Mengayam Rupiah
FERI Syahputra baru saja menyelesaikan anyaman rotan buatannya. Senyumnya mengulas. Dia pemilik Toko Atarik Awe. Dia mengira kedatangan saya sebagai pembeli. “Silahkan memilih-milih,” katanya ramah membuka pembicaraan.
Feri-panggilan akrab pria itu telah melakoni bisnis anyaman rotan sejak tahun 1995 silam. Awalnya dia menggelar dagangan itu di depan Lapangan Hiraq Lhokseumawe. Tempat bukan miliknya. “Hanya sewa bang. Kita mana ada uang untuk beli tempat,” ujarnya. Sesekali Feri mengisap rokok ditangannya. Pria berambut gondrong itu terdiam. Matanya nanar menatap puluhan kursi rotan yang telah siap untuk dijual.
Kemampuan mengayam rotan diturunkan oleh keluarganya. Feri mengaku orang tuanya memang sejak kecil belajar menganyam rotan. “Orang tua saya memang mengayam tikar. Bisa dibilang, ini kemampuan keluarga yang diturunkan pada saya,” papar pria asal Kota Langsa itu. Dia menginjakkan kaki ke Lhokseumawe khusus untuk mengembangkan kerajinan rotan sebagai bisnis di kota petro dollar itu.
“Saat itu, susah sekali mencari rezeki ditempat lain. Saya tak ada keahlian lain. Makanya mengembangkan bisnis ini,” ujarnya sambil mengenang masa-masa pahit ketika awal menginjakkan kaki ke Lhokseumawe. Saat itu, tahun 1995 silam, dia membuka usaha dengan modal Rp 5 Juta. “Modal itu tak seberapa. Masih sangat kecil. Karena sewa kedai juga disitu dalam Rp 5 Juta itu,” sebutnya
Saat itu, kursi rotan belum laku di pasaran Lhokseumawe. Masyarakat lebih suka menggunakan kursi yang terbuat dari bahan gabus. Namun, kegigihan pria gondrong itu patut diacungi. Dia terus bertahan di Lhokseumawe. Mengembangkan kerajinan itu menjadi bisnis. Hanya satu harapan, rotan bisa menjadi rezeki. “Sekarang sudah lumanyan. Sebulan bisa dapat Rp 7 Juta,” katanya. Bagi Feri, bulan Ramadhan, adalah bulan penuh rahmah. Setiap kali ramadhan tiba, dia bisa mengantongi laba sebesar Rp 40 Juta.
Dia mengaku, kualitas bahan baku yang dibelinya dari Simpang Keuramat, Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah menjadi andalannya. Kata dia, kualitas rotan Aceh memang patut dibanggakan. “Kualitas rotan dan anyaman yang baik serta ikut model terkini menjadi andalan usaha saya,” kata alumni SMA Negeri 1 Langsa ini.
Saat ini, dia membuka tokonya di Jalan Merdeka Timur, Mon Geudong, Kota Lhokseumawe.
Sayangnya kursi rotan buatannya masih dianyam secara manual. Menggunakan tangan. Tak ada mesin untuk membelah disana. “Kalau dengan tangan. Kualitasnya bagus memang, bahkan lebih bagus daripada mesin. Tapi, dengan mesin lebih mudah. Setelah kita pakai mesin, kita haluskan dengan tangan lagi,” paparnya.
Jika rotan itu dianyam dengan tangan, untuk satu kursi yang bisa diduduki satu orang saja dibutuhkan waktu selama tiga hari. Tentu, dalam hal bisni, ini tidak efektif. Feri dibantu oleh empat orang tukang anyam rotan yang didatangkannya dari Cirebon dan Medan, Sumatera Utara
Untuk membeli mesin belah rotan dan mesin-mesin lainnya, Feri mengaku tak memiliki uang. Dia sangat berharap, agar Pemerintah Kota Lhokseumawe memberikan bantuan mesin untuknya. “Kalau pemerintah memberikan hibah mesin. Saya sangat senang. Kalau diberi secara kredit tanpa bunga,” sebutnya. Selama ini, Feri mengaku tidak ada bantuan yang pernah diterimanya.
Harapan mendapatkan mesin bantuan itu telah lama diimpikannya. Namun, bantuan itu tak kunjung datang. Entah sampai kapan Feri harus mengayam rupiah dengan tangannya? Entahlah. [Masriadi Sambo]