Perjuangan Kakek Husen Buat Cucu Tercinta
KULITNYA kelam. Urat-urat ditangannya menonjol, menunjukkan pria itu pekerja keras. Siang itu, dia sibuk membuat meja. Tangan kanannya memegang palu. Tangan kiri memegang paku. Sejurus dia terdiam. Mengamati hasil buatannya. Itulah rutinitas saban hari, M Husen (55 Tahun). Warga Desa Meunasah Geumata, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara itu tampak sibuk. ”Piyoh, peuna hai yang jet lon bantu (Silahkan masuk. Apa ada yang bisa saya bantu),” ujar Husen, dalam bahasa Aceh fasih.
Ayah dua orang anak ini bekerja siang malam untuk menghidupi tujuh orang cucunya. ”Ibunya cucu saya, sudah meninggal dunia. Jadi, anaknya saya yang membiaya pendidikannya,” ujar Husen.
Dengan kemampuan pas-pasan, Husen tentu pusing membiayai pendidikan sang cucu. Namun, tak jadi soal. Semangat pria paruh baya itu luar biasa. Saban hari, dia bekerja membuat meja untuk tambahan pondasi keuangan. Meja ukuran 20 x 120 centimeter. Meja ini biasanya di pesan oleh para pemilik warung kopi di Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara.
Hasilnya tak seberapa. Satu buah meja dijual Rp 120.000. Untuk menghemat pengeluaran bahan baku, Husen, mengumpulkan sejumlah papan bekas dari toko yang menjual Gypsun di desa itu. ”Meja ini harganya tak seberapa. Saya buat sendiri. Tapi, beginilah. Saya ingin cucu saya tetap sekolah,” ujarnya. Kenangnya melambung ke puluhan tahun lalu. Tahun 1990 silam, Husen, pernah bekerja sebagai buruh harian lepas pada perusahaan ExxonMobil. Saat itu, pendapatannya lumanyan. Mampu membiaya pendidikan putrinya sampai menjadi guru pada SD Negeri Karieng, Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara. ”Anak saya satu orang guru. Ya, itu pun masih honor. Yang satunya lagi kerjaannya tak menentu,” paparnya.
Cobaan datang ketika tahun 1995 silam dia diberhentikan dari ExxonMobil. Saat itu, penghasilan mulai tak menentu. Dia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan sulit didapat. “Susah cari pekerjaan. Saya hanya membuat meja. Ya, tak ada pilihan lain. Kecuali membuat meja,”sebut Husen.
Kini, setiap hari dia mampu menghasilkan empat buah meja. Pasarannya tak hanya pemilik warung kopi, tapi juga masyarakat sekitar di Kecamatan Lhokseukon. Penghasilan dari meja tentu tak cukup. Terkadang, Husen terpaksa menjadi burung bongkar muat barang di Toko Gypsun yang ada di desa itu. Dia juga menganyam atap rumbia. ”Saya juga upahan panjat pinang, panjat kelapa. Yang, penting bisa dapat uang halal,” sebutnya lirih.
Waktunya terkuras untuk masa depan sang cucu. Satu orang cucunya, sedang menimba ilmu di SMA Muhamadiyah Lhokseumawe, satu orang di MTs Negeri Lhokseukon, dua orang SD Negeri 4 Lhokseukon. ”Tiga orang lagi belum sekolah. Ini juga harus saya pikirkan,” paparnya.
Bulan Ramadhan dianggap berkah tambahan untuk Husen. Pasalnya, ketika bulan suci itu, Mie Goreng, menjual roti yang dibuatnya sendiri. Biasanya, laba berjualan itu dibelikan untuk baju lebaran sang cucu. Istrinya, Ramullah mengamini apa yang diceritakan Husen. ”Kami ini udah tua. Jadi, lebih bagus membesarkan cucu. Agar mereka mendapatkan kasih sayang sama seperti orang yang memiliki ibu. Ibu cucu saya, sudah lama meninggal dunia. Jadi, kami harus memberi apa yang dibutuhkan cucu. Ini bakti kami sebagai kakek,” pungkas Ramullah. [masriadi sambo]