MOST RECENT

|

Kutunggu Kamu …

MALAM ini, aku tak bisa memicingkan mata. Bayangmu selalu saja melintas. Entah sampai kapan, kamu menari di depanku. Tersenyum dan lekuk lesung pipimu menggodaku untuk menciummu. Ah, Salmi. Mengapa kamu menyiksaku seperti ini. Menyiksaku dalam kebimbangan. Kamu tau, hujan itu masih membekas di wajahku. Masih teringat jelas, bulingan jernih menetes di matamu. Ketika aku meninggalkan kotamu. Ya, pergi, untuk melanjutkan studi.

“Salmi. Aku pasti selalu hubungi kamu. Ya, aku selalu rindukan kamu,” kataku, menjelang magrib. Di luar, langit masih menggemuruh. Hujan membasahi bumi. Tak ada satupun manusia yang melintas di jalan raya. Hanya aku, melintas dengan sepada motor pinjaman. Menemuimu, dua jam sebelum keberangkatanku ke Lhokseumawe. Kota dimana aku menuliskan kegelisahan hati ini untukmu.

“Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sampai di sana. Dan, kuliahmu harus cepat selesai. Aku tunggu kamu,” ujarmu manja sambil menggelanyut di lengan bajuku. Kaos hitam dan rambutmu yang legam masih kuingat. Saat itu, ingin rasanya aku meneriakkan pada dunia, bahwa aku akan kembali untukmu. Ya, mengajakmu pergi dari Kota Leuseur itu. Kota yang menurutku, tidak pernah ingin maju dan berkembang. Aku akan ajak kamu pindah ke kota ini. Membina keluarga dengan delapan orang anak dan sebuah rumah mungil.

Salmi, kamu tau, saat ini kuliahku hampir rampung. Sebentar lagi, aku meraih gelar sarjana sosial. Ya, gelar yang kau impikan. “Aku bangga kamu kuliah di sosial. Aku ingin kamu bisa merubah karakter masyarakat kota kita,” katamu per telepon ketika aku memasuki semester empat.

“Kamu mau pindah ke kota ini. Kota ini lebih menjanjikan dibanding kita terus bertahan di Kota Leuseurmu yang dingin itu?” kataku.

Hening. Tak ada suara diseberang telepon. Kamu terdiam. Aku tau, kamu tak mau berpisah dengan ibumu. Aku juga tau, kamu anak bungsu. Anak yang paling disayangi oleh orang tua dan abang-abangmu. Aku tau itu. Tapi, yakinlah. Hidup kita, jauh lebih berubah ketimbang terus bertahan di sana. Kamu tau, aku tak bisa diam melihat ketidakadilan. Ketika tulisanku menyindir pemerintahanmu, maka aku akan di cari. Di maki, di hajar, syukur bila tidak mati. “Apakah kamu mau aku mati di sana?”

“Tidak. Jangan bicara seperti itu. Aku tunggu kamu lebaran nanti,” katamu kala itu.
***
Jujur, kota ini memang keras. Kamu tau, keluargaku tak mampu memberi pondasi dana yang kuat untuk ku menimba ilmu. Di sini, di kota ini, sebagian waktuku kuhabiskan untuk menerima ketikan. Alias rental berjalan. Komputer butut yang dipinjamkan abangku menjadi modal dasar. Hasilnya tak seberapa. Selebihnya, aku mengirimkan tulisan ke beberapa surat kabar di kota ini. Honornya juga tak seberapa. Dengan honor itu, setiap awal bulan, aku ingin sekali menelponmu. Memberi kabar yang terindah, bahwa nilaiku tinggi. Tidak anjlok seperti SMA dulu.

Kamu selalu tertawa plus katakan, “Sayang, aku menunggu kamu di kota dingin ini. Segeralah selesaikan kuliahmu. Aku ingin kita bisa bersama lagi. Mandi di Kali Alas yang dingin dan makan Ikan Mas dibakar, enak sekali itu,” ujarmu manja.

Waktu itu, tahun 2005. Ramadhan telah tiba. Aku cek buku tabunganku. Ah, tak seberapa, cukup untuk pulang ke kotamu dan mentraktirmu bakso di depan Mesjid Kutarih. Bukankah itu bakso termurah di dunia dan kamu selalu senang bila kita duduk di situ sampai jam berdentang sepuluh kali.

Ramadhan tinggal lima belas hari lagi. Kusiapkan semua keperluan untuk pulang ke kampungmu juga kampungku. Ah, banyak orang di kampungmu mengatakan aku orang Aceh. Bukan orang Kutacane. Mungkin, karena ibuku berdarah Aceh tulen. Makanya, banyak orang memanggilku Dimas Aceh.

“Aku bangga dekat dengan kamu. Orang Aceh itu kan pemberani. Aku suka kamu, karena kamu pemberani. Meskipun sedikit keras kepala. Tapi, aku suka kamu,” ujarmu. Aku bayangkan, lesung pipitmu pasti terlihat jelas saat tersenyum. Sayang, sampai saat ini aku tak bisa melihat wajahmu.

Kubatalkan niat pulang ke Kutacane setelah mendengar kabar, bahwa kamu telah menunaikan sunnah rasul. Menikah. Ya, hanya dua hari setelah aku menelponmu dan memberi kabar kepulanganku.

Kamu tau, saat itu, aku tak pernah percaya pada dunia. Duniaku telah hilang. Seluruh cita-citaku kandas. Tak ada kendali. Syukur, waktu itu, keluarga mengingatkan aku, bahwa tak selamanya aku harus memiliki apa yang kuinginkan. Dua tahun aku tak mengenal wanita. Kuleburkan diri dalam tinta dan pena saban waktu. Kutenggelamkan wajahmu dalam untaian kata.

Kudengar kamu sudah memiliki buah hati. Aku senang. Tapi, sayang, kamu tau, aku kecewa. Hatiku hancur. Lebih hancur lagi, ketika mendengar, bahwa kamu tak bahagia. Hidupmu pas-pasan. Senin – kamis kata orang-orang. Beberapa kali aku menelepon teman-teman kita dulu, hanya ingin tau tentang kamu. “Ah, Salmi sudah punya anak. Tapi, Dimas, hidupnya susah. Ah, ngapain kamu berharap dengan orang yang telah menikah,” begitu kata Yeni, teman kita dulu per telepon dua hari lalu.

Jujur, saat ini, seorang wanita dekat di sampingku. Keluargaku bahkan memintaku menjadikannya ibu dari anak-anakku nanti. Tapi, jujur pula, kamu tau, aku masih sangat sayang kamu. Terkadang, aku ceritakan tentang kisah kita dulu padanya. Dia tak pernah marah. Karena kata dia, orang yang paling dicintai dalam hidup hanya satu orang. Tak mungkin dua. Kalau dua, itu bukan cinta sejati namanya. Tapi, kasih sayang atau kasihan.

Meski begitu, dia ingin ketemu kamu. Salmi, mungkin satu waktu nanti, kita akan ketemu. Pasti, waktu itu uban sudah penuh dikepala. Dan, kamu pasti mengejekku. Karena terlihat lebih tua kan.

Dua bulan lagi, kuliahku rampung. Aku ingat janjiku dulu. Aku akan pulang dan meminangmu. Tak mungkin kulakukan itu. Kamu telah menikah.

Entah dimana sekarang kamu, aku tak tau. Aku tanya pada semua teman-teman. Tak ada satupun yang tau kabarmu. Padahal, aku ingin ketemu kamu. Ya, sebelum aku mengakhiri masa lajangku. Aku ingin katakan, aku telah sarjana, tamat tepat waktu dan nilaiku bagus. Aku ingin katakan itu padamu.

Mungkin, aku hanya bisa katakan dalam goresan ini, Salmi, aku sayang kamu. Aku tak bisa melupakanmu. Moga, kamu bahagia selalu. Satu waktu, aku ingin bertemu dan mendekapmu. Ya, sebagai teman. Bukan sebagai calon istri. Salamku buat suamimu, jika kamu membaca ceritaku. Kutunggu kamu, kapanpun. Ya, sampai kapanpun, aku menunggumu, untuk secangkir kopi yang kau impikan. Kopi Aceh yang belum pernah kau teguk. “Aku tunggu kamu di sini, di kota ini.”

Publis Oleh Dimas Sambo on 21.45. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added