MOST RECENT

|

Pembunuh Bayi

Cerpen > Masriadi Sambo

BUMI menangis. Langit mendung. Halilintar menggodam bumi. Kilatannya seakan mencambut setan yang menggoda manusia. Angin bertiup tak tentu arah. Suaranya mendesau ribut. Seakan menjadi pertanda, peristiwa mahadahsyat akan terjadi.

Hari itu, 24 Februari. Mendung menyilumit seluruh kota. Hujan akan turun. Kupacu sepeda motor menuju rumah. Diperjalanan, telepon bernada pilu kuterima. Istriku menangis sesenggukan. Aku tak tau apa yang terjadi.

“Bi, segera pulang ya,” kata Istriku di telepon.

Kutinggalkan seluruh pekerjaan di kantor. Kuabaikan telepon dari para petinggi kantor, menanyakan tugasku yang belum selesai. Lebih penting Istri, ketimbang kerjaan. Pikiranku kalap. Aku tak bisa berpikir normal.

Kutemukan Istriku menangis sejadinya di kamar. Air matanya membuncah. Tak terbendung. Tak jelas, kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Anak kita Bi,” katanya sambil memegang perut. Air matanya terus mengalir deras.

“Kenapa dengan anakku.” Istriku mengandung anak pertama kali. Kuyakini, anakku akan mengikuti jejak ibunya. Menjadi wanita yang solehah. Wanita yang baik, dan mengikuti ajaran agama. Usia kandungannya baru enam bulan. Namun, ada apa dengan anakku.

Sambil menangis, istriku menjelaskan, bahwa dokter kandungan ternama di kota ini memvonis bahwa bayi kami telah meninggal dalam kandungan. Dia tak percaya. Aku juga. 7 Februari lalu, kami baru memeriksa kandungan istri. Diagnosa dokter saat itu kandungan istri dalam kondisi sehat. Aman. Tidak ada masalah apa pun.

“Maafin Umi ya. Umi belum bisa ngasi Abi anak,” katanya sambil menangis.
Aku tak sanggup menerima cobaan ini. Terlalu berat. Sejak sebelum menikah, aku ingin segera punya anak. Bahkan, dalam setiap sujudpun, hanya tiga hal yang kuminta pada Tuhan. Aku minta diberikan keturunan yang sehat, normal, cerdas, soleh dan solehah. Lalu, aku minta diberikan kemudahan rezki agar bisa berhaji bersama keluarga besarku dan keluarga istri. Terakhir, aku selalu minta pada Tuhan,agar diberikan kesehatan dan disembuhkan segala penyakit yang ada pada tubuhku.

Namun, doaku belum dikabulkan. Rasanya ingin protes pada sang pencipta. Namun, aku ingat perkataan Nabi, bahwa Tuhan memberikan cobaan pada hambanya yang mampu menerima cobaan itu. Tuhan sudah mengukur kemampuan hambanya. Cobaan adalah bagian dari ujian, untuk naik tingkat ke kelas selanjutnya. Naik ke tingkat yang lebih tinggi. Pepatah bijak mengatakan, ada hikmah dibalik cobaan.

Kupejamkan mata menahan air mengalir. Aku tak pernah sesedih ini. Ketika kehilangan kakek, nenek, dan pamanku, bahkan aku tak bisa menangis sama sekali. Kupaksa air mata agar keluar, namun tetap saja aku tak bisa mengis. Kata ibuku, aku orang yang agak keras. Sukar untuk sedih. Namun, kali ini. Air mata keluar sendiri. Tak bisa kubendung.

***
DOKTER menyarankan agar bayi yang ada dalam kandungan istriku segera dikeluarkan. Jika tidak, maka akan terjadi inpeksi pada Istri. Malam itu, dengan sisa kekuatan yang ada, kubawa Istri ke rumah sakit.

Dokter sudah memasang cairan infus. Untuk dilakukan operasi besok pagi. Dalam hati aku berdoa agar istriku selamat. Kurenungi semua yang telah kulakukan di dunia ini. Ibadah, sedekah, dan amal lainnya. Kurasa, soal ajaran agama, aku terbilang taat. Dibanding teman-temanku dikantor, menurutku, aku lebih baik dalam ibadah.

Lalu, apa yang membuat Tuhan mengirimkan cobaan mahadahsyat ini?. Keesokan paginya, dokter datang begitu awal. Istriku sudah masuk ke ruang operasi. Akan dioperasi pagi ini. Namun, istriku ragu. Dia merasa, bayinya masih bergerak.

“Masih ada gerakannya Bi.”
“Ya. Nanti, kita tanya dokter.”

Dokter pun muncul. Dokter langsung menyiapkan alat operasi. Kujelaskan apa yang dirasakan istriku, tentang bayi yang seakan masih bergerak.

“Saya tidak mau melakukan operasi, kalau ibunya tidak siap. Kalau ibunya masih merasa bayinya hidup, silahkan periksa lagi ke dokter lainnya. Saya sudah capek menjelaskan kemarin,” kata dokter itu sambil pergi meninggalkan kami. Istriku terpukul dengan ucapan dokter itu. Kami memutuskan memeriksa kembali kandungan Istri ke seluruh dokter kandungan di daerah ini. Kesimpulannya sama. Bayi sudah meninggal. Dokter yang satu mengatakan sudah meninggal dunia sejak dua minggu lalu, dokter kedua mengatan sudah sepuluh hari lalu.

Kembali kubawa istri ke rumah sakit. Solusinya hanya satu, bayi kami harus dikeluarkan. Istilah medis menyebutkan harus disinto. Hari pertama, satu botol cairan sinto merasuk ke tubuh istriku. Namun, belum ada reaksi apa pun. Tidak ada tanda-tanda pintu rahim akan terbuka. Aku khawatir. Dokter menjelaskan, bahwa butuh waktu dua atau tiga hari untuk membuka pintu rahim.

“Terkadang bahkan ada yang butuh waktu seminggu Pak. Jadi, Bapak sabar saja,” kata dokter itu. Aku termangu. Keuanganku tak begitu kuat untuk merawat istri berminggu-minggu di rumah sakit. Meski begitu, aku tak perduli. Terpenting, istri selamat. Bayi kami yang telah meninggal dunia, berhasil dikeluarkan. Agar ibunya tidak terinpeksi. Jika air ketuban pecah didalam, solusi terakhir adalah operasi.

“Tuhan, berikan kesehatan buat Istriku,” ujarku.

***
Hari ketiga, empat botol cairan sinto telah masuk di dalam tubuh Istriku. Pagi itu, azan subuh baru terdengar. Usai melaksanakan shalat, kujenguk kembali istri di ruang persalinan. Dia mengatakan, perutnya mules. Mulai ada tanda-tanda akan melahirkan. Kemarin, darah istri sudah kuperiksa. Hasilnya, istri positif memiliki virus kucing (toxoplasma) dalam darang. Virus ini yang membunuh bayi kami. Pembunuh bayi terkejam di negeri ini. Data dari tim medis, di kota ini saja, sejak tiga bulan terakhir tercatat 661 wanita yang positif mengidap virus ini. Tuhan, bisakah kami memiliki bayi. Pembunuh bayi ini sangat kejam. Bagaimana menyembuhkannya.

Jam dinding terus berputar. Hari ketiga di rumah sakit. Istriku terbaring lemas pagi itu. Dokter belum juga datang. Para bidan sibuk mempersiapkan kelahiran. Sesekali mereka memeriksa kondisi istri. Kutelepon dokter dan jawabannya dia sedang sibuk.

“Saya sedang sibuk Pak. Nanti saya ke rumah sakit,” dia pun menutup telepon. Aku tertegun. Daerah ini kekurangan dokter kandungan. Dokter yang ada bisa seenaknya mengatakan dirinya sibuk. Dia tidak tahu, nyawa istriku sudah diujung rambut. Dia meringis kesakitan. Sumpah kedokteran hilang. Nyawa manusia tak ada arti apa pun. Butuh dokter lebih banyak di daerah ini.
Menjelang siang, dokter baru datang. Tiga menit dia di dalam ruangan bersalin, anakku berhasil dikeluarkan. Dia perempuan. Cantik. Putih, ikut ibunya. Namun sayang, dia sudah meninggal dunia.

Istriku menangis sejadinya. Dia masih belum bisa menerima anak kami telah meninggal dunia. Telah pergi untuk selamanya. Menunggu kami di surga. Kubungkus anakku dengan kain panjang, kubawa pulang untuk dimakamkan. Air mata seakan sudah kering. Tak mampu keluar lagi. Aku kehilangan orang yang paling berharga. Membuatku bangga. Membuatku rajin berkarya. Kuberi dia nama Felomena. Felo, gadis cantikku yang telah pergi untuk selamanya. Bumi pun menangis. Hujan mengantar pemakanan Felo. Anakku, tunggu Abi di surga.

***

Publis Oleh Dimas Sambo on 04.38. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

2 komentar for "Pembunuh Bayi"

  1. menyentuh Bg... semoga Bapak dan IStri diberikan ketabahan... Amiin...

  2. trimakasih atas pujiannya

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added