Mewariskan Budaya Lewat Tulisan
BUDAYA adalah kebiasaan yang telah terjadi turun temurun dalam komunitas tertentu. Budaya ini dapat berupa seni, tari, adat dan lain sebagainya. Aksi klaim mengklaim budaya sedang marak di tanah air. Setelah rasa sayange diklaim sebagai budaya milik Malaysia, kemudian menyusul Reong Ponorogo juga diklaim milik negeri jiran itu. Lalu ada apa dengan Indonesia dan komunitas masyarakat di Negara ini.
Budaya Indonesia terlihat begitu rapuh, mudah di klaim oleh Negara lainnya. Untuk itu, perlu dilakukan reformasi budaya di seluruh Indonesia. Kita tahu, Indonesia kaya akan ragam etnis dan budaya yang sebagian besar sudah jarang digunakan oleh masyarakatnya. Degradasi budaya terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini.
Contoh kecil saja, sangat sedikit masyarakat yang bangga berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Misalnya, orang Aceh menggunakan bahasa Aceh, Batak menggunakan bahasa Batak dan orang Minang menggunakan bahasanya sendiri. Seakan bahasa itu tenggelam dalam gemerlapnya budaya cosmo yang sedang meraja di Indonesia.
Slogan menjaga budayapun seakan hanya patut ditabalkan pada orang tua renta dengan uban penuh diatas kepala.
Slogan menjaga budayapun seakan hanya patut ditabalkan pada orang tua renta dengan uban penuh diatas kepala.
Ini yang menjadi aneh. Sangat sedikit remaja yang mengerti akan budayanya. Bahkan untuk alat musik dan lagu daerah juga mengalami yang sama. Seakan musisi kita tenggelam dalam gemerlapnya lirik-lirik Hindustan dan Barat yang sedang menjadi tren. Seakan originalitas musik itu sudah tak ada lagi, hilang begitu saja.
Lalu, sekarang saatnya merenung. Merenung untuk mencoba memperbaiki budaya negeri ini. Tidak adil rasanya menyalahkan satu pihak, semua kita salah dalam kasus ini. Departemen, dinas dan masyarakat juga memiliki kesalahan dengan kadar sendiri. Salah untuk tidak melakukan tranformasi budaya pada generasi muda daerahnya masing-masing. Dalam tulisan ini saya memberikan beberapa alternatif untuk mentransformasi budaya; Pertama, mari mulai menulis ulang budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dikalangan masyarakat. Bukankah budaya menulis ini sudah diperkenalkan Gutenberg si penemu mesin cetak di Eropa itu.
Lalu, kini malah sebaliknya, kita tabu menulis untuk menyelamatkan budaya. Bahkan komunitas menulis sangat sedikit jumlahnya diseluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kebetulan beberapa waktu lalu saya sempat mengelilingi beberapa propinsi di Indonesia. Hanya dua atau tiga komunitas menulis yang eksis di setiap propinsi. Bukankah ini angka yang sangat menyedihkan?
Untuk itu, saya pikir menyiasati minimnya komunitas menulis di negeri ini, maka harus ada upaya untuk menerbitkan buku-buku budaya oleh pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Bulan lalu, saya dengan beberapa pegiat budaya asal Medan turut menggarap buku budaya di Aceh Selatan. Dimana dalam buku itu, terlihat jelas bagaimana adat dan budaya masyarakat yang dijuluki kota naga itu. Toh, sampai saat ini, masih sangat minim literatur budaya dari daerah yang dikenal dengan legenda Tuan Tapa tersebut.
Sepertinya, pemerintah daerah disana mulai menyadari pentingnya tranformasi budaya melalui tulisan. Bahasa tulisan sudah menjadi rahasia umum bertahan lama dan dapat dijadikan dokumen ilmiah. Sedangkan, tradisi kita saat ini dengan lisan, hanya mampu di dengar dan sedikit diingat. Namun, sayangnya pemerintah daerah lainnya masih lupa akan hal yang satu ini. Jika setiap tahun diterbitkan buku soal budaya yang membedah khusus tema tertentu, maka budaya akan terjaga dengan sendirinya. Misalkan saja, tahun ini akan diterbitkan buku tentang adat pernikahan di salah satu daerah, tahun depan diterbitkan seni musik didaerah tersebut begitu seterusnya. Dengan begitu, budaya cosmo yang merasuk kerelung generasi muda kita akan terimbangi dengan sendirinya.
Tentunya, menulis dan menerbitkan buku saja tidak cukup. Perlu di ingat, kesan buku budaya adalah bacaan yang membosankan perlu untuk menjadi perhatian tim penulisnya. Layaknya buku budaya yang diterbitkan sekarang ini harus mengacu pada bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca dan dikemas dengan bahasa bertutur yang menarik. Tujuannya tidak lain, agar buku tersebut menjadi santapan yang lezat, bukan malah santapan yang membuat pusing. Ini dikarenakan, remaja saat ini terbiasa dengan budaya visual (tampilan gambar). Tak ada salahnya menampilkan gambar pendukung tulisan dalam buku itu. Jangan takut dikatakan buku kurang ilmiah, karena menampilkan sekian banyak gambar. Toh, esensi buku itu sendiri sudah ilmiah, karena ditulis dengan bukti-bukti sejarah dari berbagai sumber.
Kedua, sekolah merupakan tempat yang subur untuk membudayakan menulis. Saat ini, budaya ini belum berkembang dan populer di Indonesia. Hanya sebagian saja, sekolah-sekolah di Jakarta yang mewajibkan siswanya membaca sekian daftar buku-buku sastra dan budaya. Sedangkan untuk Sumatera, termasuk Aceh, ini bahkan belum dilakukan. Saya sempat beberapa kali turut memberikan materi pelatihan menulis kreatif di sekolah-sekolah Lhokseumawe, hasilnya pelajar-pelajar disekolah itu mengaku sangat jarang membaca buku budaya. Alih-alih untuk menulis, membaca saja susah dan malas. Tidak adil, jika menyalahkan murid-murid disekolah. Sepertinya, ada sinkronitas antara murid dan guru bahasa Indonesia. Sebagian sekolah memiliki guru bahasa yang aktif mengajak siswa berdiskusi soal budaya dan sastra. Hasilnya, siswa mereka mampu menulis bahkan menjuarai beberapa perlombaan di Aceh. Nah, untuk itu, peran guru perlu ditingkatkan. Bersamaan dengan itu, perlu juga memperbanyak referensi bacaan di perpustakaan sekolah. Ingat, pembudayaan menulis di sekolah jangan sampai membuat pelajar kaku dan bosan dengan materi yang disampaikan. Buatlah mereka fatner dan bukalah forum diskusi seluas-luasnya. Tidak ada yang lebih cerdas, karena hakikatnya kemampuan manusia sangatlah terbatas. Terkadang, guru ego menganggap dirinya lebih pintar dan membantah apa yang disampaikan muridnya. Jika begini, bukan proses belajar-mengajar namanya. Namun, proses pemaksaan kebenaran yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Ini akan membunuh semangat muda mereka untuk menulis.
Ada satu komunitas menulis di Banda Aceh yang menerapkan interaksi dengan siswanya. Sekolah Menulis Dokarim namanya. Sekolah yang mengusung nama sastrawan Aceh zaman dulu itu menerapkan sistem terbuka untuk siswa-siswanya. Bahkan, terkadang, siswa itu sendiri bisa menjadi fasilitator dalam kelas mereka. Toh, kemampuan membaca kita sangat terbatas. Terkadang, ada materi budaya yang belum dibaca oleh sang guru, sedangkan siswanya sudah membaca lebih dulu. Format sekolah menulis ini layaknya menjadi inspirator untuk seluruh komunitas menulis di Sumatera. Selain itu, mereka menerbitkan satu buku sebagai kumpulan “skripsi” untuk setiap angkatan. Dalam buku tersebut, siswa diberikan tugas menulis dengan tema yang disukainya. Lagi-lagi, buku menjadi penting untuk menjaga budaya. Dan ini juga diakui oleh Fauzan Santa-sang rektor sekolah itu.
Ketiga, membudayakan menulis dari orang tua. Kita tahu, celah pertama untuk anak adalah orang tua dan keluarganya. Sangat sedikit orang tua yang menilai bahwa menulis itu penting. Seakan-akan menulis hanya wajib dilakukan oleh para professor di perguruan tinggi dengan segudang teori. Ini anggapan yang salah. Bukankah menulis juga akan dialami ketika menjelang akhir studi di perguruan tinggi. Seluruh mahasiswa wajib menulis tugas akhir atau skripsi bukan? Sesungguhnya menulis adalah kebutuhan global. Untuk itu, pesan orang tua dengan mewajibkan anaknya menulis adalah satu dasar yang sangat berharga untuk menjaga budayanya sendiri. Mari membudayakan menulis di kalangan keluarga. Jika begini, maka klaim-klaim Negara lain atas budaya bangsa ini tidak akan terjadi lagi. Karena apa, karena kita telah menuliskan budaya kita dan menerbitkannya dalam bentuk buku budaya, fiksi dan sastra.
Diakhir tulisan ini, saya hanya ingin menyebutkan semua pihak yang menghirup nafas di dunia ini harus membudayakan menulis. Bahkan, pemerintah seharusnya mencanangkan gerakan menulis budaya secara nasional. Tujuannya untuk menjaga budaya bangsa yang sangat varian ini. Menjaga budaya adalah menjaga jati diri bangsa. Semoga bangsa ini mampu menjaga budayanya, melalui tinta dan pena. Semoga. [Masriadi Sambo]
Assalamualaikum, bang...
Tarimong genaseh beuh, buat kisah2 di Nanggroe, tempat loen dulu pernah mengais sesuap nasi selama hampir 1,5 thn semasa tsunami yg suram itu.
Apa loen bisa mendapatkan alamat email dari bang Fauzan Santa? loen mau berkenalan lebih jauh ttg sekolah DOKARIM spt yg dituliskan abang ini..
salam "saya belanja, maka saya ada"
(haryantosujatmiko.multiply.com)