MOST RECENT

|

Keramik dari Kota Juang


Tangan keriput itu telaten membentuk tanah liat menjadi hiasan. Mengaduk adonan cat, memolesnya kebenda yang telah jadi. Itulah usaha Abdurrahim, 70 tahun. Masyarakat memanggilnya Teungku Abdurrahim. Usianya tak lagi muda. Namun, matanya tajam memperhatikan keramik made in miliknya. Kualitas kata yang tak bisa ditawar baginya. Saat saya berkunjung kerumahnya, di Desa Cot Bada Tunong, Kecamatan Peusangan Bireuen, lelaki itu hanya mengenakan kain sarung kotak-kota coklat dan abu-abu. Tak mengenakan baju. “Maaf panas, saya tak pakai baju,” senyumnya menyambut saya.

Dia pemilik usaha keramik satu-satunya di Kabupaten Bireuen, Aceh. “Sudah lebih dua puluh tahun usaha ini saya tekuni,” ujar Abdurrahim pada saya akhir pekan lalu.

Bisnis ini salah satu bisnis yang menjanjikan. Belum banyak saingan menjadi salah satu peluang untuk mengembangkan bisnis tersebut. sayangnya, Abdurrahim mengaku, dia hanya menjual kerajinan itu keseluruh daerah di Aceh. Produksi kerajinan ini telah hadir di Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireuen dan kabupaten lainnya. Untuk mengembangkan lebih luas, dia mengaku tak memiliki pondasi dana yang kuat.

Pengalaman menekuni usaha selama 21 tahun tak bisa membuat pria itu berkembang. Pasarannya sejak berdiri sampai saat ini, masih di daerah-daerah di Nanggroe Aceh Darussalam. “Tak ada kedaerah lain. Hanya di seluruh Aceh saja. Tak ada modal,” katanya sambil tersenyum.

Lalu, bagaimana dengan laba bersih? Saya bertanya pada Abdurrahim. Ditangan pria itu, kuas telah diolesi cat. Sejurus dia terdiam. Mengayunkan kuas pada guci kecil yang telah selesai di produksi. Guci itu diatur, berjejer dan rapi. Puluhan guci dan keramik jenis lainnya dijemur di bawah terik matahari. Lalu, setelah dijemur, keramik itu sampai pada tahap pembakaran. Soal kualitas tak usah diragukan. Desi Safnita, warga Cot Gapu, Bireuen, salah seorang pembeli menyebutkan kualitas keramik daerah itu memang bagus. “Saya sering beli kemari. Kualitasnya bagus dan ikut perkembangan model,” sebut ibu satu putra ini.

“Kalau sekarang ini, sebulan paling sampai Rp 3 Juta atau paling banyak Rp 5 Juta,” sebutnya. Bagi Abdurrahim, bulan ramadhan adalah bulan penuh berkah. Disaat ramadhan datang, omzet penjualanpun meningkat. Banyak masyarakat yang memesan keramik untuk menyambut hari nan fitri. Itulah penyebab meningkatkatnya pendapatan pria murah senyum itu. Laba sebesar Rp 20 Juta mampu diraih menjelang Idul Fitri setiap tahunnya. “Dari kantor-kantor pemerintah juga banyak yang pesan, kalau menjelang hari raya,” ungkapnya

Keramik yang diproduksi Abdurrahim, terbilang up to date. Selain model-model yang telah biasa dibuatnya, dia selalu mengikuti perkembangan zaman seni pembuatan keramik. Caranya, membeli koran dan majalah. Informasi perkembangan model terbaru didapatkannya dari media. Ketika sedang berbelanja di Kota Bireuen, dia selalu menyempatkan diri singgah di kios atau toko yang menjual koran dan majalah. “Kalau tak ikut model. Pelanggan akan bosan. Saya perhatikan juga perkembangan pasar di Jawa, melalui media,” sebutnya membongkar kiat disain produknya.

Meski begitu, terkadang, mesin pengolah tanah liat yang dimilikinya tak bisa memproduksi beberapa model paling keren. Kemampuan mesin sederhana, yang terdiri dari besi pemutar dan terdapat tiang ditengahnya itu sangat terbatas. Abdurrahim tak bisa berekspresi lebih dengan mesin tersebut. “Modal saya terbatas. Kepingin rasanya membeli mesin yang baru dan bisa dipakai membuat semua model,” harapnya. Untuk membeli satu truk pick-up tanah liat sebagai bahan baku, Abdurrahim merogoh kocek sebesar Rp 150 Ribu.

Matanya kembali memperhatikan beberapa guci kecil yang telah dicat. Guci itu mengkilap diterpa sinar matahari. Cukup indah dan menarik.

Apa tidak ada bantuan dari pemerintah? Saya bertanya. Ibrahim terdiam. Sejurus kemudia, dia menyebutkan beberapa kali Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bireuen sempat mengunjungi tempat usahanya. Namun, hanya sebatas pendataan. “Mereka mengatakan ada bantuan ala kadarnya,” sebut Abdurrahim. Hingga kin, dia mengaku belum menerima bantuan dari pemerintah setempat.

Meminjam bantuan dari Bank, baginya sama dengan bunuh diri. Dia tak sanggup memikirkan bunga pinjaman yang diperoleh dari Bank. “Saya tak sanggup. Mengembalikan uang dengan bunga yang berlipat,” akunya.

Dia berharap, pemerintah kabupaten kota juang itu memperhatikan usaha kecil miliknya. Abdurahim terus bertahan menjalankan bisnis tersebut. Dibantu oleh lima orang tenaga kerja yang setia menemaninya, dia yakin bisnis itu tetap berjalan. Meskipun tak berkembang. Bisnis itu, kini butuh perhatian. Toh, dari bisnis itu juga, nama kota juang menjulang dengan sendirinya. [Masriadi Sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 05.45. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Keramik dari Kota Juang"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added