15 Desember
DULU, kita jauh. Tak sama, dan tak dekat sama sekali. Dulu, waktu menjadi penghalang. Kutabung uang ribuan, untuk meneleponmu. Butuh waktu satu minggu menabung, baru bisa mendengar suaramu. Katamu, tak apa, toh kamu mencintaiku. Tapi, ketika aku hadir di depan mu. Kamu berpaling. Seolah tak kenal sama sekali. Membuang wajah, Seakan aku najis yang bau. Jijik untuk mendekat. Ya, aku bukan siapa-siapa. Hanya mahasiswa pengangguran, semester awal. Aku anak kampung, yang mencoba keberuntungan di kota.
Waktu berputar empat tahun kemudian. Aku sudah melupakanmu. Aku membuang muka bila melihat kamu. Ngilu menusuk jantung, bila melihat senyum sumringahmu. Kuhentikan mencari informasi tentangmu. Kuhentikan semua kenangan. Membungkusnya dan meletakkan di langit, bila bulan terang, aku hanya mengenangmu. Tak ingin berpikir, mencari, lebih-lebih memilikimu.
Sontak nafasku ingin berhenti, ketika satu siang, di awal September membaca pesan singkat. ”Ini Iros. Cuman mau minta maaf. Karena tau, Iros banyak salah sama kamu,” kalimatku tertera jelas di layar hanphone. Tak percaya aku pada mataku yang minus ini. Aku pastikan lagi, benarkah itu kamu.
”Ya, ini Iros. Emang, banyaknya Iros yang dikenal,” jawabmu.
Wah, aku mengenal beberapa perempuan bernama sama. Jujur, awalnya, aku berpikir itu bukan kamu. Tapi, aku merasa tak ada yang salah. Hanya, waktu yang salah. Mempertemukanku denganmu ketika aku tak memiliki apa-apa. Tak punya pekerjaan, lebih-lebih uang yang berjubel.
Hatiku goyah. Ditengah seluruh kesibukanku, aku masih menerima layanan sms-mu. Menemuimu sekali waktu. Katamu, kamu suka pantai itu. Ya, pantai dimana kita kenal, sepuluh tahun lalu. Pantai yang membuatku suka dan amat tergila padamu. Pantai itu pula menjadi tempat favoritmu. Katamu, sekadar membuang suntuk dan penat dengan rumus-rumus teknik sipil.
”Baru aja duduk, udah ada yang telepon. Sibuk sekali ya Pak,” katamu, ketika kita duduk kembali di pantai itu.
”Kalau aku sibuk, mana mungkin aku duduk dengan kamu. Mana mungkin pula, aku bisa ada waktu bersamamu,” jawabku sekenanya.
Waktu berputar begitu cepat. Aku pikir, hatiku harus jujur. Aku tak mungkin menipu diri. ”Aku sayang kamu,” kataku.
”Aku udah punya pacar. Masalahnya tak sesederhana itu. Aku mencintai pacarku. Kami pacaran sudah lama. Aku sangat mengasihinya. Semua waktu dan pengorbananku sudah banyak,” jawabmu.
”Ya, jika kamu berubah pikiran. Kamu bisa hubungi aku. Ulang tahunku, aku tunggu kamu,” kataku. Berlalu meninggalkan mu. Ya, membiarkanmu menikmati pantai. Entah memikirkanku, atau memikirkan pacarmu.
Tapi jujur, perasaan tak pernah bohong. Aku merasa kamu tak akan kembali. Aku punya firasat itu. Dan, aku bersyukur pada Tuhan, firasatku tak pernah salah. Kalau salah pun hanya dua puluh persen.
”Ah, kamu ini seperti paranormal,” jawabmu.
Aku tau kamu galau untuk memilih. Kamu ingin segera menikah. Sedangkan aku, berpikir sebaliknya. Menikah bukan soal hati saja. Tapi, juga soal mempersatukan dua keluarga, yang berbeda adat dan budaya.
”Kalau tak ada kepastian, Iros tak mau,” ujarmu, di satu sore, ketika senja mulai temaram. Teh dan pisang goreng hangat di atas meja, menjadi santapan yang seharusnya lezat menjadi hambar. Aku tak bisa nikmati sore itu dengan nyaman. Sodoran pertanyaan menikah tak mudah dijawab, hanya dalam hitungan menit. Bahkan, tak akan bisa kujawab dalam delapan bulan sekali pun. Ini soal dua keluarga. Bukan hanya soal cinta seperti cintanya para anak baru gede (ABG).
***
”Dim, kamu jangan beri waktu gitu sama dia. Dia tak bisa memilih. Dia butuh waktu,” kata Tri temanmu.
”Ya, aku juga tak bisa memberi waktu banyak. Hidup adalah pilihan Tri. Kalaulah dia memilihku, syukur. Kalau tidak, ya artinya aku bukan orang yang dicintai. Dan, aku siap untuk itu. Cinta sejati itu cuman untuk satu orang Tri. Mungkin, aku tak masuk kategori itu dari dia,” jawabku.
Keesokannya, matahari memuncratkan cahaya surga. Indah sekali. Penatku pagi ini seakan hilang. Umurku sudah bertambah. Kata orang-orang memang sudah layak menikah. Sudah 24 tahun. Tapi, ya, butuh waktu untuk memikirkan persoalan sakral, menikah.
Kuhubungi beberapa teman dekat untuk menghadiri syukuran ulang tahunku. Ya, hanya teman yang kuanggap dekat. Teman yang memberi kontribusi berbagai bidang. Di pantai itu, pantai tempat aku bertemu kamu, di situ aku ingin mengakhiri semua masa keraguanku. Masa pembuktian, apakah kamu memang milikku. Aku undang kamu, dua hari sebelum ulang tahunku.
”Insya Allah, aku hadir,” katamu. Jawaban ini kupikir akan mematahkan firasatku. Namun, ketika jarum jam berdentang dua belas kali, siang itu, aku tak melihat batang hidungmu, senyummu, dan kamu. Yang ada, hanya teman-temanku. Aku berusaha tersenyum. Seakan bahagia. Dan, saat itu aku pikir, bahwa kamu telah tiada. Aku tak akan berharap lagi.
Ya, 15 Desember ulang tahunku. Kamu tak hadir, dan aku tak bisa berkata apa-apa.
Sebulan sudah waktu itu berlalu. Aku bahkan sudah tak ingat kamu lagi. Namun, malam ini, entah mengapa kamu menghubungiku. Merasa terganggu, ya. Tapi, dilain sisi, aku juga kangen kamu. Ya, perdebatan batin dan prinsip. Kamu katakan, hubunganmu dengan pacarmu telah berakhir. ”Dim, aku tak bisa menahan semua ini. Baru-baru ini hubunganku berakhir. Aku sedih,” katamu.
Ah, ada apa ini. Malam ini, aku tak bisa tidur. Aku memikirkanmu. Bajingan benar lelaki yang menyakitimu. Tapi, itu pilihanmu. Hidup adalah pilihan. Dan, aku bukan siapa-siapa, tak memiliki apa-apa. Kegalauan membekapku. Inikah cinta? Entahlah. [Masriadi Sambo]
Markas Biru, 18 Januari 2009