STOP PEMBAJAKAN !
Antara Nafsu Bisnis, dan Kebejatan Moral
Pembajakan terus terjadi di negeri ini. Dari Aceh hingga Papua. Sejumlah orang sibuk melakukan pembajakan. Antara kepentingan bisnis dan pelacuran karya. Itulah lakon yang dijalankan oleh para pelaku pembajakan karya intelektual, seperti industri musik, dan lain sebagainya. Hal ini meresahkan pelaku seni di Aceh.
DENTUMAN musik mengalun keras di Jalan Perniagaan, Kota Lhokseumawe. Lebih dari 20 pedagang video compact disk (VCD) bajakan berada di kiri-kanan jalan. Suara musik hingar-bingar. Umumnya aliran musik yang diputar house, ada pula lagu Aceh dan pop alternatif dari band-band nasional yang sedang naik daun.
Jika melintas di jalan itu, maka sulit untuk menikmati lagu yang mengalun. Terkesan berisik. Tidak nyaman. Memutar musik dengan gaya serupa juga diikuti pedagang kaset pada sejumlah toko kaset di kota itu. Tren menghidupkan musik sekeras-kerasnya itu bertujuan untuk menarik perhatian pembeli.
Pembeli pun berjubel memadati pedagang kaset bajakan itu. Pembeli bukan hanya tergolong kaum berkantung tipis, namun sebagian mereka juga berkantung tebal. Bisa dilihat dari mobil-mobil mewah dan mengkilap yang parkir di dekat para pedagang kaset. Artinya, pembeli kaset bajakan bukan hanya berlatar belakang rendah, sebagian diantara mereka berpendidikan tinggi dan kaum intelektual.
Semua kelompok usia terlihat berjubel. Harga jual relatif murah membuat mereka tak berpikir panjang. Mereka tak menghargai kekayaan intelektual si pencipta lagu dan penyanyinya. Ini pula yang membuat industri musik di Indonesia lebih khusus di Aceh susah bangkit ke permukaan. Harga per keping VCD bajakan hanya Rp 5.000. Jauh lebih murah dibanding harga VCD original mencapai Rp 25.000-Rp 30.000 per keping.
“Kami membeli karena harganya lebih murah. Kuwalitas musiknya juga tak jauh berbeda. Hanya video klipnya saja yang terkadang tak sesuai dengan aslinya,” ungkap salah seorang pembeli yang ditemui, Mansurdin, akhir pekan lalu.
Ucapan Mansurdin ada benarnya. Kemajuan teknologi membuat para pembajak kekayaan intelektual ini mudah berkreasi. Kuwalitas bajakan dan kaset original sulit dibedakan. Bahkan, ada pula kaset bajakan yang musik dan video klipnya asli. Layaknya VCD original.
“Ngapain membeli yang asli. Jika kuwalitasnya beda tipis. Kalau bajakan murah dan meriah,” tambah Mansurdin lagi. Bukan hanya kaset lagu saja yang dibajak. Produk industri rekaman lainnya seperti film pun tak luput. Bahkan, film komedi Aceh yang fenomenal itu, empang breueh, pernah dibajak satu hari setelah lonching resmi film tersebut. Harga tentu jauh dibawah harga label asli.
Ini jelas membuat para sineas dan seniman kebakaran jenggot. Jika melihat motifnya, pasti upaya pembajakan ini bukan hanya dilakukan dari Medan, Sumatera Utara. Namun, tampaknya pembajakan juga dilakukan di Aceh. Hal ini merujuk kasus pembajakan film empang breueuh seri empat. Tidak mungkin si pembajak berada di luar Aceh, bila kaset bajakan itu telah beredar satu hari setelah laonching resmi film tersebut.
Seniman Dirugikan
Aksi pembajakan ini merugikan sejumlah seniman dan sineas di Aceh. Ini menjadi bola panas industri seni di Aceh. Maklum, honor sineas dan seniman Aceh belum seberapa. Mereka belum menikmati royalti besar layaknya pemusik tanah air.
Peredaran kaset pun hanya di Provinsi Aceh. Sangat sedikit yang beredar di luar pulau yang menerapkan hukum syariat Islam itu. Jika pun ada yang beredar ke pulau Jawa, umumnya kaset itu di bawa oleh mahasiswa, yang menimba ilmu di Pulau Jawa. Jumlahnya sangat terbatas. Masih di bawah 50 keping.
“Jelas kami yang dirugikan. Semua seniman tidak nyaman dengan adanya kaset bajakan itu. Karena, jika kaset asli yang terjual. Honor kami bertambah,” ujar salah seorang artis Aceh, Ricky Sabil akrab disapa Bang Raja.
Umumnya, sebut Ricky pembelian karya seni oleh para produser di Aceh dengan menggunakan sistem beli putus. Sistem ini merupakan pembelian per lagu. Jika album ini meledak di pasaran, maka yang diuntungkan si produser. Sedangkan penyanyi hanya menerima honor lagu di awal. Sangat sedikit produser yang menerapkan sistem royalti pada industri musik di Aceh. Sistem royalti merupakan sistem yang mengundungkan pekerja seni. Jika produk itu laris-manis di pasaran, maka si pencipta, penyanyi berhak mendapatkan royalti per sekali produksi. Umumnya, royalti ini sebesar 20 persen. Ada pula yang menawarkan 10 persen.
“Kalau sistem beli putus. Itu tidak menguntungkan para penyanyi atau pencipta lagu. Namun, sangat menguntungkan produser jika kaset yang dilepas laris-manis,” sebut Aristia, penyanyi lainnya.
Nafsu Bisnis
Sementara itu, di tempat terpisah, Manajer Pusat Informasi dan Pengembangan Bisnis (Pinbis) Lhokseumawe, Sutan Febriansyah menilai pelaku pembajakan kaset dan karya seni di Aceh cendrung berorientasi bisnis semata. Dia menyebutkan, para pelaku pembajakan itu tidak pernah berpikir soal dampak hukum yang ditimbulkan dari aksi pembajakannya itu. Selain itu, Sutan menyebutkan, keuntungan dari bisnis kaset bajakan ini sangat menggiurkan. “Jika di produksi dalam jumlah kecil saja, untuknya 50 persen, misalnya, harga kaset kosong itu sebesar Rp 2.000 per keeping. Lalu di burning dengan menggunakan computer dan program tertentu. Kamudian, dibuat label sedikit, cukup discan dan diprint pada kertas mengkilap. Maka cover itu akan tampak seperti aslinya. Biaya produksi per keeping kaset bajakan itu saya pikir hanya Rp 3.000. Harga jual Rp 5.000 per keeping. Masih untung kan,” terang Sutan.
Penelurusan Kontras ini, untuk kaset artis nasional memang dijual Rp 5.000 per keping. Namun, untuk VCD lagu Aceh dan film Aceh tidak jarang kaset bajakan itu dijual mencapai Rp 20.000 per keping.
“Nah, kalau dijual sesuai dengan harga cover aslinya, maka laba si pembajak kaset ini akan lebih besar. Ini bisnis mudah, murah, dan laba besar. Namun, ini bisnis haram,” kata Sutan yang juga dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bumi Persada Lhokseumawe.
Padaha, sebut Sutan, Indonesia telah mengesahkan hak kekayaan intelektual dengan disahkannya UU No 19/2002 tentang hak cipta. Produk hukum itu mengancam bagi pelaku pembajakan maksimal tujuh tahun penjara atau denda sebesar Rp 5 Miliyar.
“Tidak mungkin si pembajak kaset itu tidak tau ekses hukum tindakannya. Hukumannya menurut undang-undang itu bisa penjara. Mereka hanya pura – pura tidak tau,” tegas Sutan. Sutan menyebutkan tindakan itu merupakan kebejatan moral. “Kebejatan moral harus segera diatasi. Semua elemen seniman, kalangan produser, kalangan akademisi, harus melakukan sosialisasi hukum tentang hak kekayaan intelektual pada masyarakat. Atau melakukan gerakan bersama anti pembajakan dan stop pembajakan di Aceh. Ini penting, agar masyarakat kita tidak mau lagi membeli lagi kaset bajakan. Dengan begitu, maka pelaku pembajakan akan hilang dengan sendirinya, karena pasarnya sudah tidak ada,” terang Sutan.
Nilai Seni Rendah
Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA) Kota Lhokseumawe TM Zuhri memiliki pandangan lain. Dia menilai kuwalitas seni di Aceh terbilang rendah. Banyak music dan lagu yang dijual tidak original. Sehingga, kuwalitas musik pun dianggap remeh oleh para penikmat musik.
“Seniman kita masih banyak kekuaranga. Hal ini bisa dilihat rendahnya kuwalitas dalam bermusik. Banyak yang mengcopy-paste musik luar daerah, lalu diarasemen ulang dan diubah liriknya dalam bahasa Aceh. Ini juga tidak bagus. Ini membuat pembeli enggan membeli kaset original. Jika hanya begitu, konsumen pasti memilih kaset bajakan. Murah, dan meriah,” kata TM Zuhri.
Dia menyebutkan, aksi pembajakan saat ini memang sangat meresahkan. Seharusnya, lanjut TM Zuhri, aksi pembajakan itu menjadi inspirasi para seniman agar membuahkan karya yang lebih bagus, fenomenal, dan menarik minat dengar konsumen.
Saat ini, sebutnya, industri musik di Aceh memang belum begitu menjanjikan. Rata-rata para produser hanya berani memproduksi 10.000 keping VCD per album. Tidak jarang pula produser hanya berani memproduksi 5.000 keping. “Produser khawatir kaset itu tidak laku. Makanya dicetak sedikit. Kalau lagu bagus, mutu bagus, dan original. Pasti menjadi pertimbangan produser untuk mencetak banyak. Ini yang patut kita benahi bersama,” kata TM Zuhri.
Dia mengatakan, faktor lain membuat banyaknya aksi pembajakan kaset musik Aceh karena artis yang lahir terlalu banyak. Para artis ini bahkan tidak mengikuti proses mencapai sukses. Dia mengungkapkan, banyak artis yang mencapai kepopuleran dengan merogoh kocek sendiri. Membayar semua biaya produksi.
“Banyak cara meraih popular. Namun, kalau caranya begitu, saya khawatirkan kuwalitasnya. Sehingga,sangat sulit menikmati music Aceh yang original dan baru. Tidak copy-paste dari musik karya orang lain,” terang TM Zuhri,
Dia menyarankan, agar penyanyi, seniman, dan produser di Aceh berani tampil beda dalam bermusik. “Kreatif, sehingga nilai music semakin tinggi. Dan, masyarakat pun tak merasa rugi bila mengeluarkan uang lumayan besar untuk membeli kaset mereka (penyanyi, dan pencipta) lagu itu,” kata Zuhri.
Perlu Aksi Polisi
Untuk memberangus aksi pembajakan VCD dan karya seni lainnya di Aceh diperlukan peran aktif aparat kepolisian. Aksi pembajakan ini bukan hanya dialami seniman di Lhokseumawe, namun seluruh daerah lainnya di Aceh juga mengalami hal yang sama. Untuk itu, Polisi tampaknya perlu bertindak tegas. Membongkar pembajak kaset di Aceh. Selain itu, peningkatan kuwalitas dalam bermusik dan kampanye anti pembajakan perlu dilakukan serempak ke seluruh Aceh. Ini menjadi harapan Ricky Sabil, Aristia dan TM Zuhri. Pekerja seni menunggu aksi Pak Polisi. Karena, pembajakan adalah tindakan melanggar hukum, pembajakan tindakan tercela. Untuk itu, mari teriakkan stop pembajakan karya seni Aceh. [masriadi/kontras]
salam kenal ni bang....kalau bisa di add / di keluarkan pengikutnya bang..karena saya mau ikut di blog abang ni..salam kenal ya..