OPINI

Memaknai Maulid Nabi

Oleh : Tgk Muzakkir M Ali PERINGATAN maulid Nabi Muhammad SAW diperingati secara meriah di seluruh Aceh. Dari kampung, kota kecamatan, ...

27 Feb 2013 / 0 Comments / Read More »
Berita

Satu Sore di Makam Putroe Neng

ANGIN berhembus pelan, Jumat, 1 Maret 2013. Langit bersih. Tak ada mendung menggulung di langit. Sore itu, Cut Asan, keluar dari rumahnya...

01 Mar 2013 / 0 Comments / Read More »

Rencana Dirikan TPA

MELIHAT antusias masyarakat untuk menyerahkan anaknya mengaji di Kompleks Masjid Agung Baiturrahim, Lhoksukon, Aceh Utara, kini pengurus ...

27 Feb 2013 / 0 Comments / Read More »

Memaknai Maulid Nabi

Oleh : Tgk Muzakkir M Ali PERINGATAN maulid Nabi Muhammad SAW diperingati secara meriah di seluruh Aceh. Dari kampung, kota kecamatan, ...

27 Feb 2013 / 0 Comments / Read More »

Semalam Bersama Muslim Rohingnya

BERSAMA SYAIFUL  HARI itu, Selasa, 26 Februari 2013 handphone saya menjerit keras. Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Warga yang me...

27 Feb 2013 / 0 Comments / Read More »

REPORTASE

Nikmatnya Dodol dari Pase

SEJUMLAH armada penumpang L-300 terlihat berjejer di depan kios pusat kuliner di Desa Rawang Itek, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, p...

22 Feb 2013 / 0 Comments / Read More »

Barang Bersejarah di Rumah Cut Meutia Minim

LHOKSUKON - Jumlah replika barang peninggalan sejarah di Rumah Cut Meutia, di Desa Mesjid Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara sangat mi...

15 May 2011 / 0 Comments / Read More »

44 Catatan Tentang Sang Wali

Catatan > Saya menulis “Saya, Hasan Tiro dan Face Book” dalam buku ini. Kiranya, bisa tercerahkan. Mengenai resensi singkat tentang buku in...

20 Sep 2010 / 0 Comments / Read More »

Mencari Ruang

Kuberjalan di jalan sepi Gelap Langit kelam Menjadi paying Kuberjalan lurus ke depan Enggan menoleh kebelakang Menuju satu titik...

12 Feb 2012 / 0 Comments / Read More »

Selamat Jalan Bang Basri

PAGI ini, saya menerima pesan singkat dari seorang teman. Isinya menceritakan bahwa seorang jurnalis senior, Basri Daham (67) telah meningg...

11 Nov 2012 / 0 Comments / Read More »

PERSEMBAHAN

Kampung Sengsara

Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 TUAN, hari ini, saya menuliskan surat singkat, sebagai pengingat, bah...

10 Mar 2013 / 0 Comments / Read More »

Nominator Lomba

BARUSAN, seorang panitia lomba blog untuk menyambut Visit Aceh Years 2013 menelpon saya. Dia mengatakan, blog saya www.dimas-sambo.blog...

08 Dec 2012 / 0 Comments / Read More »

Kebiasan Buruk

SETIAP kali mau menulis sastra (cerpen,cerbung,dan novel) selalu dikerjakan sembari mengerjakan tulisan jenis. Ketika ide sedang mengalir ...

29 Nov 2012 / 0 Comments / Read More »

Jadi Ayah

Masriadi Sambo Junior HARI ini, Minggu, 20 Mei 2012. Aku resmi menjadi ayah. Anakku lahir dengan selamat di Klinik Yayasan Fuji, Lhok...

23 May 2012 / 0 Comments / Read More »

RESENSI

Belajar dari Buku Ainun & Habibie

“Terima kasih Allah, ENGKAU telah lahirkan Saya untuk Ainun dan Ainun untuk Saya. Terima kasih Allah, Engkau sudah mempertemukan Saya den...

02 Feb 2013 / 0 Comments / Read More »

Duka Aceh dalam Sejarah

Dikutib dari Blog Resensi BukuJudul: LampukiPenulis: Arafat NurPenerbit: SerambiTerbit: Mei 2011Halaman:433 halamanKONFLIK di Aceh menyisak...

19 Jul 2011 / 1 Comments / Read More »

Merasakan Perbedaan Antarbudaya

RESENSI > MASRIADI SAMBOJudul : Beda itu BerkahPenulis : DR Leila Mona GaniemTebal : 194 LembarPenerbit ...

19 Jan 2010 / 0 Comments / Read More »

Memaknai Perjuangan Mantan GAM

MEMBACA Novel “Teuntra Atom” ditulis oleh Thayeb Loh Angen kali ini begitu mengejutkan. Thayeb merevisi naskah asli yang sebelumnya pada t...

04 Sep 2009 / 0 Comments / Read More »

SEJARAH

  • Satu Sore di Makam Putroe Neng

    ANGIN berhembus pelan, Jumat, 1 Maret 2013. Langit bersih. Tak ada mendung menggulung di langit. Sore itu, Cut Asan, keluar dari rumahnya...

  • Dari Bangunan Kayu Hingga Kubah Biru

    PEMBANGUNAN Masjid Baiturrahim Lhoksukon, Aceh Utara dimulai 1972 dan rampung tahun 1980. Pembangunan masjid ini dipimpin Tgk H Ibrahim...

  • Pengajian Kaum Ibu dan Remaja Putri

    SABAN Sabtu, di dalam Masjid Agung Baiturrahim berada di Desa Keude Lhoksukon, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara digelar pengajian khusus...

  • Setia di Makam Sultan

    “Sang 15 thon ka lon jaga makam nyo. Lebeuh baro jeut, kureng hanjet. (Sudah 15 tahun saya jaga makam ini. Bahkan lebih,” ujar Teungku Yako...

|

Geliat Mawah di Alue Awe



teks ini, juara harapan pada lomba yang diadakan IMPACT Aceh, Agustus 2009


DUA PULUH LIMA orang pekerja tampak sedang tidur-tiduran di balai. Bertelanjang dada, ada yang sibuk membaca koran, menikmati segelas kopi, dan bersiul. Ada pula yang terlihat hanya tiduran. Melepas penat setelah seharian menggembala sapi. Ya, di situlah sentral peternakan Muda Samudera. Lembaga peternakan itu didirikan oleh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka memiliki lahan seluas 1.500 hektare dipinjam dari masyarakat. Letaknya sekitar 30 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe, tepat berada di lokasi perbukitan Desa Alue Awe, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.

Di situlah saban hari pekerja memelihara 210 ekor sapi. Sapi itu hibah dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias sebanyak 60 ekor, dari dana otonomi khusus (otsus) Pemerintah Aceh sebanyak 150 ekor.

“Ini awal untuk kebangkitan sapi di Aceh. Saya pikir, peternakan ke depan sangat menjanjikan. Sudah saatnya, masyarakat Aceh memiliki peternakan sendiri. Jangan lagi semuanya harus berharap ke daerah lain,” ujar Khairul Kamal alias Nuyon.

Nuyon memulai usaha peternakan itu, Oktober 2008 silam. Satu bulan kemudian dia resmio membuka lahan peternakan. Semua ternak itu jenis kelamin perempuan. Targetnya adalah mengembangbiakan sapi tersebut. Sayangnya, ternak itu terpaksa harus dilepas ke areal perbukitan. Nuyon mengaku belum memiliki lahan buka dan tutup. “Kami belum punya lahan buka dan tutup. Misalnya, kita lepaskan ternak ke lahan A, setelah habis rumput itu. Lahan A, kita tanam kembali. Lalu, ternak kita lepas ke lahan B. Selama ini, ternak kita lepaskan ke lahan terbuka semuanya. Selain kita sediakan pakannya,” terang Nuyon.

Kandang sapi pun terlihat ala kadar. Belum ada kandang yang memadai. Nuyon, mengaku target mereka membuat kandang standart. Sehingga, ternak tidak terkena air hujan dan embun malam. Saat ini, kandang yang tersedia berupa pondok-pondok kecil berukuran 3 x 6 meter. Jumlahnya pun terbatas, tidak mampu menampung seluruh hewan ternak itu. “Kami terkendala dana,” ujar Nuyon tersenyum.


Ketika konflik, areal peternakan itu menjadi lahan perang. Tak ada masyarakat sipil yang berani berkunjung. Hanya TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saban waktu kontak tembak di lokasi itu. Kini, tak ada lagi ketakutan di bukit itu. Ramai petani mulai membuka lahan. Menanam tumbuhan atau beternak.

Program peternakan itu merupakan program pemberdayakan Muda Samudera. Masyarakat diajak berperan aktif dalam peternakan. Sistem ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh menyebutnya mawah (bagi hasil), jika di Jawa disebut gadu.

Nuyon mengatakan, sistem bagi hasil umumnya 50:50. “Hasilnya bagi dua antara pengelola dan pemilik. Itu yang berlaku umum di masyarakat. Kami menerapkan 70:30. 70 persen hasil untuk pengelola, dan 30 persen hasil untuk pemilik, untuk lembaga,” terang Nuyon.


Angka ini terbilang besar. Dari jatah 30 persen itu, Muda Samudera menyisihkan 10 persen hasil peternakan itu untuk anak yatim, 10 persen untuk aktifitas lembaga, dan 10 persen lagi untuk memperbaiki fasilitas umum di desa tersebut. Maklum, fasilitas pembangunan desa sangat terbatas. Bangunan meunasah yang kusam, jalan yang berlumpur, dan toilet umum yang tidak layak pakai terlihat jelas di desa itu. Ini pula yang ingin dibenahi perlahan oleh Muda Samudera.


Sementara itu, koordinator lapangan peternakan itu, Mawardi, menyebutkan tidak ada batas antara pengelola dan pekerja. Semuanya terbalut dalam kebersamaan. “Kalau kita ada uang, kita makan enak ya sama-sama. Kalau tidak, ya tidak sama sekali,” kata Mawardi.


Dia menyebutkan, meski kekurangan uang, mereka tetap semangat. Targetnya, membawa peternak lain untuk memberdayakan hewan ternak dengan pola yang baik. Hasilnya, lumayan. Sebagian peternak di daerah itu telah beternak dengan pola yang baik, yaitu menyediakan lahan, melepas ternak pada lahan yang dip agar, dan menyediakan lahan khusus untuk menanam rumput gajah sebagai pakan ternak.


“Meski baru memulai. Sebagian peternak sudah mengikuti jejak kami. Ini sebenarnya yang kami targetkan. Jangan pakai pola lama, beternak dengan melepas sapi sembarangan. Itu merugikan orang lain, karena sapi akan memakan tanaman petani lainnya,” imbuh Mawardi.


Kini, Muda Samudera memiliki lahan pakan rumput gajah seluas 30 hetare. Biaya perawatan rumput itu mencapai Rp 15 juta per hektare. Dana ini belum dimiliki. Meski begitu, mereka bertahan dengan pondasi dana yang tak begitu kuat. “Kami terus bertahan. Berupaya mencari pondasi dana lagi, khusus untuk peternakan ini,” kata Mawardi.


Saat disinggung bantuan dari Pemerintah Kota Lhokseumawe, Nuyon tersenyum. Dia menyebutkan, bantuannya sangat minim. “Bantuan uang tidak ada. Tapi, kami bersyukur dibantu pengobatan. Kalau sapi sakit, kami panggil mantri hewan pada Dinas Peternakan Lhokseumawe. Ini saja bantuannya,” terang Nuyon.


Dia bahkan kini membuka lahan itu untuk dikunjungi oleh masyarakat umum. Dia mengajak para mahasiswa dan pelajar untuk datang berkunjung, melakukan studi banding dan sambil berdiskusi tentang pengembangan peternakan yang lebih baik. Sejurus dia terdiam. Sebatang kretek ditarik dari saku baju kaos. Dibakar, lalu asap kretek mengepul. Dia menuju sapi. Senja hampir tiba. Sapi mulai pulang. Pekerja menyediakan pakan. Sapi-sapi itu tampak gemuk, sibuk melahap pakan yang disediakan dalam palung kayu berukuran 1 x 50 meter.


“Kami terbuka dengan dunia luar. Silahkan berkunjung ke mari. Di sini, kita diskusi, menukar ilmu tentang peternakan,” terang Nuyon. Ketika sapi-sapi itu sudah melahirkan anak, maka pengelola pun dig anti. Targetnya adalah pemberdayaan masyarakat di bidang peternakan. “Setelah bagi hasil nanti. Kita akan ganti pengelola. Jadi, tidak hanya masyarakat yang sudah bergabung ke mari faham tentang peternakan. Masyarakat lain juga. Masyarakat dapat bagi hasil plus ilmu,” terang Nuyon.
***

Awalnya, tidak ada masyarakat yang yakin terhadap janji Nuyon tentang bagi hasil dengan perbandingan 50:50 itu. Nuyon pun bersama sejumlah tuha peut dan tuha lapan desa itu menggelar rapat. Mengajak masyarakat untuk lebih kreatif dalam beternak. Tidak lagi menggunakan sistem lama, yaitu melepas ternak begitu saja. Tanpa menyediakan lahan peternakan. Pola lama ini merugikan masyarakat lainnya.

“Kami pikir pola lama itu kurang bagus. Itu merugikan masyarakat lainnya. Sebut saja, ternak kita lepas sembarangan, lalu ternak itu memakan cabai, kacang milik petani lainnya. Ini yang rugi orang lain. Untung sepihak, sepihak lagi malah rugi,” ujar dia. Nuyon mengaku sulit meyakinkan masyarakat. Maklum, paskatsunami 26 Desember 2004 silam, banyak masyarakat mulai terlena pada bantuan lembaga donor.


“Diawal kami ditanya, apakah ini ada uangnya. Saya jawab, rumah saya saja sangat jelek. Mana mungkin punya uang banyak. Masyarakat yakin, karena mereka juga mengenal saya dan tahu keturunan saya, dan kondisi keuangan saya yang pas-pasan. Makan saja susah,” kata Nuyon tersenyum.


Ditemui di tempat terpisah, salah seorang pekerta pada peternakan Muda Samudra, M Saleh (55 Tahun) menyebutkan awalnya dia kurang tertarik dengan ajakan Nuyon. Namun, dia ingin mencoba cara beternak yang benar. Tidak mengikuti pola peternakan dari nenek moyang. “Saya coba saja. Setelah berjalan, kami di sini saling bersama. Kebersamaan pula membuat kami bertahan. Kami ingin desa ini lebih maju. Peternakannya maju, dan gampong juga maju,” kata Saleh.


Dia bersama 25 rekannya saban waktu menjaga ternak itu. Pulang ke rumah dengan sistem bergantian. “Kita saling mengerti. Karena di sini sistem bagi hasil. Jadi kalau ada yang perlu pulang ke rumah ya gentian. Hana yang pajoh akai (tidak ada yang menipu teman sendiri. Semua dibangun dengan kejujuran),” kata Saleh.

Sementara itu, keuchik Desa Alue Awe, Murhaban Ibrahim, mengatakan program mawah dan memperkenalkan cara beternak yang baik pada masyarakat itu sangat bagus. “Otomatis kampung juga aman dari perkelahian antar warga. Dulu, seringkali saya menerima laporan kalau lembu si A, memakan cabai si B. Kita damaikan lagi. Kalau begini kana man,” ujarnya.

Dia menyebutkan, jika semua kampung memiliki pola pertanian dan peternakan dengan sistem serupa, maka tinggal menunggu waktu, petani dan peternakan akan kaya. Mereka kaya dengan hasil kerjanya sendiri. Tidak merusak milik orang lain.


Kini, program mawah terus berjalan. Dua tahun ke depan, sapi itu akan melahirkan anak. Dengan begitu, pekerja diuntungkan. Kampung akan dibangun dari hasil sapi tersebut. Ya, inilah kisah membangun kampung dari hasil masyarakat. Saatnya masyarakat berjaya di kampungnya, dan membangun kampungnya sendiri.

Menyo keun minyeuk mandum lehop. Meunyo ken dro mandup gob (kalau bukan minyak semua lumpur. Kalau bukan kita siapa lagi). Tamsilan kalimat bijak masyarakat Aceh itu tampaknya cocok untuk ditabalkan pada kampung ini. Ya, kampung bekas perang, mulai mengarang pembangunan daerahnya sendiri.

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.14. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Geliat Mawah di Alue Awe"

Posting Komentar

Blog Archive