MOST RECENT

|

Terkungkung di Tenda Pengungsian


SAIFUL terlihat menikmati mi instan mentah di tenda pengungsian, di lokasi Kesatuan Pengamanan, Perairan, dan Pelabuhan (KP3), Lhokseumawe. Wajahnya tampak lesu. Matanya sedikit memerah, memperlihatkan keletihan.

Tiba-tiba, senyuman Saiful menyeruak ketika Independen menghampirinya, Jumat pekan lalu. Saiful menghentikan kunyahannya. “Beginilah. Sudah dua minggu saya di tenda ini,” ujar dia lirih, ketika lelaki berusia 35 tahun itu membuka kisah pilunya.

Saiful merupakan satu dari sekian korban abrasi pantai dari Desa Kampung Jawa Lama, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Ketika musibah datang, Saiful baru saja pulang. Ayah seorang putra ini bekerja sebagai penarik becak dayung di pusat kota.

Matanya menerawang, mengenang pilu dua pekan lalu. Sesampainya di rumah dengan keringat di tubuh belum kering, Saiful mendengar dentuman keras di dinding rumah kayunya. Gelombang laut silih berganti menghantam.

Saiful tak berpikir panjang. Lelaki itu langsung merangkul dan melarikan anak serta istrinya keluar rumah. Lima menit kemudian, rumah itu pun rubuh diterjang pasang purnama. Ia hanya bisa menyaksikan tempat berlindungnya tergerus ombak laut.

Sejak saat itu pula, Saiful mengungsi ke KP3 bersama 10 kepala keluarga (KK) lainnya. Dua tenda ukuran lima kali 10 meter dijadikan tempat berteduh. Tenda tanpa pembatas. Mereka tidur, berbaur satu sama lain.

“Kalau sembako masih memadai hingga tiga hari ke depan. Tapi, kami kesulitan minyak tanah. Beginilah nasib kami,” papar Saiful. “Kalau kami tak ada tempat tinggal sama sekali. Ya, terpaksa bertahan di sini. Tapi hingga kapan, saya tidak tahu.”

Tujuh KK korban pasang purnama senasib dengannya telah pulang. Mereka tidak kehilangan rumah. Rumah mereka rusak parah dan ringan. Masih bisa diperbaiki. Berbeda dengan Saiful. Rumahnya amblas bersama gulungan ombak.

Saiful tidak terkungkung sendiri. Fauzi dan M Yusuf juga senasib dengannya. Rumah mereka hancur total akibat abrasi. Tak ada tempat sama sekali.

Bagi Fauzi, rumah hancur itu sekaligus sebagai tempat pencari rezeki. Dia membuka warung kopi kecil-kecilan. Ayah empat anak ini, kini tak memiliki usaha lagi. Dia bingung harus bagaimana. “Beginilah nasib saya,” ujar Fauzi.

Saiful, Fauzi maupun M Yusuf belum tahu lokasi membuat rumah. Masalahnya mereka tak memiliki uang sesen pun. Di sisi lain, mereka mulai tak tahan menetap di bawah tenda hijau. Pengap dan panas sekali saat siang hari. Dingin di kala malam.

“Kami harap pemerintah membuatkan rumah. Kalau bisa lokasinya tak jauh dari kota. Karena, orang seperti saya, bekerja sebagai penarik becak. Kalau dipindahkan ke gunung, mana ada kerjaan saya di sana,” timpal Saiful.

Pemerintah Kota Lhokseumawe berencana mendirikan rumah bagi korban abrasi. Namun, belum dapat dipastikan lokasi pembuatan rumah itu. “Pemerintah kota akan berusaha memindahkan warga. Namun, lokasinya saya belum tahu,” sebut Kepala Humas Pemko Lhokseumawe M Nasir Ali.

Saiful, Fauzi, M Yusuf serta korban abrasi lainnya terus berharap. Mereka tak betah, terkungkung di bawah tenda pengungsian. Tenda yang tak pernah mereka impikan selama hidupnya. “Kami berharap segera direlokasi,” kata mereka penuh harap. [masriadi sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 01.00. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Terkungkung di Tenda Pengungsian"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added