Menunggu Kelahiran Penulis Muda
SIANG itu tak ada mendung menggantung. Langit cerah. Air Contioner (AC) tak mampu mengalahkan panasnya udara musim kemarau. Sesekali terlihat lalu lalang mahasiswa yang melintas memasuki Aula Meurah Sulu Universitas Malikussaleh. Semuanya mahasiswa yang menimba ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hanya beberapa orang saja dari kampus lain di aceh Utara. Sejurus semua terdiam. “Acara Musyawarah Besar dan Pelatihan Menulis Feature 2008 segera dibuka,” suara pembawa acara menghentak seluruh yang hadir di Aula itu. Tampak, Dekan fakultas itu, duduk dibarisan paling depan. Disampingnya, Subhani, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi menemani.
“Saya sadar benar, kemampuan menulis harus dimiliki mahasiswa. Sekarang ini, banyak sekali mahasiswa yang tidak mampu menulis dengan baik. Bahkan jangankan menulis buku, menulis skripsi saja susah sekali. Ini harus dirubah secara perlahan,” katanya membuka pidato pertengahan Maret lalu.
Ucapan Fauzi bukan tidak beralasan. Data dari Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (IMIKI) menyebutkan 90 persen lulusan Sarjana Strata Satu tidak dapat menulis dengan baik. Sisanya, sebesar 10 persen hanya mampu menulis sedikit dengan kesalahan ejaan yang sangat banyak.
Untuk kampus yang baru berusia tujuh tahun ini, mengembangkan tradisi menulis dikalangan mahasiswa membutuhkan waktu lama. “Saya sangat mendukung kegiatan seperti ini. Menulis butuh proses. Namun, jika tidak dibudayakan, tak akan pernah bisa,” ujar Fauzi.
Ya, hari itu, Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himako) menggelar pelatihan menulis feature. Secara bersamaan diruangan yang terpisah, organisasi mahasiswa ditingkat jurusan tersebut melakukan musyawarah besar alias pergantian pimpinan organisasi tersebut.
“Kita pisahkan ruangan. Untuk pelatihan kita selenggarakan di gedung Unimal Press lantai dua dan untuk musyawarah besar kita pusatkan di Aula Meurah Sulu,” ujar Safari Ma, ketua panitia kedua acara itu.
Uniknya, sebut pria murah senyum ini menyebutkan, pelatihan menulis bagi kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi adalah proses pengkaderan ditingkat jurusan itu. Safari menyebutkan, minimal mahasiswa Ilmu Komunikasi memahami teknik menulis yang baik. “Menulis itu kan tidak instan. Butuh proses. Kita adakan untuk kita (mahasiswa komunikasi) juga untuk mahasiswa jurusan lain. Bahkan mahasiswa kampus lain,” ungkapnya.
Pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari tersebut mengundang jurnalis professional dalam menulis feature. 20 orang mahasiswa peserta pelatihan menulis feature yang bertutur dan bernarasi itu digembleng langsung oleh jurnalis yang bernaung di organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe.
Tampak pelatihan yang didominasi kaum hawa itu berlangsung seru. Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut para peserta pelatihan. “Secara umum, peserta pelatihan sudah memiliki ide dan tema yang bagus untuk tulisan feature. Namun, masih banyak kelemahan. Perlu latihan lagi dan perlu dipertajam lagi pembahasan dan teknik menulis yang indah,” papar Ayi Jufridar, salah seorang pemateri dalam pelatihan itu.
Sementara itu, Zainal Bakri, redaktur Harian Aceh Independen, dalam pelatihan itu banyak membagikan pengalamannya selama menjadi jurnalis ketika meliput konflik Aceh yang berkepanjangan. Mantan wartawan Majalah Tempo itu menyebutkan beberapa teknik melakukan wawancara dan bagaimana menembus narasumber yang sulit ditemui.
***
Membudayakan menulis dikalangan mahasiswa Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe memang menjadi tanggungjawab seluruh kampus di bumi Malikussaleh itu. Namun, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh tampaknya memiliki berbagai trik untuk membudayakan menulis tersebut.
Selain melakukan pelatihan jurnalistik, feature dan pelatihan menulis lainnya setiap tahun, fakultas yang ketika orde baru berkuasa dilarang berdiri di Aceh itu, melakukan lomba penulisan. Akhir tahun 2007 lalu, fakultas itu menggelar lomba menulis artikel se-Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe. “Sayang, waktu itu naskah sedikit yang masuk. Padahal, kita udah sosialisasi seluruh kampus juga lewat Koran dan situs online,” papar Safrizal, mantan wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa fakultas itu.
Padahal, sebut Safrizal, syarat untuk mengikuti kegiatan yang diberi nama Pena Award 2007 terbilang sederhana. Hanya empat lembar naskah. “Nah, ini realitanya. Mahasiswa memang sedikit yang menulis. Tapi tak boleh diam. Kita terus budayakan. Kita harap kedepan, adik-adik di FISIP juga konsen membudayakan menulis ini,” kata mahasiswa asal Aceh Timur tersebut.
Saat ini, untuk tingkat mahasiswa di Lhokseumawe dan Aceh Utara memang sangat sedikit yang dikenal sebagai penulis lepas. Hanya beberapa orang saja yang mengirimkan naskahnya keberbagai media lokal di Aceh. “Kita menunggu lahirnya penulis muda di perut bumi Malikussaleh. Makanya kita dukung seluruh kegiatan menulis yang dilakukan mahasiswa komunikasi dan mahasiswa lainnya,” sebut Subhani, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh.
Sampai kapan menunggu lahirnya penulis muda dari perut bumi Sultan Malikussaleh ini? Entahlah. [Masriadi Sambo]