MOST RECENT

Bangkrutnya Bank Pemerintah Aceh Utara



Masriadi Sambo - KONTRAS
BANK Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe milik Pemerintah Aceh Utara nyaris bangkrut. Bank itu tidak memiliki kecukupan modal yang memadai. Benarkah karena manajemennya yang amburadul?

Gedung berbentuk rumah dan toko (Ruko) di Jalan Merdeka, Kota Lhokseumawe, siang itu terlihat sepi. Sekitar sepuluh unit kendaraan roda dua tampak terparkir rapi. Itulah gedung Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabe Meusampe. Bank yang sahamnya dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara.

Memasuki dalam gedung, tidak terlihat antrian nasabah. Bank itu terlihat sepi. Dua orang teller duduk santai di balik meja. Satu orang satuan pengamanan (Satpam) duduk santai di mejanya, tepat di samping pintu masuk gedung. Sesekali datang satu orang nasabah. Membayar kredit. Lalu berlalu. Tidak ada kesibukan luar biasa di gedung berlantai dua itu. Itu rekam kegiatan di gedung BPR Sabe Meusampe.

Suasana gedung terasa sunyi-senyap. Bank ini lah yang dinyatakan Bank Indonesia Lhokseumawe dalam status pengawasan khusus. Bank ini tidak memiliki kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Semua perbankan di Indonesia, diwajibkan memiliki CAR sebesar delapan persen. Namun, BPR hanya memiliki CAR empat persen.

Informasi yang dihimpun Kontras, kekurangan modal PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sabee Meusampe Aceh Utara akibat terjadinya kredit macet yang mencapai sekitar Rp 23 miliar. Hal ini dikarenakan proses penyaluran dana Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) pada tahun 2008 tidak sesuai ketentuan Bank Indonesia.

Hal itu diakui Direktur PT BPR Sabe Meusampe Aceh Utara, Zakaria SE kepada Kontras, di Lhokseumawe, Selasa (16/3). Pria berkumis ini mengatakan, BPR memperoleh dana dari APBK Aceh Utara tahun 2007 senilai Rp 23 miliar. Perinciannya, Rp 20 miliar untuk dana PER dan Rp 3 miliar sebagai modal BPR. Tapi, kata dia, manajemen BPR pada saat itu menggabungkan modal Rp 3 miliar ke dalam dana PER.

“Jadi, penyebab kekurangan modal BPR ini akibat terjadinya kredit bermasalah dalam penyaluran dana PER pada tahun 2008. Munculnya kredit bermasalah itu karena proses penyaluran dana PER yang bersumber dari APBK Aceh Utara tahun 2007 yang disalurkan tahun 2008, tidak sesuai format ketentuan BI. Sehingga kredit tersebut telah dinyatakan macet,” kata Zakaria yang mengaku baru menjabat direktur bank itu sekitar lima bulan.

Untuk memperbaiki permasalahan tersebut supaya BPR Sabe Meusampe kembali sehat, kata Zakaria, pihaknya sudah menyusun action plan. Langkah yang akan diambil, pertama; mengeluarkan dana PER senilai Rp 23 miliar itu dari aktiva untuk ditempatkan dalam rekening administratif yaitu di luar pos neraca, tapi tidak menghilangkan kewajiban penagihan. Hal ini dilakukan dengan persetujuan DPRK atas permintaan bupati. Kemudian, setiap perkembangan yang terjadi akan dilaporkan kepada BI Lhokseumawe.

Langkah kedua, kata Zakaria, manajemen BPR Sabe Meusampe meminta pemegang saham mayoritas yakni Pemkab Aceh Utara untuk menyuntik dana senilai Rp 2 miliar dalam rangka menutupi kekurangan modal. Hal ini untuk mengantisipasi Kemampuan Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang negatif atau untuk perbaikan CAR PT BPR yang saat ini, menurut penilaian BI, tidak sehat.

Sedangkah langkah ketiga, lanjut Zakaria, meningkatkan kinerja BPR terkait penagihan kredit macet. Karena, kata dia, inti dari ditetapkan pengawasan khusus oleh BI terhadap BPR ini akibat kekurangan modal, dimana telah membengkaknya kredit bermasalah. “Strategi untuk menarik kembali kredit bermasalah itu, kita yakinkan nasabah bahwa dana PER tersebut pinjaman, bukan dana hibah. Kalau mereka kooperatif maka ke depan BPR akan membantu lagi, sehingga dana ini terus bergulir dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku,” katanya.

Menurut dia, saat ini pihaknya tengah gencar menagih kembali kredit macet dengan mendatangi rumah nasabah. Upaya tersebut, katanya, melibatkan dua tim khusus, yang satu bergerak ke wilayah barat, satu lagi ke wilayah timur Aceh Utara. “Sejauh ini, dana yang sudah kembali hampir Rp 2 miliar. Ini akan terus kita fokuskan secara maksimal,” kata Zakaria.

Namun, rencana tahap dua yang disusun Zakaria tampaknya tak terealisasi dengan baik. Pasalnya, suntikan modal tambahan yang diminta oleh BPR tidak disetujui oleh DPRK Aceh Utara. Tidak ada penambahan modal apa pun dari DPRK untuk bank tersebut. “Perlu diingat, membangun satu BPR itu butuh dana puluhan miliar. Untuk menyelamatkannya, kami hanya meminta suntikan Rp 2 miliar. Tidak lebih. Kita obyektif saja. Kami tidak minta yang muluk-muluk,” terang Zakaria.

Zakaria yakin, bila disuntik Rp 2 miliar, maka kecukupan modal BPR sudah sampai pada angka positif, yaitu delapan persen. Dia menyebutkan, dalam pembahasan anggaran baru-baru ini di gedung DPRK Aceh Utara, dirinya sudah menjelaskan sebab-sebab kebangkrutan BPR. Dia juga sudah mempresentasikan rencana aksi penyelamatan bank milik pemerintah itu.

Dalam rapat itu, kata Zakaria, juga hadir Sekda Aceh Utara, Syahbuddin Usman dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Azhari SE. “Saya sudah presentasikan semuanya. Mungkin dewan berpikiran lain, sehingga tidak memberikan suntikan dana. Saya juga sudah sampaikan ke panitia anggaran, ketua dan wakil ketua DPRK Aceh Utara. Sekarang pun, kalau dipanggil saya siap presentasikan rencana aksi penyelamatan,” kata Zakaria.

Saat ini, bank ini memiliki nasabah sebanyak 5.000 orang. Jumlah itu terbagi dalam dua kategori yaitu nasabah biasa, dan nasabah yang menerima kredit program PER. “Kami akan tagih semua yang macet itu. Kita tagih dengan cara yang baik dulu. Jika terpaksa, ya kita tagih dengan aparat hukum,” terang Zakaria.

Sementara itu, sebelumnya, Kepala Bank Indonesia (BI) Lhokseumawe, Zulfan Nukman, didampingi Deputi Pimpinan Bank Indonesia (BI) Rusly Albas, membenarkan pihaknya melakukan pengawasan khusus terhadap BPR Sabe Meusampe. Selain itu, bank itu juga dilarang menghimpun dan mengeluarkan dana selama enam bulan sejak 11 Januari 2010.

Kepala Bank Indonesia (BI) Lhokseumawe Zulfan didampingi Deputi Pimpinan BI itu, Rusly Ali Basyah, mengatakan, langkah yang diambil BI terkait hal itu, kata dia, sesuai UU yang berlaku. Yakni, UU No.3 tahun 2004 tentang BI, UU No.10/1998 tentang perbankkan, Peraturan BI No.11/20/PBI/2009 dan Surat Edaran BI No.11/19/DKBU tentang tindak lanjut pengawasan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus.

“Pertimbangan yang dilakukan BI untuk kelangsungan usaha BPR Sabe Meusampe itu sendiri. Jadi, setelah kita melakukan pemeriksaan, kita lihat ada kriteria yang kita anggap BPR itu sudah memenuhi ketentuan ini. Yaitu, kecukupan modalnya di bawah empat persen. Berdasarkan kriteria itu, kita panggil pemegang sahamnya, pengurusnya, kita paparkan hasil temuan kita sehingga kita tetapkan BPR itu dalam pengawasan khusus,” kata Zulfan.

Sesuai ketentuan, lanjut Zulfan, BI memberikan waktu selama lebih kurang enam bulan kepada pemegang saham BPR itu untuk mengambil langkah perbaikan. “Dia harus membuat action plant dalam rangka melakukan perbaikan-perbaikan. Selama enam bulan itu terhitung 11 Januari 2010, nantinya harus disampaikan ke BI. Pada akhirnya nanti akan kita lihat, kita evaluasi terhadap action plant yang sudah dibuat, sampai KPMM-nya itu akan kembali positif. KPMM itu kita minta sesuai ketentuan tadi, idealnya minimal delapan persen,” katanya.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 533 | Tahun XI 18 - 24 Maret 2010

20.34 | Posted in , | Read More »

Ini Dia, Daftar “Foya-Foya”



KONTRAS
GUBERNUR Aceh melalui timnya telah melakukan evaluasi terhadap penjabaran APBK Aceh Utara tahun 2010. Banyak yang menilai sejumlah program yang diusulkan itu terkesan menghambur-hamburkan uang, padahal di sisi lain Aceh Utara disebut-sebut telah ‘bangkrut.” Soalnya, deposito mereka senilai Rp 220 M tak bisa ditarik dan kini dijadikan barang bukti di Pengadilan. Kecuali soal ‘deposito-gate’ Aceh Utara kini juga semakin kecil memperoleh dana bagi hasil minyak dan gas. Berikut hasil evaluasi tim Gubernur Aceh terhadap rencana anggaran belanja tahun 2010 Kabupaten Aceh Utara:


1. Pemberian Tambahan Penghasilan Berdasarkan Prestasi Kerja dan Honorarium untuk tenaga honorer dan tenaga kontrak pada semua SKPK disediakan alokasi anggaran hanya untuk 6 bulan, kecuali untuk tenaga honorer pada SKPK Bappeda disediakan untuk 12 bulan, untuk itu supaya dirasionalkan kembali. Pemberian Tambahan Penghasilan dan honor kepada tenaga honorer daerah tidak boleh menimbulkan diskriminasi. Jika kemampuan keuangan daerah Kabupaten Aceh Utara saat ini tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan dengan memperkecil nominalnya dan alokasi anggaran tetap untuk kebutuhan 12 bulan. Dalam menentukan besaran Tambahan Penghasilan maupun belanja honor kepada pegawai honorer atau honorarium lainnya seperti jerih payah kepala desa/geuchik dan lain-lain, yang merupakan penghasilan tetap bulanan, supaya dilakukan dengan teliti dan cermat serta menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

Kebijakan pemberian peningkatan maupun penurunan Tambahan Penghasilan dan Honorarium yang sifatnya menjadi penghasilan tetap, supaya dilakukan dengan cermat dan hati-hati, hal ini untuk mencegah pengaruh menurunnya produktifitas dan kinerja pegawai dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan timbulnya permasalahan-permasalahan yang tidak diinginkan. Dalam merencanakan anggaran belanja untuk kebutuhan Tunjangan Prestasi Kerja dan Honorarium tenaga honorer dan tenaga kontrak, eksekutif dan legislatifsupaya dapat mengambiI kebijakan yang Iebih rasional.

2. Penyediaan alokasi anggaran belanja pada Program dan Kegiatan pada SKPK Sekretariat daerah dan beberapa SKPK Iainnya agar disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan saat ini. Hal tersebut sesuai dengan Azas Umum Pelaksanaan APBK, sebagaimana ketentuan Pasal 122 ayat (10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menyatakan bahwa pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Program dan Kegiatan dimaksud antara lain sebagai berikut:

a. Belanja jasa publikasi/iklan di media massa sebesar Rp. 500.000.000 pada kegiatan Pembinaan Kehumasan Daerah dan Pembinaan Pers, nilainya supaya dirasionalkan kembali.

b. Honorarium pendukung acara protokoler kunjungan kerja Bupati/Wakil Bupati ke kecamatan/gampong sebesar Rp 800.000.000 dan biaya liputan kunjungan Bupati dan Wakil Bupati sebesar Rp 125.000.000 serta biaya tim kesenian pendukung acara sebesar Rp 1OO.OOO.000 melalui kegiatan Pembinaan Kehumasan Daerah/Protokoler. Nilai besarannya supaya dirasionalkan kembali.

c. Kegiatan Pembangunan jaringan Internet Setdakab Aceh Utara sebesar Rp 691.754.740 disarankan supaya ditinjau kembali dan disesuaikan dengan skala prioritas.

d. Penyediaan anggaran belanja sewa meja sebesar Rp 90.000.000 dan sewa tenda sebesar Rp 250.000.000 pada kegiatan Pendukung Kegiatan Kepala Daerah, supaya ditinjau kembali, dengan mempertimbangkan bahwa peralatan tersebut dilakukan penyewaan setiap tahun anggaran, disarankan untuk dilakukan pengadaan atau pembelian, sehingga tidak terjadi pemborosan keuangan daerah.

e. Penyediaan biaya sewa kendaraan bermotor sebanyak 43 unit dengan jumlah sebesar Rp 3.098.000.000 melalui Kegiatan Jasa Pemeliharaan dan Perizinan Kenderaan Dinas/Operasional, supaya ditinjau kembali, Penyewaan kenderaan dinas dengan anggaran sejumlah tersebut merupakan pemborosan terhadap keuangan daerah.

Jika kemampuan keuangan daerah memungkinkan, disarankan agar alokasi anggaran tersebut supaya dialihkan menjadi biaya pengadaan/pembelian kendaraan dinas.

f. Kegiatan Pemeliharaan rutin/berkala peralatan rumah jabatan/dinas sebesar Rp 221.000.000 supaya dirasionalkan kembali.

g. Kegiatan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Fasilitas Kantor sebesar Rp. 496.000.000,-, supaya dirasionalkan kembali.

h. Penyediaan anggaran pada Program Hari-Hari Besar sebesar Rp. 1.283.000.000,-, supaya dirasionalkan kembali.

i. Kegiatan Pengadaan Tanah untuk Tahun Anggaran 2010 dialokasikan anggaran sebesar Rp. 11.737.275.000,- disarankan untuk dapat dirasionalkan kembali. Menurut penelitian kami, hampir setiap tahun anggaran dilakukan pengadaan tanah dengan alokasi anggaran yang relatif besar. Mengingat kondisi keuangan saat ini belum stabil dan terjadi penurunan pandapatan yang signifikan, maka kebijakan pengadaan tanah Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Tahun Anggaran 2010 sebaiknya ditinjau kembali.

j. Terdapat alokasi anggaran untuk honorarium panitia/tim pelaksana kegiatan pada SKPK Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah sebesar Rp. 554.700.000,-, melalui Kegiatan Penyusunan Rancangan Perda tentang Perubahan APBD, disarankan supaya dirasionalkan kembali dan mempertimbangkan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah saat ini.

k. Penganggaran honorarium pada SKPK Dinas Pertanian Peternakan, melalui Kegiatan Pemberdayaan Balai Benih Lhoksukon untuk Manajer Balai Benih sebesar Rp. 300.000,- sementara untuk petugas jaga malam sebesar Rp. 1.000.000 supaya disesuaikan kemba1i dengan nominal dan standar yang wajar.

Ditemukan alokasi anggaran untuk Biaya perjalanan dinas sebesar Rp. 15.000.000,- pada SKPK Dinas Ketahanan Pangan dan Penyuluhan yang tidak ada kaitan dengan kegiatan Penyediaan Jasa Tenaga Teknis Administrasi Perkantoran, supaya dirasionalkan kembali.

Rasionalisasi dan penyesuaian terhadap kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan sehingga tidak bertentangan dengan salah satu azas umum APBK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasa1 16 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan ketentuan Pasal 16 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, antara lain, menyatakan bahwa APBD mempunyai fungsi distribusi, yang mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

3. Uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, dan tunjangan PPh untuk Pimpinan dan Anggota DPRK pada pos anggaran DPRK yang dianggarkan 13 bulan, supaya diubah menjadi 12 bulan. Pembayaran gaji untuk pemberian gaji/pensiun/tunjangan bulan ke tiga belas hanya dapat dibayarkan kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun/ Tunjangan, sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2009.

4. Penyediaan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPRK sebesar Rp. 141.120.000,- pada SKPK Sekretariat DPRK, penggunaannya supaya mempedomani ketentuan Pasal 24A, 24B, 24C, 24D dan 24E Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

5. Penyediaan belanja pakaian dinas untuk Pimpinan dan Anggota DPRK, melalui kegiatan pengadaan pakaian dinas berserta perlengkapannya pada SKPK Sekretariat DPRK, penganggaran clan pelaksanaanya agar mempedomani ketentuan nomor urut 4 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/006/BAKD tanggal 4 Januari .2006 tentang Tambahan Penjelasan Terhadap Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

6. Penyediaan anggaran Subsidi Kepada Perusahaan Daerah, direncanakan sebesar Rp. 7.000.000.000,- pada SKPK Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah, supaya dirasionalkan kembali dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan mempedomani ketentuan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

7. Penyediaan belanja bantuan partai politik sebesar Rp. 1.016.565.000,- pada SKPK Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah, pelaksanaannya agar mempedomani ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

8. Kebijakan penyediaan anggaran untuk asuransi kenderaan bermotor dan asuransi terhadap gedung/bangunan yang terdapat pada SKPK Sekretariat Daerah, SKPK Sekretariat DPRK clan SKPK lainnya, supaya dapat ditinjau kembali, karena dinilai tidak tepat dilakukan daIam kondisi keuangan daerah saat ini.

9. Penyediaan Belanja Hibah sebesar Rp. 46.863.795.000 dan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp. 5.601.565.000 pada SKPK Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah, pelaksanaannya agar mempedomani ketentuan Pokok-Pokok Kebijakan Penyusunan APBD nomor urut 2 huruf a ayat (7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010. Kebijakan pemberian bantuan belanja hibah secara terus menerus setiap tahun anggaran supaya ditinjau kembali, antara lain:

a. Belanja Bantuan Operasional PKK sebesar Rp. 200.000.000,-
b. Belanja Bantuan Operasional Dharma Wanita sebesar Rp. 200.000.000,-
c. Belanja Bantuan Operasional Dekranas sebesar Rp. 200.000.000,-
d. Belanja Bantuan Operasional PMI sebesar Rp.700.000.000.
Jika dipandang perlu, supaya disimulasikan dalam bentuk program dan kegiatan pada SKPK berkenaan dan besarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Khusus bantuan belanja hibah yang dialokasikan untuk bantuan pelaksanaan/mengikuti Kejuaraan Olahraga (Popda) sebesar Rp. 4.023.625.000 supaya dialihkan dalam bentuk program dan kegiatan pada

SKPK yang berkenaan.
10. Ditemukan alokasi anggaran pada beberapa SKPK yang tidak rasional, tidak jelas fungsinya, dan cenderung tidak efisien, di antaranya sebagai berikut:

a. Pada SKPK Inspektorat, setelah dilakukan penelitian tidak ditemukan adanya alokasi anggaran belanja yang pelaksanaannya membutuhkan suatu panitia pengadaan, namun disediakan anggaran sebesar Rp. 3.000.000. Hal yang sama ditemukan juga pada SKPK Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, disediakan Honor. Tim pengadaan barang dan jasa sebesar Rp. 15.000.000, tetapi tidak ditemukan adanya alokasi anggaran yang membutuhkan kepanitiaan. Penyediaan anggaran untuk honorarium panitia pengadaan pada kedua SKPK tersebut tidak rasional, supaya disempumakan kembali.

b. SKPK Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, dialokasikan total anggaran belanja sebesar Rp. 3.719.865.725,- yang terdiri dari belanja tidak langsung sebesar Rp. 3.137.766.400,- dan belanja langsung sebesar Rp. 582.099.325,- namun output nya hanya melaksanakan rehap lantai jembatan kayu eks.UPT.1II Pirsus Krueng Page dengan jumlah anggaran sebesar Rp.72.000.000,-. Hal tersebut menggambarkan bahwa penganggarannya tidak efisien, fungsi SKPK tidak jelas dan terjadi pemborosan terhadap keuangan daerah. Untuk itu keberadaan SKPK ini supaya dipertimbangkan kembali.

c. Penganggaran Belanja Premi Asuransi pada Sekretariat Kabupaten yang terdiri dari asuransi kesehatan Kepala Daerah sebesar Rp. 60.000.000,-, asuransi kesehatan Wakil Kepala Daerah sebesar Rp. 50.000.000,-, dan asuransi kendaraan sebesar Rp. 350.000.000,- dan juga belanja premi asuransi pada Sekretariat Dewan yang terdiri dari asuransi kesehatan DPRK (45 org x 20 Juta) dengan nilai total Rp. 900.000.000,-, asuransi gedung Rp. 8.000.000,-, asuransi mess Rp. 8.000.000,- dan asuransi kendaraan sebesar Rp. 113.200.000,-, supaya dirasionalkan kembali, sehingga tidak terjadi pemborosan keuangan daerah.

d. SKPK Sekretariat Majelis Adat Aceh, hanya disediakan belanja langsung sebesar Rp. 50.000.000,-, supaya disempurnakan kembali.

e. SKPK Sekretariat Badan Baitul Mal, hanya disediakan anggaran belanja langsung sebesar Rp. 256.564.000,-, sementara melalui Dinas Syariat Islam, ditemukan kegiatan Pelatihan pengurus baitul mal Rp. 45.070.000,- agar dirasionalkan kembali dengan memperhatikan kedudukan Sekretariat Badan Baitul Mal sebagai suatu SKPK.

f. SKPK Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah, hanya disediakan belanja langsung sebesar Rp. 200.000.000 supaya disempurnakan kembali.

g. SKPK Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama, hanya disediakan belanja langsung sebesar Rp. 1.109.919.000, supaya disempurnakan kembali.

h. SKPK Akademi Kesehatan, hanya disediakan belanja langsung sebesar Rp 602.506.000, sementara penerimaan dari uang sekolah/pendidikan dan pelatihan yang berasal dari uang SPP dari AKKES, dicantumkan pada SKPK Dinas Kesehatan, supaya disempurnakan kembali.

11. Terhadap beberapa kegiatan, pelaksanaannya supaya benar-benar memperhatikan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kegiatan-kegiatan dimaksud an tara lain sebagai berikut:

a. Kegiatan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Kecamatan dan Penyusunan LKH dan Tugas Pembantuan, antara lain Bantuan Peningkatan Pelayanan BPN sebesar Rp. 100.000.000 pada SKPK Sekretariat Daerah.

b. Kegiatan Pengembangan Usaha Koperasi dan UKM sebesar Rp. 1.632.000.000,- pada SKPK Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

c. SKPK Dinas Syariat Islam, melalui kegiatan Peningkatan Fasilitas Sarana Peribadatan, disediakan alokasi anggaran sebesar Rp. 1.818.000.000,- untuk pengadaan Sound Sistem dan Pembangunan Sarana lbadah atau Mesjid. Selanjutnya melalui kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Pendidikan Agama dialokasikan anggaran sebesar Rp 925.000.000 untuk Pembangunan Balai Pengajian dan MCK.

d. Penyediaan Jasa Kebersihan kantor SKPK S ekretari at Daerah sebesar Rp. 495.000.000,- an tara lain belan.ia jasa cleaning service Setdakab se.besar

Rp. 250.000.000,- dan Pendopo/rumah jabatat1 KDH dan Wakil KDH sebesar Rp. 200.000.000,-

e. Penyediaan biaya Sharing PNPM Pedesaan sejumlah 27 Kecamatan sebesar Rp. 11.350.000.000,- melalui Kegiatan Pembinaan Kelompok Masyarakat Pembangunan Desa pada SKPK Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Sejahtera, yang ditempatkan pada kode rekening Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jalan.

12. Pengadaan alat-alat Drum Band untuk SMA Negeri Kuta Makmur dan SMA Negeri Syamtalira Aron sebesar Rp. 80.000.000,- melalui kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Fasilitas Kantor SKPK Sekretariat Daerah, tidak tepat sasaran. Peralatan Drum Band bukan merupakan fasilitas kantor, dan penempatannya supaya dialihkan pada SKPK Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

13. Penyediaan belanja makanan dan minuman sebesar Rp. 101.000.000,- melalui kegiatan Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi keluar daerah pada SKPK Dinas Kesehatan dan pada beberapa SKPK lainnya, supaya dipindahkan pada kegiatan yang sesuai.

14. Kebijakan Pembangunan Sarana dan Prasarana untuk keperluan lnstansi Vertikal, seperti lanjutan Pembangunan Mapolres Aceh Utara sebesar Rp. 800.000.000,- Lanjutan Pembangunan Mapolres Lhokseumawe sebesar Rp. 600.000.000 dan Rehab Mushola AR-Rahim Makodim 0103/AUT sebesar Rp. 100.000.000,- pada SKPK Dinas Cipta Kerya, supaya dapat ditinjau kembali dengan beberapa alasan antara lain:

-Kebutuhan lnstansi Vertikal merupakan beban APBN, namun hampir setiap tahun anggaran dibantu pembangunannya dengan menggunakan beban APBK.

-Dalam rangka Pemindahan Pusat Pemerintahan atau lbukota Kabupaten Aceh Utara dari Kota Lhokseumawe, sampai saat ini belum jelas pelaksanaannya.

-Sejalan dengan kecenderungan menurunnya kemampuan keuangan daerah, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara supaya mengambil kebijakan yang lebih bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat Aceh Utara. Hal ini sejalan dengan hakekat bahwa pendapatan daerah diperoleh melalui mekanisme pajak daerah dan retribusi daerah atau pungutan lain yang dibebankan pada seluruh masyarakat.

15. Kegiatan Penyiapan Anggota Satlinmas untuk Penanggulangan Bencana sebesar Rp. 115.330.000 dan Kegiatan Operasional Sekretariat Satlak PB dan Penanggulangan Korban Bencana sebesar Rp 67.068.800- pada SKPK Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat, disarankan untuk dipindahkan ke SKPK Badan Penanggulangan Bencana Daerah, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

16. Kegiatan Pendamping Dana DAK sebesar Rp. 739.394.000,- pada SKPK Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, di antaranya terdapat Belanja Jasa Pihak Ketiga pada kode rekening rincian objek belanja jasa pengawasan sebesar Rp. 251.637.000,- sebagai pengawasan/pendampingan Dana DAK di DPKKD, tidak tepat sasaran. Penyediaan alokasi anggaran untuk pendampingan, supaya mempedomani Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010, yang menyangkut Hal-Hal Khusus nomor urut 8.

17. Penyediaan belanja penunjang kegiatan camat sebesar Rp. 999.000.000,-yaitu Rp. 37.000.000,- x 37 orang melalui kegiatan Fasilitas Penunjang Kegiatan Kecamatan pada SKPK Sekretariat Daerah, supaya dialihkan dalam bentuk tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja pada SKPK Kecamatan masing-masing, dengan catatan dalam kolom penjelasan disebutkan untuk belanja penunjang kegiatan kecamatan.

18. Ditemukan tidak adanya penganggaran untuk luran Asuransi Kesehatan pada SKPKD Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah. Iuaran Asuransi kesehatan bagi PNSD supaya dianggarkan dengan mempedomani ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan luran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun serta Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 138/MENKES/PB/II/2009 Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Tarif Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PT.Askes (Persero) dan Anggota Keluarganya di Puskesmas, Balai Kesehatan Masyarakat, dan Rumah Sakit Daerah.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 532 | Tahun XI 11 - 17 Maret 2010

02.07 | Posted in , | Read More »

Berfoya-Foya di APBK Aceh Utara?



Masriadi Sambo - KONTRAS

Banyak hal aneh dalam APBK Aceh Utara tahun 2010. Latah atau memang karena ketidaktahuan eksekutif dan legislatif di daerah yang dulu dijuluki Petro Dolar itu?

SETELAH dibahas selama berbulan-bulan, dikaji secara mendalam, dianalisis oleh DPRK Aceh Utara dan pemerintah setempat, ternyata tidak juga menghasilkan program yang luar biasa indah. Alih-alih berpihak kepada rakyat, bahkan draf APBK yang kini dianalisis oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Provinsi Aceh itu terlihat rancu dan amburadul.

Lihatlah misalnya, angka untuk advokasi hukum Pemerintah Aceh Utara sebesar Rp 3 miliar. Tidak disebutkan secara rinci untuk kasus apa saja uang sebesar itu digunakan. Sementara itu, di Aceh Utara banyak kalangan menilai bahwa uang itu akan digunakan untuk melakukan advokasi menuntut balik Bank Mandiri Jelambar terkait kasus bobol kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar.

“Dulu bupati selalu bilang kalau Bank Mandiri yang bermasalah. Sekarang mengapa mesti mengalokasikan dana sebesar itu untuk melakukan advokasi. Artinya, ini pemborosan yang tidak perlu sebenarnya,” kata Dewan Pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bytra, Basri A Gani kepada Kontras, kemarin.

Basri menilai, APBK Aceh Utara mencederai rasa keadilan bagi masyarakat. Lihatlah betapa repotnya mahasiswa di Aceh Utara yang tidak mendapatkan alokasi dana beasiswa tahun ini. Beasiswa yang dialokasikan tahun ini hanya untuk membayarkan beasiswa yang belum disalurkan tahun 2009 lalu. Kejadian ini baru kali pertama sepanjang sejarah Aceh Utara. Sebelumnya, setiap tahun pemerintah setempat selalu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mahasiswa yang menimba ilmu di Aceh Utara maupun di luar daerah. Bahkan ada pula alokasi dana untuk mahasiswa pascasarjana.

“Kasus ini membuktikan bahwa APBK memang tidak pro-rakyat. Banyak sekali uang yang diperlukan untuk membangun Aceh Utara, kok malah bisa program penting dilupakan. Yang tak penting malah dianggarkan. Ini namanya program latah,” kata Basri.

Persoalan dana beasiswa ini memicu amarah mahasiswa yang menimba ilmu di luar Kabupaten Aceh Utara. Kepala Bidang Humas, Ikatan Mahasiswa Aceh Utara (IMAU) di Kabupaten Bireuen, M Yanis, menyebutkan, pihaknya kini sedang berkoordinasi dengan seluruh elemen mahasiswa asal Aceh Utara untuk melakukan aksi demonstrasi akbar.

IMAU adalah organisasi yang membawahi mahasiswa asal Aceh Utara yang kuliah di tiga perguruan tinggi di Bireuen. Jumlah anggota organisasi ini mencapai 2.000 mahasiswa. M Yanis menyesalkan sikap Pemda Aceh Utara yang tidak mengalokasikan anggaran beasiswa untuk tahun ini. “Baru kali ini dalam sejarah tidak ada anggaran beasiswa untuk mahasiswa yang menimba ilmu. Ini sangat memprihatinkan, sangat menyedihkan,” kata Yanis.

Itu baru soal beasiswa, lihatlah keluhan 852 kepala desa di Aceh Utara. Ratusan kepala desa mengaku terlilit utang. Pasalnya, alokasi dana gampoeng (ADG) tahap dua tahun 2009 hingga kini belum dicairkan. Berkali-kali kelompok keuchik yang dikoordinir Asosiasi Keuchik Aceh Utara (Asgara) beraudiensi ke gedung DPRK setempat. Mereka meminta dukungan agar dana itu dianggarkan dalam tahun 2010 secara utuh. Jika tidak, maka, keuchik di semua desa ketiban masalah besar.

“Keuchik sudah banyak berutang dulu untuk membangun. Padahal uang tahap dua belum turun. Sekarang banyak keuchik yang didatangi kontraktor, meminta uang mereka dibayarkan. Ini yang sangat menyulitkan keuchik,” kata Ketua Asgara, Muksalmina.

Anehnya lagi, DPRK Aceh Utara hanya berani menjanjikan anggaran sebesar 25 persen atau sebesar Rp 25 juta per desa. Idealnya, Rp 50 juta per desa. Ini terungkap dalam demonstrasi akbar para keuchik bulan lalu di gedung DPRK setempat.

Informasi yang dihimpun di kalangan panitia anggaran DPRK Aceh Utara, uang untuk pos bantuan hukum yang diusulkan oleh eksekutif mencapai Rp 5 miliar. Namun, dewan setempat memangkasnya menjadi Rp 3 miliar. Pengesahan APBK Aceh Utara sendiri dilakukan Kamis, 18 Februari 2010 lalu. Pada Jumat 19 Februari tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) membawa draf qanun APBK itu untuk dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Ikut hadir dalam tim itu adalah Sekda Aceh Utara, Syahbuddin Usman, dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara. Plus didampingi oleh lima anggota dewan, yaitu Abdul Muthaleb, Tgk Junaidi, Ridwan Yunus, Khaidir Abdurahman, dan Ridwan M Yunus (PAN).

Muncullah persoalan. Tim evaluasi pada DPKKD Provinsi Aceh mempertanyakan mengapa dana bantuan hukum mencapai Rp 3 miliar. Selain itu, ada juga dana bantuan untuk instansi vertikal seperti TNI. Sementara itu, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Azhari SE, membenarkan bahwa sampai saat ini APBK Aceh Utara masih dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi Aceh.

“Sampai sekarang masih dievaluasi. Belum diserahkan ke Aceh Utara, itu setahu saya,” kata Azhari, Selasa (9/3). Azhari salah seorang tim TAPD yang hadir dalam pembahasan dengan tim evaluasi anggaran pada DPKKA Provinsi Aceh.

“Prinsipnya diberikan masukan. Bukan mengubah. Misalnya, ada yang tidak sesuai aturan hukum. Ya, kalau tidak sesuai aturan hukum artinya harus dirubah,” kata Azhari. Dia mengaku ada beberapa bagian yang dikritisi oleh DPKKA Provinsi Aceh, termasuk pos dana bantuan hukum tersebut.

“Prinsipnya bisa saja dana bantuan hukum itu. Kita sudah jelaskan, bahwa dana itu untuk kasus-kasus perdata yang dialami oleh Pemerintah Aceh Utara. Misalnya, kasus gugatan sengeta pertanahan. Lalu, kasus bantuan hukum untuk masyarakat Aceh Ut ara,”ungkap Azhari.

Azhari juga menyebutkan, pihaknya telah melengkapi detail rencana bantuan hukum dan seluruh mata anggaran yang telah diajukan. “Bantuan untuk instansi vertikal seperti TNI juga dibolehkan. Nam un, anggarannya disarankan untuk dirasionalkan kembali. Prinsipnya, provinsi hanya menyarankan saja,” terang Azhari sembari menambahkan dalam waktu dekat ini akan ada rapat lagi antara TAPD Aceh Utara dengan DPRK Aceh Utara untuk merasionalkan anggaran dalam APBK tersebut.

Azhari menggaransi bahwa pos dana bantuan hukum itu akan digunakan untuk perdata. “Kalau digunakan untuk pidana itu yang tidak boleh. Dan digunakan untuk Pemkab Aceh Utara, bukan orang pribadi,” pungkas Azhari.

Azhari boleh saja mengatakan bahwa hasil evaluasi gubernur hanya masukan. Artinya, boleh diikuti boleh juga tidak. Akan tetapi, dalam surat hasil evaluasi Gubernur ada kalimat yang menegaskan, “Dalam hal bupati dan DPRK tidak menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan rancangan qanun tersebut, akan dilakukan pembatalan oleh Gubernur Aceh sekaligus menyatakan berlaku pagu APBK tahun sebelumnya.”

Sementara itu, Sekda Aceh Utara, Syahbuddin Usman tidak berhasil dikonfirmasi terkait rincian mata anggaran yang mendapat perubahan setelah dievaluasi oleh DPKKA Provinsi Aceh. Handphone Syahbuddin Usman diblokir dan hanya meninggalkan pesan masuk dengan nada terima kasih telah menghubungi kami. Lalu, handphone itu secara otomatis mati sendiri. Pesan singkat yang dikirim pun belum dibalas hingga berita ini diturunkan. Hal yang sama juga terjadi pada Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid. Kabar yang diperoleh Kontras, Bupati Aceh Utara sedang berada di Jakarta untuk mengurus pengembalian uang barang bukti sebesar Rp 177 miliar di Polda Metro Jaya.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 532 | Tahun XI 11 - 17 Maret 2010

02.05 | Posted in , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added