Proyek “Abu Nawas” Kereta Api
TERMINAL persinggahan kereta api di Desa Keude Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Kamis (2/2), terlihat sepi. Tak ada aktivitas apa pun di sana. Sesekali lalu-lalang kendaraan roda dua dan tiga melintas di sisi jalur rel kereta api.
Enam bulan lalu, di terminal itu berjejer enam gerbong kereta api. Gerbong itu didatangkan akhir tahun 2008. Kini, gerbong tersebut dipindahkan ke terminal utama di Desa Cot Seurani, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Kondisi gerbong pun mulai berkarat.
Pembangunan kereta api di Aceh berawal ketika mantan Presiden RI, BJ Habibie, menyetujui pembangunan kereta lintas Banda Aceh-Medan. Pembangunannya secara bertahap. Namun, untuk tahap awal tahun 2009 lalu dijadwalkan kereta melayani jalur Krueng Mane-Krueng Geukueh dengan jarak sekitar 10 kilometer. Gerbong pun didatangkan. Tapi, sampai kini jalur itu juga belum difungsikan.
Keuchik Keude Krueng Geukueh, Rusli Ibrahim, kepada Serambi, kemarin, menyebutkan, pembangunan kereta api itu dirancang tanpa konsep yang matang. Dia mencontohkan, rel dan pagar pembatas kereta api membuat Keude Krueng Geukueh terpecah menjadi dua bagian. Rumah dan toko (ruko) di sebelah utara desa itu kini sudah tak ramai lagi dikunjungi pembeli. “Belum beroperasi saja sudah membawa mudarat bagi pedagang. Buktinya sekitar 100 ruko sudah tak ada lagi pembeli. Kalau beroperasi bagaimana nasib mereka. Ini menghilangkan penghasilan, efek buruk kereta api itu lebih banyak dibanding efek bagusnya,” sebut Rusli.
Ia berharap, pembangunan kereta api itu ditinjau ulang. “Logikanya, tahap awal direncanakan melayani rute Krueng Mane-Krueng Geukueh. Siapa yang mau naik kereta itu. Sudah sangat banyak sepeda motor sekarang. Angkot saja sudah tak banyak lagi penumpangnya. Apalagi kereta, ada-ada saja program kereta itu,” sebut Rusli.
Masalah lainnya, rute yang digunakan untuk pembangunan rel itu telah dihuni penduduk. Bahkan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh Utara telah membangun 100 kios buah di lintasan rel kereta di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara. “Tanah kios itu memang milik Perusahaan Jasa Kereta Api (PJKA),” sebut Muhammad Saman, warga Baktiya, Aceh Utara. Jika kereta api jadi dibangun dengan rute yang sama, otomatis kios itu terpaksa dibongkar. Pemborosan pembangunan kembali terjadi.
Selain itu, koordinasi pembangunan antara dinas perhubungan di kabupaten/kota dengan satuan kerja (Satker) Kereta Api Dinas Perhubungan Aceh tidak berjalan sama sekali. Kadis Perhubungan Lhokseumawe, Miswar Ibrahim dan Kadis Perhubungan Aceh Utara, F Badli, menyebutkan, mereka tidak tahu sama sekali sejauhmana perkembangan pembangunan kereta api itu.
“Tidak ada koordinasi dengan kami. Dulu, ada satu pegawai dari dinas kami yang dimasukkan dalam Satker. Tapi, sampai sekarang pegawai kami itu tidak difungsikan sama sekali,” sebut Miswar Ibrahim. Hal yang sama disebutkan F Badli. “Kami tak pernah tahu perkembangannya sama sekali. Jika ingin tau persoalan kereta api langsung saja ke Satker di Provinsi Aceh saja,” ujar Badli.
Sementara Direktur Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial, Halidi menyebutkan kereta api masih dibutuhkan. “Tapi pemerintah harus menyiapkan infrastruktur yang bagus. Soal koordinasi pembangunan agar tidak tumpang tindih, dinas di kabupaten juga harus jemput bola. Satker di provinsi juga harus berkoordinasi. Tidak boleh keduanya ego, tidak mau berkoordinasi,” ujarnya.
Belum jelas kapan kereta api Aceh bisa beroperasi untuk melayani rute Medan-Banda Aceh. Inilah ‘hayalan’ tingkat tinggi Pemerintah Aceh. Mereka merancang transportasi supermegah, tapi pelaksanaannya centang perenang.(masriadi sambo)