Ketakutan Jelang 13 Juni …
UN telah berlangsung. Kini siswa menunggu pengumuman. Harap-harap cemas. Lulus atau tidak. Karena, UN dianggap monster pendidikan.
***
“Ah, binggung bang. Entah lulus, entah tidak.”
Kalimat itu meluncur deras dari bibir dara cantik, Lasti Dewi (18 Tahun). Siswi SMA Negeri 1 Lhokseumawe itu kini menunggu hasil pengumuman Ujian Nasional (UN) direncanakan 13 Juni mendatang. Lasti satu dari 265.925 orang siswa yang gelisah di Aceh. Tidur pun tak nyenyak. Maklum, orang tua ingin melanjutkan pendidikannya ke luar Aceh. “Saya ingin masuk ke Universitas Indonesia. Ambil jurusan hubungan internasional. Jadi, kalau tak lulus, wah tak tahu harus bagaimana lagi,” ujarnya binggung.
Raut wajahnya memerah. Tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Ujian Nasional untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) telah berakhir, Jumat lalu . Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) UN akan dilangsungkan 27-30 April 2009.
Wajar saja, untuk tahun ini, Departemen Pendidikan Republik Indonesia, menyatakan peserta UN apabila memenuhi standar kelulusan, yakni memiliki nilai rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4, 25 untuk mata pelajaran lainnya. Khusus SMK nila mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00.
Berbagai cara pun dilakukan agar bisa lulus ujian yang dianggap monster pendidikan itu. Dari kursus tambahan mata pelajaran, hingga menggelar do’a bersama. Di Aceh utara, sebelum UN digelar, siswa menggelar do’a bersama di Keucamatan Geureudong Pase, dan Kecamatan Simpang Keuramat. Kegiatan serupa digelar ketika UN SMP akan dilaksanakan.
“Semua cara sudah saya lakukan. Dari belajar tambahan, sampai rajin-rajin berdo’a dan minta tolong sama Allah. Namun, hasilnya nanti entah bagaimana ini,” kata Yusna, siswi SMA Negeri 1 Matangkuli, Aceh Utara.
Orangtua murid juga gelisah. Rosniati (50 Tahun), warga Desa Kampung Jawa Baru, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe menyebutkan dia khawatir putri semata wayangnya, Cut Anggi tidak lulus UN. “Dia itu harapan keluarga satu-satunya. Kalau tidak lulus, bagaimana. Saya binggung sendiri sekarang. Anak saya siswa SMK 2 Lhokseumawe,” ujar Rosni.
Buruk Rupa Pendidikan
Data Dinas Pendidikan NAD menyebutkan, tingkat kelulusan siswa-siswi sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (MTs) pada ujian nasional tahun lalu mencapai 84,55 persen atau 63.946 orang dari 75.624 orang peserta. Di tingkat sekolah menengah atas/Madrasah Aliyah jurusan bahasa, tingkat kelulusan hanya mencapai 72,85 persen atau 212 dari 291 peserta.
Tingkat kelulusan siswa SMA/MA jurusan ilmu pengetahuan alam mencapai 82,14 persen atau 5281 orang dari 6429 peserta. Sementara untuk jurusan IPS di jenjang pendidikan yang sama, tingkat kelulusan hanya mencapai 67,11 persen atau 3467 orang dari 5166 orang peserta.
Sedangkan untuk tingkat sekolah menengah kejuruan, tingkat kelulusan mencapai 68,89 persen atau 5094 orang dari 7394 orang peserta. Tahun lalu, untuk kelulusan SMA Provinsi Aceh berada pada urutan 24 dari 33 provinsi di Indonesia. Sedangkan untuk SMK, menempati posisi paling buruk, yaitu urutan terakhir dari 33 provinsi. “Tahun lalu SMK paling buruk angka kelulusannya. Jadi, ini tidak boleh dibiarkan. Kita targetkan tahun ini lulus 90-an persen pelajar sekolah menengah itu bisa lulus. Kita harus bangkit dari keterpurukan pendidikan,” ujar wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, ketika meninjau pelaksanaan UN di Banda Aceh.
Nazar menyebutkan saat ini Aceh harus bangkit dari keterpurukan pendidikan. “Harus meningkatkan mutu lulusan. Sehingga, kita bisa bersaing dengan provinsi lainnya,” terangnya. Nazar optimis, angka kelulusan tahun ini bisa ditingkatkan. Pasalnya, dinas pendidikan telah melakukan up grade kemampuan guru mata pelajaran yang diujikan secara nasional, yaitu Bahasa Indonesia, Mate-matika dan Bahasa Inggris.
Guru pun Menolak
Meski wakil gubernur optimis angka kelulusan bisa ditingkatkan, namun di lapangan para guru khawatir terhadap kelulusan siswanya. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Lhokseumawe, Zulkifli, tidak berani mematok angka kelulusan 100 persen. Meski tahun lalu, siswa di sekolah dinyatakan lulus 100 persen. “Tidak berani saya mematok angka tinggi. Takut tidak lulus nanti, saya yang malu,” katanya.
Dia menyebutkan, dirinya hanya berani mematok angka 80 persen kelulusan. Pasalnya, standarisasi sekolah tidak berbanding lurus dengan fasilitas pendidikan di Indoensia. Masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Selain itu, tenaga pengajar juga kesulitan mendapat bahan ajar yang memadai. Al hasil, ketika UN digelar, kekhawatiran memuncak. Takut, anak didik tak bisa melewati ujian standar nasional itu.
Baharuddin, guru pada MTs N Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, menolak UN. Dia mengatakan, fasilitas sekolah tidak sama diseluruh Indoensia. “Hapuskan saja UN. Tidak mungkin bisa disamakan fasilitas dan mutu antara Jakarta, Aceh dan provinsi lainnya,” ujarnya kesal.
Dia menyebutkan siswa yang cerdas pun bisa tidak lulus pada ujian nasional itu. Bahkan, siswa yang bandel, dan tidak cerdas bisa lulus. “Mengapa yang cerdas tak bisa lulus. Ada siswa yang bodoh bahkan bisa lulus. Ini karena kecurangan pada UN. Banyak soal yang bocor sebelum sampai ke sekolah,” kata Baharuddin.
Dia menyarakan system ujian kembali pada masa lampau. Dinilai oleh guru. “Soal boleh dibuat Jakarta. Tapi, penilaian silahkan di provinsi. Tim penilai tentu harus obyektif dan bersih. Jangan main sogok dan bocorkan soal,” katanya.
Karena mutu pendidikan setiap provinsi berbeda, maka soal patut dibedakan pula. “Standarisasi harus dibedakan. Tak mungkin disamakan. Nah, untuk dewan yang baru nanti, harap serius menolak UN ini. Bisa tak bermoral semua alumnus sekolah, kalau UN terus diberlangsungkan. Karena, mereka lulus dari bocoran soal. Bocornya kunci jawaban dan lain sebagainya. Mereka lulus bukan karena kemampuan. Namun, karena bocoran kunci jawaban. Baharuddin berrpendat, kunci jawaban pasti bisa bocor. Karena, sebagian siswa adalah anak dari pejabat daerah. “Tolak UN,” tegas Baharuddin.
Penolakan terhadap UN telah berlangsung sejak dua tahun lalu. Masyarakat sipil menilai UN bukan system yang tepat untuk memberlakukan standarisasi pendidikan. UN boleh dilakukan, bila semua sekolah di Indonesia memiliki kuwalitas guru, fasilitas sekolah, dan mutu yang sama. Jika tidak, UN tetap menjadi monster pendidikan, ditakuti murid, orangtua, dan guru. [dimas/igadeng]
Baca Tabloid Peuneugah Aceh, Edisi 4/2009