Mengembalikan Sejarah yang Hilang
Siang itu terik. Matahari membakar bumi. Makam Sultan Malikussaleh, raja Kerajaan Samudera Pasai di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera Aceh Utara terlihat sunyi. Dua pohon angsana melindungi makam kerajaan Islam pertama di Indonesia itu.
“Ini kubur almarhum yang diampuni, yang takwa, pemberi nasihat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, yang penyantun, penakluk, yang digelari dengan Sultan Al Malikussaleh. Yang paham agama yang berpindah (wafat) dalam bulan Ramadhan tahun 690 Hijriah.”
Kalimat itu terpahat indah di makam Malikussaleh. Ukiran kaligrafi pada nisan Sultan Malikussaleh (1270-1297 Masehi) juga terlihat sama pada makam putranya Sultan Malikud Dhahir (1297-1326 Masehi) menandakan Islam memang berjaya saat itu.
Dalam kompleks makam seluas 12 x 17 meter persegi itu tampak M. Yakop Saleh (64 Tahun) sang penjaga makam sedang membersihkan makam raja yang menyebarkan Islam pertama di nusantara dan sebagian Asia Tenggara itu. Dia sudah 15 tahun lebih menjaga makam tersebut. Senyumnya ramah ketika saya menjumpainya awal pekan lalu. “Silahkan duduk. Tunggu sebentar. Saya sapu dulu daun-daun ini, tanggung,” sebutnya dalam bahasa Aceh yang kental. Nada suaranya lembut.
Menjenguk makam ini, jangan berharap menemukan sisa-sisa bangunan fisik kerajayaan yang tersohor di dunia internasional dan menjadi kebanggan masyarakat Aceh Utara itu. Disana hanya sekedar kompleks makam saja. Tak ada gapura atau meriam kemegahan bekas istana. Tak ada pula museum yang menyimpan sisa-sisa peninggalan peradaban tempo dulu.
“Tak ada peninggalan apa-apa disini. Tak ada dirham (mata uang emas) atau pusaka kerajaan yang tersisa,” sebut M. Yakop Saleh. Matanya nanar memperhatikan nisan makam sultan itu. Lantai makam diberi keramik mengkilap.
Makam ini terletak sekitar 20 Kilometer arah Timur Kota Lhokseumawe. Jika dari Jalan Medan - Banda Aceh, tepat di Kedai Gedong-ibukota Kecamatan Samudera jaraknya hanya sekitar 3 Kilometer saja.
Yakop Saleh mengaku, diawal tahun 1980 beberapa masyarakat dikampung itu menemukan 132 buah uang dirgam peninggalan kerajaan. Dirham adalah uang yang terbuat dari emas, sebagai alat tukar pada masa kerjaan. Penemuan itu, katanya, menggemparkan seluruh pegiat budaya dan arkeolog di Indonesia. Ini temuan terbesar yang ditemukan oleh masyarakat disana. Saat ini, salah seorang masyarakat sedang membersihkan tambak miliknya. Ketika mencangkul, dia menemukan sebuah guci besar. “Dalam guci itu ada uang dan barang pecah belah, seperti piring, cangkir. Juga pedana. Saya lupa nama orang yang menemukannya,” ungkapnya.
Ketika itu, sebut Yakop, orang-orang yang mengaku dari Dinas Kebudayaan Propinsi Aceh, mengambil temuan uang emas dan barang pecah belah itu. “Katanya mahu dibawa ke Banda Aceh. Tapi setelah sekarang, di Banda Aceh juga tidak ada uang emas itu. Entah kemana sudah,” ujarnya lirih. Wajahnya sendu. Dia sedih tak ada satu peninggalan kerjaanpun yang berada disana.
Masyarakat didekat kompleks makam, Nyak Bulen (45 Tahun) menyebutkan hal yang sama. Dia menyebutkan, setelah hujan deras turun, biasanya masyarakat disana mudah mendapatkan kepingan uang dirham atau barang pecah belah. Sebagian temuan itu masih utuh, sebagian lainnya telah hancur. “Kalau siap hujan. Biasanya, banyak anak-anak atau masyarakat yang menemukan uang dirgam dan barang percah belah,” ujar Nyak Bulen. Dia membuka kios kecil tepat di depan komplek makam sultan tersebut.
Temuan peninggalan sejarah ini juga terjadi di dekat komplek makam Makam Ratu Nahrisyah di Desa Kuta Krueng kecamatan yang sama – 2 Kilometer dari lokasi Makam Sultan Malikussaleh. Ratu Nahrisyah adalah keturunan terakhir Sultan Malikussaleh yang diketahui nama dan letak makamnya.
“Disini agak sedikit. Di Makam Ratu, Kuta Krueng, disana lebih banyak masyarakat yang menemukan peniggalan sejarah. Kadang masih bisa dipakai. Tapi, lebih banyak yang ditemukan sudah hancur,” sebut Yakop Saleh. Sayangnya, setelah menemukan peninggalan sejarah sebut Yakop, masyarakat langsung menjualnya.
Wajar saja di kompek Makam Ratu Nahrisyah ditemukan lebih banyak peninggalan sejarah. Menurut Yakop, di Desa Kuta Krueng tersebut adalah pusat kerjaan Samudera Pasai. Di Kuta Krueng pula istana raja berdiri. Sedangkan jarak antara Desa Kuta Krueng dan Desa Beuringen, tempo dulu dijadikan sebagai pusat pasar dan perdagangan kala itu.
“Masyaraakat biasanya setelah menemukan langsung menjual. Kapok dengan kasus tahun 1980 ada masyarakat yang menemukan. Barangnya diambil sedangkan masyarakat tidak diberikan apapun. Bahkan tidak diberikan sedikit uangpun,” ujar Yakop sembari mengingat kejadian di tahun 1980an itu.
21 Maret 2008 lalu, Pemerintah Aceh, mencanangkan Pasai dan komplek makam kerjaan Samudera Pasai sebagai pusat peradaban islam di Asia Tenggara. Ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh. Akankah peninggalan sejarah kerajaan Islam terbesar itu dapat dikembalikan ke Desa Beuringen, Kecamatan Samudera Aceh Utara, tempat makam Sultan Malikussaleh berada mampu dikemabalikan? Entahlah. [masriadi sambo]
Publis Oleh Dimas Sambo
on 04.20. Filed under
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response