekerjaan penyiapan sarana dan prasarana permukiman di Beutong Ateuh, Nagan Raya, senilai Rp 6,3 miliar, bersumber dari dana APBA 2008;

22) Pekerjaan penyiapan sarana dan prasarana permukiman di Buket Ceurana, Bireuen, senilai Rp 6,7 miliar, bersumber dari dana APBA 2009.

Dari sekian banyak verifikasi yang kami lakukan, dalam konteks tugas kami mencegah dan mendeteksi penggunaan anggaran tersebut, kami meminta kepada pelaksananya untuk menyelesaikan pekerjaan proyek-proyek tersebut. Sementara, sebagian lainnya yang tidak ditindaklanjuti oleh pelaksananya, kami menyerahkan kepada penegak hukum.

Berapa rupiah, uang negara yang telah diselematkan oleh TAKPA, sejak TAKPA berdiri sampai sekarang? Dan, dari kasus apa saja, uang itu diselamatkan?
Sebagaimana tugas yang diberikan oleh Gubernur kepada TAKPA, yaitu verifikasi penggunaan APBA dan aset Pemerintah Aceh. Menindaklanjuti tugas tersebut, TAKPA mempunyai program kerja berkaitan dengan pencegahan dan deteksi indikasi korupsi di Aceh.

Menyangkut penyelamatan uang daerah, kami tidak bisa memastikan dan menentukan jumlah kerugiannya karena kami tidak berwenang melakukan audit penggunaan anggaran tersebut. Yang berwenang menentukan jumlah kerugian ada pada auditor dan pengadilan.

Bagaimana proses rekruitmen anggota TAKPA yang Anda ketahui? Benarkah anggota TAKPA hanya ditunjuk oleh gubernur?
Secara administrasi itu kewenangan Gubernur, karena kami diangkat berdasarkan keputusan gubernur.

Apa saja kendala yang dihadapi TAKPA, sehingga TAKPA tidak berjalan efektif?
Secara prinsipil tidak ada kendala, namun secara teknis kendala yang kami hadapi adalah wilayah kerja yang luas di seluruh Aceh dengan personil yang sangat terbatas.

Ada gagasan dari elemen sipil, agar TAKPA dibubarkan saja? Bagaimana pendapat Anda?
Itu hak siapa pun untuk memberi komentar, tetapi menurut kami TAKPA itu perlu dalam rangka pencegahan dan deteksi terjadinya indikasi korupsi di Aceh.

Gagasan lainnya, agar unit antikorupsi Pemerintah Aceh dibentuk atas dasar qanun, bukan atas SK gubernur Aceh. Sehingga, orang-orang di dalamnya dipilih melalui hasil fit and proper test oleh DPRA. Bagaimana tanggapan Anda terhadap gagasan ini?
Sangat setuju dan sangat mendukung. Bahkan, kami sedang membangun komunikasi dengan personel-personel anggota DPRA, agar ke depan lembaga antikorupsi dibentuk melalui qanun.

Gubernur Aceh dan Wagub dinilai berpotensi mengintervensi kasus-kasus yang ditangani TAKPA. Bagaimana independensi TAKPA sebenarnya?
Secara administrasi TAKPA berada di bawah Gubernur dan berdasarkan perintah Gubernur. Namun, realitasnya sampai saat ini, dalam menjalankan fungsi dan tugas kami, tidak pernah diintervensi oleh Gubernur maupun Wakil Gubernur.

Selain itu, program pencegahan antikorupsi berupa sosialisasi, dan upaya pencegahan korupsi lainnya, dinilai masih minim?
Mengingat anggaran dan personil yang sangat terbatas, sehingga belum maksimal sosialisasi program TAKPA kepada publik. Namun, dalam bebarapa bulan terakhir ini kami telah melakukan melalui penyebaran spanduk-spanduk dan mengikuti seminar-seminar di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Survei baromoter korupsi Aceh yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) baru-baru ini menunjukkan angka korupsi pascatsunami lebih parah dibanding sebelum tsunami? Saya pikir sudah pernah terjadi polemik tentang itu, dan saudara juga tahu tentang itu. Karena, tidak adanya data pembanding survey korupsi, maka saat itu kami membantah. Meskipun kita akui indikasi korupsi masih terjadi di Aceh, inilah alasanya kenapa Gubernur membentuk TAKPA, yang bertujuan mengurangi korupsi tersebut.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 571 | Tahun XII 9 - 15 Desember 2010

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.41. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Tidak Ada Intervensi Gubernur"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added