MOST RECENT

|

Carut-Marut Pembangunan Kereta Api

Pembangunan kereta api telah berlangsung sejak dua tahun lalu. Hingga kini, belum jelas kapan akan beroperasi. Pembangunan rel belum rampung. Bahkan, tak ada koordinasi pembangunan rel dengan pemerintah kabupaten/kota. Inilah potret buruk, pembangunan tanpa perencanaan yang matang.


SIANG itu, Sabtu (1/8) mendung menggantung di langit Desa Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Sejumlah anak-anak bermain di sekitar gerbong kereta api. Lima gerbong plus satu gerbong masinis telah dipajang di situ. Sekitar 100 meter dari pusat Kedai Krueng Geukuh. Disitulah direncanakan terminal persinggahan untuk kabupaten Aceh Utara. Gedung terminal sudah rampung. Namun, masih kosong. Tak ada mobiler di dalam gedung itu. Ruang itu pun terlihat jorok.

Gerbong itu dikhawatirkan menjadi besi tua. Pasalnya, pembangunan rel kereta api hingga kini belum rampung. Saat ini, pembangunan rel baru memasuki kawasan Cunda, Kota Lhokseumawe. Pembangunan rel kereta api (KA) ini terkesan dipaksakan. Pembangunan itu tidak melihat sisi kepentingan masyarakat. Bahkan, tidak ada sosialisasi terhadap rencana pembangunan rel kereta api pada masyarakat di lintasan rel.


“Kami tidak pernah tau tentang pembangunan rel. Tiba-tiba sudah dibangun. Seharusnya ini didiskusikan dulu,” kata salah seorang pedagang di Keudai Krueng Geukuh, Aceh Utara, Musyawir. Pembangunan rel di daerah itu memang melintasi arena pedagang kaki lima di Keudai Krueng Geukuh. Otomatis, pedagang pun harus pindah. Ini secuil kisah tentang pembangunan rel yang merugikan masyarakat.

Cerita lainnya, terjadi di Desa Batuphat Barat, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. Masyarakat desa itu, pernah menggelar demonstrasi menolak pembangunan rel KA, 5 Nopember tahun lalu. Masyarakat menggelar demo ketika truk pengangkut besi dan batu meletakkan material pembangunan rel. Mereka meminta agar satuan kerja (Satker) Kereta Api, pada Dinas Perhubungan Provinsi Aceh, membangun jalan alternatif di sekitar itu.

“Kita sudah buat perjanjian dengan dinas perhubungan, soal pembangunan jalan alternatif untuk desa ini. Waktu itu, mereka meng-iyakan. Tapi, sekarang tidak dilakukan. Bahkan, sampai sekarang juga belum ada realisasi janji itu,” terang, Sarbento (45 tahun) kepada Kontras. Surbento pula yang menjadi juru bicara pada aksi itu.

Dia menyebutkan, perjanjian membangun jalan alternatif dihadiri Dinas Perhubungan Kota Lhokseumawe, Dinas Pehubungan Provinsi Aceh, Camat Muara Satu, perusahaan jasa kereta api (PJKA) dan geuchik Batuphat Barat, Blang Pulo, Batuphat Barat, dan Meuria Paloh pada tanggal 12 Agustus tahun lalu di aula kantor camat setempat. Setelah demontrasi digelar, Camat Muara Satu, Tarmizi, pun kembali menggelar rapat. Saat itu, tim PJKA, dan Satker Kereta Api datang. Mereka berjanji akan membangun jalan alternatif yang diminta warga tahun ini. Namun, sampai saat ini pembangunan jalan alternatif itu belum juga direalisasikan.



Camat Muara Satu, Tarmizi mengakui hingga kini belum ada pembangunan jalan alternatif. “Kami belum tau sampai sekarang. Berdasarkan perjanjian, dalam tahun 2009 ini akan di bangun jalan untuk masyarakat. Jalan ini penting, karena ini kawasan permukiman penduduk yang sangat padat. Jika tidak, dikhawatirkan, bila terjadi kebakaran, masyarakat tak bisa menyelamatkan diri. Karena, jalan utama sudah digunakan untuk rel KA,” terang Tarmizi.

***

Koordinasi Pembangunan Rel Buruk


Koordinasi pembangunan rel KA ini pun sangat buruk. Dinas Perhubungan di kabupaten/kota pun tidak mengetahui rencana strategi pembangunan rel itu. Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Lhokseumawe, Zulkifli mengaku tidak mengetahui rencana pembangunan itu. Dia mengatakan, sampai saat ini satu lembar surat pun tidak dikirimkan Dinas Perhubungan Provinsi Aceh pada kabupaten/kota. Untuk Lhokseumawe, menurut tercatat 20 kilometer jalan dilintasi pembangunan rel tersebut.


“Kami tidak tahu detailnya. Saya sendiri tidak pernah diajak duduk, rapat atau lain sebagainya. Mereka (Dinas Perhubungan Provinsi Aceh) hanya kerjakan sendiri. Kami tidak diberi tahu berapa meter, siapa kontraktornya, dan lain sebagainya. Entah karena ini proyek nasional, entah karena apa, nggak mengerti saya,” kata Zulkifli.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Aceh Utara, Balisyah, menyebutkan rapat koordinasi pembangunan rel KA dilakukan empat tahun lalu di Banda Aceh. Waktu itu, pembangunan rel KA baru pada tahap perencanaan.

“Kami di undang Pak Azwar Abubakar, masih menjabat Pj Gubernur Aceh. Waktu itu, rapat koordinasi tahap awal. Setelah rapat itu, kami tidak pernah diundang dan diberitahu tentang pembangunan kereta api,” kata Badli.

Badli dan Zulfkili, hingga saat ini tidak pernah tau sejauhmana realisasi pembangunan KA. “Kami tidak tau apa pun. Bahkan, saya tidak tau, sejauhmana rel itu. Berapa meter, apa saja yang akan dibangun. Semua saya tidak tau,” kata Badli.

Buruknya koordinasi pembangunan rel ini juga bisa dilihat tidak adanya koordinasi dinas terkait pada level provinsi. Dinas Perindustrian, Koperasi dan Perdagangan (Disperindagkop) tahun 2008, membangun 60 kios untuk pedagang buah di Kecamatan Baktiya. Pembangunan itu berada di atas lintasan rel dan tanah milik PJKA.

Untuk membangun kios itu, Disperindagkop Provinsi Aceh mengucurkan dana sebesar Rp 2 Miliyar. Sampai saat ini, kios itu belum difungsikan. Ini pula membuang salah seorang anggota DPRK Aceh Utara, Hamdani AG, kesal. Dia menyesalkan tidak ada koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten.

“Itu tanahnya milik PJKA. Dibangun di atas lintasan rel. Kalau rel di bangun di situ, otomatis kios itu harus di bongkar. Dinas provinsi harusnya berkomunikasi dengan dinas di kabupaten. Sehingga, pembangunan lebih bermanfaat pada rakyat,” terang Hamdani AG.

Masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota dihadapkan pada dilema. Menolak pembangunan rel sudah kepalang tanggung. Sejak awal, masyarakat sipil menolak dibangun rel KA yang menghubungkan Aceh-Medan, Sumatera Utara ini. Meski begitu, tak ada cara lain. Koordinasi pembangunan harus dibenahi. “Stop dulu pembangunan rel kereta api. Karena, konflik di kalangan masyarakat larinya ke kami. Kami yang menanganinya. Sedangkan, dinas provinsi tidak. Koordinasi penting untuk melanggengkan pembangunan,” kata Kepala Dinas Perhubungan Lhokseumawe, Zulkifli.

Kritikan tajam bahkan digelontorkan Dinas Perhubungan Aceh Utara. Dia menyebutkan, perlu pemindahan jalur rel kereta api. Artinya, tidak lagi mengikuti jalur sebelumnya. “Kalau ikut jalur sebelumnya. Banyak pembangunan yang sudah dilakukan terbuang percuma. Di Aceh Utara, yang sudah terlihat di Baktiya. Semua kios itu akan terbuang percuma,” terang Badli. Dia menyerankan, alangkah baiknya, jalur rel itu dipindahkan. Tidak lagi menghubungkan antara Lhokseumawe-Medan. Namun, menghubungkan Lhokseumawe-Bener Meriah.
“Karena kalau di bangun ke pedalaman, saya pikir lebih bermanfaat,” terang Badli.

Pembangunan rel kereta api telah berlangsung sejak tahun 2008 silam di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Sampai saat ini, pembangunan rel belum rampung. Gerbong KA terancam berkarat, lebih parah. Terancam menjadi besi tua. Inilah kisah carut-marut pembangunan rel kereta api di Aceh. [masriadi/kontras]

Publis Oleh Dimas Sambo on 01.20. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Carut-Marut Pembangunan Kereta Api"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added