Hemat Listrik Versus Ekonomi Mikro
INDONESIA hingga kini belum mampu mengatasi krisis listrik di berbagai daerah. Kondisi ini, sudah terjadi puluhan tahun lalu. Pasokan listrik yang tidak mencukupi juga disinyalir sebagai salah satu faktor keengganan investor berinvestasi di sejumlah propinsi di negeri ini. Ini selalu diwacanakan sebagai Pekerjaan Rumah (PR) setiap kali pergantian kabinet di negeri ini. Nah, hingga kini persoalan jenis ini terus menjadi wacana disidang pembaca media. Baikkah membedah kinerja buruk itu erus menerus, saban waktu, tanpa memberikan solusi yang baik mengatasi krisis listrik yang berkepanjangan di negeri ini termasuk di Aceh.
Secara nasional, gerakan menghemat listrik ini dicanangkan Wakil Presiden Yusuf Kalla akhir tahun lalu. Kemudia, dintindalkanjuti secara legal melalui Surat tandatangani Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro. Tak tanggung-tanggung surat yang dikeluar kan tanggal 12 Februari lalu itu menghukum para pelanggan listrik dengan denda 1,6 persen dari Tarif Dasar Listrik (TDL). Itu dikenakan bila pelanggan menggunakan listrik lebih dari 20 persen dari pemakaian rata-rata nasional. Surat nomor 1128/M.ESDM/2008 ini tentunya bukan hanya boomerang bagi masyarakat awan di pedalaman yang tak tau sosialisasi hemat energi ini melalui media massa. Namun, surat ini juga merupakan musibah bagi para pegiat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang produksinya bergantung pada aliran listrik. Sebut saja, usaha bakery, usaha jenis ini jelas sangat membutuhkan pasokan listrik. Ini yang seakan luput dari perhatian pemerintah yang memberlakukan hemat listrik secara nasional, tanpa memilah siapa dan lembaga apa yang harus melakukan penghematan listrik.
Tampaknya kebijakan ini perlu ditinjau kembali. Pasalnya, saat ini usaha kecil, mengalami kesulitan dalam berproduksi. Aliran listrik yang byar pet (hidup segan mati tak mau) membuat peralatan produksi mereka rusak. Seharusnya, pemerintah memberlakukan hemat listrik hanya khusus bagi kantor pemerintahan saja atau lembaga swadaya masyarakat. Menjadi pemandangan umum, kantor-kantor pemerintah hampir di seluruh Indonesia, termasuk Aceh menyalakan listrik setiap hari selama 24 jam. Ini yang patut ditindak oleh kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Untuk kasus Aceh, Perusahaan Listrik Negara (PLN) Wilayah Aceh menargetkan mampu mencapai Rp 4,5 miliyar dari hasil penghematan listrik. Ini angkat yang dipatok dari seluruh masyarakat, tak terkecuali usaha kecil. Nah, saya sarankan, usaha kecil yang selama ini menjadi hero pendapatan daerah layaknya tidak merasakan imbas menghemat energi ini. Biarkan saja mereka menggunakan aliran listrik tanpa melihat waktu dan denda untuk memproduksi kue dan jenis usaha lainnya. Toh, mereka juga dikenakan pajak yang cukup besar dari laba yang dihasilkan industri kecil itu. Selain itu, perlu di ingat, media informasi seperti Televisi dan Radio patutnya mendapatkan perlakuan khusus. Dimana, ketika mewartakan satu peristiwa secara langsung, mereka tak memiliki kendala dalam penanyangan, karena harus menghemat listrik dan tayang hanya sampai jam 24.00 tengah malam. Saya pikir, ini perlu menjadi pertimbangan-pertimbangan khusus untuk daerah Aceh dan Indonesia secara keseluruhan
Alternalif Listrik
Aliran listrik untuk Aceh saat ini masih mengandalkan pasokan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Belawan. Padahal, PLTU itu masih mengalami defisit energi sebanyak 120 megawatt setiap harinya. Tentu tidak akan cukup membagi aliran listrik untuk Sumatera dan Aceh secara serentak. Akibatnya, pemadaman bergilir hampir setiap hari terjadi.
Untuk Banda Aceh dan Aceh Besar saja, dibutuhkan 52 megawatt aliran listrik setiap hari. Padahal, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Lueng Bata, Banda Aceh hanya mampu memenuhi 26 megawatt setiap hari. Tentu masih sangat kurang. Ini belum lagi di daerah lainnya seperti Aceh Jaya, Simeulu dan daerah Aceh bagian pedalaman lainnya. Di sana, kondisi aliran listrik lebih buruk dibanding Banda Aceh sebagai ibukota propinsi.
Artinya, perlu ada upaya mencari alternatif sumber energi baru untuk propinsi syariat islam ini. Salah satu energi alternatif terbaru yang patut diperhatikan Pemerintah Aceh yaitu pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Pembangkit listrik mini yang mengandalkan tenaga air dengan output relatif kecil yaitu dibawah 500 kilowatt. Secara umum, potensi pengembangan PLTMH di Indonesia masih terbuka lebar. Menurut data Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), potensi kelistrikan tenaga air di Indonesia seluruhnya mencapai 75.000 megawatt. Dari jumlah sebesar itu, yang baru dimanfaatkan hanya 2,5 persen. Potensi PLTMH sendiri mencapai 10 persen dari keseluruhan potensi listrik tenaga air, atau sekitar 7.500 megawatt.
PLTMH ini yang baru dimanfaatkan di seluruh Indonesia hanya sebesar 60 megawatt. Jika ditotalkan potensi tersebut di seluruh propinsi di Indonesia termasuk Aceh, bukan tak mungkin, seluruh daerah akan terang benderang. Ini mungkin secuil energi yang dilupakan pemerintah kita.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat PLTMH memiliki sejumlah keunggulan yaitu antara lain potensi air yang melimpah, teknologi yang handal dan kokoh sehingga mampu beroperasi lebih dari 15 tahun. Selain itu, potensi ini juga mengingatkan masyarakat akan menjaga hutan. Jika tidak adanya sumber air, pembangkit jenis ini juga tidak akan berarti apa-apa dan sangat sulit dikembangkan. Ini mendidik masyarakat hemat energi, mencegah illegal logging dan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa hutan dan listik memiliki hubungan yang khusus.
Tri Mumpuni Wiyatno, dari Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Sulawesi Selatan telah melakukan upaya pemberdayaan energi listrik dengan pola ini. Bahkan Tri Mumpuni juga telah mempraktikkannya di 60 desa di seluruh Indonesia tentang penggunaaan pembangkit listrik jenis ini.
Tampaknya, jika melihat potensi Aceh persoalan air bukanlah hal yang sulit. Tinggal lagi, niat baik untuk membuka energi jenis ini. Aliran sungai di beberapa kabupaten tampaknya cukup untuk dikembangkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini. Ini yang saya sebut, patut dipikirkan Pemerintahan Aceh.Nah, menunggu energi mikrohidro dikembangkan di Aceh, tampaknya sosialisasi hemat listrik juga patut terus dilakukan. Polanya, bukan hanya melalui saluran televisi, radio dan media massa. Alangkah baiknya, juga dilakukan melalui seluruh lembaga pendidikan, instansi pemerintah dan lain sebagainya. Tujuannya tak lain, agar aparatur kita hemat akan energi dan pelajar kita sadar bumi semakin tua, tak bisa menyumplai energi listrik saban hari. Penyadaran hemat listrik antar pribadi di lembaga-lembaga itu tampaknya akan lebih berhasil ketimbang penyadaran melalui media massa. Namun, untuk mencapai kata maksimal, tak salah melakukan kampanye hemat listrik melalui media dan komunikasi antar pribadi. Sekali lagi, saya ingatkan, pembatasan pemakaian aliran listrik jangan diberlakukan pada kegiatan ekonomi. Toh, jika ekonomi masyarakat mapan, bangsa ini akan semakin kuat dan mampu bangkit menyongsong kebangkitan nasional yang ke 100 tahun lebih nantinya. Semoga. [Masriadi Sambo]