MOST RECENT

|

Mungkinkah UKM Berjaya di Aceh?



PASKAPERJANJIAN damai antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki medio 2005 silam, banyak kemajuan yang terjadi di Aceh. Masyarakat telah berani melakukan aktivitas siang dan malam hari. Hal itu dikarenakan tingkat kemanan kian kondusif di bumi serambi mekkah itu. Aceh dikenal karena dua hal yaitu konflik dan tsunami.

Kedepan, banyak pihak berharap aceh dikenal karena kemandirian ekonomi mikro. Kini sedikit demi sedikit nadi-nadi bisnis mulai berdenyut. Ini dapat dilihat ketika malam hari, tempat jajanan malam kian menjamur di Lhokseumawe dan Aceh Utara, bahkan beberapa kota lainnya di Aceh.
Namun, ironisnya, berkah perjanjian damai itu tidak mampu berbuat banyak pada para pegiat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Aceh. Buktinya, sampai saat ini, belum ada kemajuan berarti dari bisnis-bisnis tersebut. Beberapa kasus misalnya, seperti pengrajin peci khas Aceh di Geudong, Aceh Utara. Pangsa pasar industri kerajinan itu masih seperti dulu. Belum berkembang. Hal itu juga terjadi dengan pengrajin kuali tanah (beulangong tanoh) dan pembuat parang (pande besi) di Kecamatan Tanah Pasir.
Pola penjualan dan cara promosi mereka, masih menggunakan pola lama dan sangat klasik sekali. Bisnis itu dikenal secara alami. Dari mulut ke mulut orang-orang yang berkunjung ke kampung itu.
Secara khusus, ada beberapa hal yang mengakibatkan UKM di Aceh belum berkembang. Konflik menjadi salah satu faktor yang melumpuhkan para pebisnis UKM di Aceh. Selain itu, hal yang paling mendasar adalah UKM-UKM di Aceh belum menggunakan manajemen kemasan yang baik. Saat ini,menjadi persoalan umum, UKM di Aceh dan Sumatera Utara tidak menggunakan kemasan yang bagus untuk produk mereka. Alasan yang digunakan para pegiat bisnis kecil ini yaitu mahalnya biaya produksi jika menggunakan kemasan yang menarik.
Padahal, kemasan itu sendiri mengikuti sistem percetakan. Dalam dunia percetakan dikenal, semakin banyak kertas yang dicetak maka semakin kecil biaya yang dikeluarkan. Untuk membuat kemasan yang indah serta menarik perhatian konsumen tidaklah mesti menggunakan cetakan lux yang mengkilap. Cukup menggukanan disain yang sederhana namun kaya akan nilai estetis. Dengan sedikit kolaborasi warna tentunya kemasan tersebut akan terlihat indah dan menarik. Dengan begitu, biaya produksi dapat ditekan seminimal mungkin untuk membuat kemasan yang baik, indah dan menarik perhatian konsumen.

Bukankah, ketika melihat satu produk, konsumen tertarik jika kemasannya menarik. Jika tidak menarik, Anda atau saya mungkin tidak akan pernah membeli produk tersebut. ini yang tidak diperhatikan oleh para pegiat UKM di Aceh, juga Medan, Sumatera Utara. Sekali lagi, kemasan yang menarik tidak mesti mengkolaborasikan sepuluh warna didalamnya? Cukup satu atau dua warna saja.

Ini yang dilakukan para UKM di Yogyakarta. Sehingga, UKM disana menjadi UKM yang mandiri.
Selain itu, UKM di Aceh belum mengorganisir diri dalam sebuah wadah organisasi. Perjuangan tak akan mulus bila tidak ada lembaga tempat bernaung yang mengadvokasi permasalahan yang sedang diperjuangakan. Pemerintah tidak akan mendengarkan suara-suara pebisnis yang tertindas ini (UKM), bila mereka sendiri tidak mengorganisirnya dalam satu wadah tertentu. Tahun lalu, sebuah NGO luar negeri asal Swis, Swiscontack memfasilitasi berdirinya aliansi Pusat Informasi Bisnis (Pinbis) di seluruh Aceh. Acara itu dipusatkan di Banda Aceh dan membentuk Pinbis diseluruh kabupaten/kota di Aceh. Ini langkah awal yang baik untuk membangun ekonomi mikro di negeri ini.
Banyak keuntungan yang dapat diraih dari sebuah organisasi ini. Katakanlah, para pegiat bisnis peci mendirikan aliansi pengrajin peci, begitu juga pegiat binis tukang obat dan lain sebagainya. Paling tidak, melalui organisasi itu mereka bisa memperjuangkan kepentingan mereka pada pemerintah. Perjuangan ini misalnya meminta pemerintah untuk mengurus hak paten produk khas Aceh ke Jakarta.

Mengurus hak paten tidak dapat dilakukan secara perseorangan, jika usaha itu dalam kategori usaha kecil. Hak paten hanya bisa diurus secara perorangan bila usaha itu tergolong dalam usaha berskala besar. Padahal, kita tahu Aceh kaya akan usaha kecil dengan kekhasan bumi Iskandar Muda ini. Nah, ini dapat diperjuangkan melalui organisasi tersebut dengan mendesak Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Propinsi Aceh membantu mengurus hak paten tersebut.
Perlu diingat Jurnalis saja yang notabene sebagai agen control sosial dan pendukung pilar demokrasi untuk memperjuangkan kebebasan pers melebur dalam satu wadah tertentu seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan lain sebagainya. Manfaat lain dari aliansi bisnis ini yaitu dapat menyamakan harga jual pada konsumen.

Dengan seragamnya harga jual, maka akan timbul persaingan bisnis yang sehat antar pegiat UKM itu sendiri. Persamaan harga juga akan memudahkan konsumen untuk memilih produk yang dihasilkan oleh para UKM. Konsumen tidak akan memilah mana yang mahal dan mana yang murah dari produk UKM itu sendiri. Jika ini terjadi di Aceh, maka peningkatan pendapatan para UKM akan meningkat dengan sendirinya. Mungkinkah ini terjadi? Mungkinkah UKM di Aceh akan kembali berjaya seperti masa-masa lahirnya kongsi (kamar dagang Aceh) medio penjajahan dulu. Semuanya tergantung para pelaku bisnis dan niat baik pemerintah untuk mendukungnya. Mari menyatukan diri untuk kemajuan bersama, kemajuan ekonomi Aceh yang mandiri serta kejayaan UKM di Aceh. Semoga. [Masriadi Sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 20.18. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

1 komentar for "Mungkinkah UKM Berjaya di Aceh?"

  1. Good Luck.... I hope u can be explore UMKM Atjeh Go International



    Tertanda

    Pinbis Lhokseumawe

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added