Ketua MAA : Pakaian Adat Identitas Aceh
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman menyarankan agar pelantikan anggota dewan yang baru mengenakan pakaian adat Aceh. Menurutnya, pakaian itu, khas dan mencerminkan ke-Aceh-an
“Zaman kerajaan dulu, sultan menerima para tamu dari berbagai negara dengan berbagai macam pakaian pula. Nah, kemudian ketika melihat ada pakaian-pakaian yang menarik maka diadopsinya model pakaian tersebut,”ujar Badruzzaman.
Baju Aceh itu memang indah. Manusia kodratnya menyukai keindahan. Hadih maja ta takot keu angkatan, ta malee keu pakaian (rakyat takut kepada angkatan atau penguasa yang mempunyai angkatan perang tetapi kita malu kepada pakaian yang kita kenakan). “Artinya pakaian adalah menunjukkan strata atau harga diri orang Aceh,”jelasnya.
Maka pakaian pun diatur oleh manusia. Jika ke sawah, cukup pakaian seadanya, karena pasti akan terkena lumpur. Begitu juga dengan acara resmi kebesaran, ditentukan acara apa yang memakai kupiah Meukeutop, kapan pakai Siwah, kapan memakai motif pucok rambong. ”Pakaian khas tidak boleh dipakai sembarangan, bukan karena alasan berdosa, tetapi dalam rangka memelihara adat. Sesuaikan dengan tempat, nilai dan aturan. Saya setuju, agar anggota dewan baru mengenakan kembali baju adat pada acara resmi,”terangnya panjang lebar. Memakai pakaian adat menguatkan identitas dan kebanggaan sebagai orang Aceh.“Kami secara institusi terus mendorong penerapan kembali nilai-nilai budaya dalam setiap kesempatan,”katanya.
Mantan gubernur Aceh, Ibrahim Hasan pernah mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) mengenakan pakaian batik Aceh khusus hari Jumat. Lalu, dia juga mengintruksikan agar kantor bupati di Aceh menyerupakai rumah adat Aceh. Lalu, mengapa semua tradisi itu dihilangkan. Badruzzaman menghimbau agar parlemen baru nanti, mau merubah tata tertib pelantikan anggota dewan. Mengganti jas, dengan baju adat khas Aceh, lengkap dengan kupiah meukeutop. Saatnya melestarikan tradisi di gedung wakil rakyat. [nizar]
Baca Tabloid Peuneugah Aceh, Edisi 4, 2009