MOST RECENT

|

Geliat Mawah di Alue Awe



teks ini, juara harapan pada lomba yang diadakan IMPACT Aceh, Agustus 2009


DUA PULUH LIMA orang pekerja tampak sedang tidur-tiduran di balai. Bertelanjang dada, ada yang sibuk membaca koran, menikmati segelas kopi, dan bersiul. Ada pula yang terlihat hanya tiduran. Melepas penat setelah seharian menggembala sapi. Ya, di situlah sentral peternakan Muda Samudera. Lembaga peternakan itu didirikan oleh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka memiliki lahan seluas 1.500 hektare dipinjam dari masyarakat. Letaknya sekitar 30 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe, tepat berada di lokasi perbukitan Desa Alue Awe, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.

Di situlah saban hari pekerja memelihara 210 ekor sapi. Sapi itu hibah dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias sebanyak 60 ekor, dari dana otonomi khusus (otsus) Pemerintah Aceh sebanyak 150 ekor.

“Ini awal untuk kebangkitan sapi di Aceh. Saya pikir, peternakan ke depan sangat menjanjikan. Sudah saatnya, masyarakat Aceh memiliki peternakan sendiri. Jangan lagi semuanya harus berharap ke daerah lain,” ujar Khairul Kamal alias Nuyon.

Nuyon memulai usaha peternakan itu, Oktober 2008 silam. Satu bulan kemudian dia resmio membuka lahan peternakan. Semua ternak itu jenis kelamin perempuan. Targetnya adalah mengembangbiakan sapi tersebut. Sayangnya, ternak itu terpaksa harus dilepas ke areal perbukitan. Nuyon mengaku belum memiliki lahan buka dan tutup. “Kami belum punya lahan buka dan tutup. Misalnya, kita lepaskan ternak ke lahan A, setelah habis rumput itu. Lahan A, kita tanam kembali. Lalu, ternak kita lepas ke lahan B. Selama ini, ternak kita lepaskan ke lahan terbuka semuanya. Selain kita sediakan pakannya,” terang Nuyon.

Kandang sapi pun terlihat ala kadar. Belum ada kandang yang memadai. Nuyon, mengaku target mereka membuat kandang standart. Sehingga, ternak tidak terkena air hujan dan embun malam. Saat ini, kandang yang tersedia berupa pondok-pondok kecil berukuran 3 x 6 meter. Jumlahnya pun terbatas, tidak mampu menampung seluruh hewan ternak itu. “Kami terkendala dana,” ujar Nuyon tersenyum.


Ketika konflik, areal peternakan itu menjadi lahan perang. Tak ada masyarakat sipil yang berani berkunjung. Hanya TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saban waktu kontak tembak di lokasi itu. Kini, tak ada lagi ketakutan di bukit itu. Ramai petani mulai membuka lahan. Menanam tumbuhan atau beternak.

Program peternakan itu merupakan program pemberdayakan Muda Samudera. Masyarakat diajak berperan aktif dalam peternakan. Sistem ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh menyebutnya mawah (bagi hasil), jika di Jawa disebut gadu.

Nuyon mengatakan, sistem bagi hasil umumnya 50:50. “Hasilnya bagi dua antara pengelola dan pemilik. Itu yang berlaku umum di masyarakat. Kami menerapkan 70:30. 70 persen hasil untuk pengelola, dan 30 persen hasil untuk pemilik, untuk lembaga,” terang Nuyon.


Angka ini terbilang besar. Dari jatah 30 persen itu, Muda Samudera menyisihkan 10 persen hasil peternakan itu untuk anak yatim, 10 persen untuk aktifitas lembaga, dan 10 persen lagi untuk memperbaiki fasilitas umum di desa tersebut. Maklum, fasilitas pembangunan desa sangat terbatas. Bangunan meunasah yang kusam, jalan yang berlumpur, dan toilet umum yang tidak layak pakai terlihat jelas di desa itu. Ini pula yang ingin dibenahi perlahan oleh Muda Samudera.


Sementara itu, koordinator lapangan peternakan itu, Mawardi, menyebutkan tidak ada batas antara pengelola dan pekerja. Semuanya terbalut dalam kebersamaan. “Kalau kita ada uang, kita makan enak ya sama-sama. Kalau tidak, ya tidak sama sekali,” kata Mawardi.


Dia menyebutkan, meski kekurangan uang, mereka tetap semangat. Targetnya, membawa peternak lain untuk memberdayakan hewan ternak dengan pola yang baik. Hasilnya, lumayan. Sebagian peternak di daerah itu telah beternak dengan pola yang baik, yaitu menyediakan lahan, melepas ternak pada lahan yang dip agar, dan menyediakan lahan khusus untuk menanam rumput gajah sebagai pakan ternak.


“Meski baru memulai. Sebagian peternak sudah mengikuti jejak kami. Ini sebenarnya yang kami targetkan. Jangan pakai pola lama, beternak dengan melepas sapi sembarangan. Itu merugikan orang lain, karena sapi akan memakan tanaman petani lainnya,” imbuh Mawardi.


Kini, Muda Samudera memiliki lahan pakan rumput gajah seluas 30 hetare. Biaya perawatan rumput itu mencapai Rp 15 juta per hektare. Dana ini belum dimiliki. Meski begitu, mereka bertahan dengan pondasi dana yang tak begitu kuat. “Kami terus bertahan. Berupaya mencari pondasi dana lagi, khusus untuk peternakan ini,” kata Mawardi.


Saat disinggung bantuan dari Pemerintah Kota Lhokseumawe, Nuyon tersenyum. Dia menyebutkan, bantuannya sangat minim. “Bantuan uang tidak ada. Tapi, kami bersyukur dibantu pengobatan. Kalau sapi sakit, kami panggil mantri hewan pada Dinas Peternakan Lhokseumawe. Ini saja bantuannya,” terang Nuyon.


Dia bahkan kini membuka lahan itu untuk dikunjungi oleh masyarakat umum. Dia mengajak para mahasiswa dan pelajar untuk datang berkunjung, melakukan studi banding dan sambil berdiskusi tentang pengembangan peternakan yang lebih baik. Sejurus dia terdiam. Sebatang kretek ditarik dari saku baju kaos. Dibakar, lalu asap kretek mengepul. Dia menuju sapi. Senja hampir tiba. Sapi mulai pulang. Pekerja menyediakan pakan. Sapi-sapi itu tampak gemuk, sibuk melahap pakan yang disediakan dalam palung kayu berukuran 1 x 50 meter.


“Kami terbuka dengan dunia luar. Silahkan berkunjung ke mari. Di sini, kita diskusi, menukar ilmu tentang peternakan,” terang Nuyon. Ketika sapi-sapi itu sudah melahirkan anak, maka pengelola pun dig anti. Targetnya adalah pemberdayaan masyarakat di bidang peternakan. “Setelah bagi hasil nanti. Kita akan ganti pengelola. Jadi, tidak hanya masyarakat yang sudah bergabung ke mari faham tentang peternakan. Masyarakat lain juga. Masyarakat dapat bagi hasil plus ilmu,” terang Nuyon.
***

Awalnya, tidak ada masyarakat yang yakin terhadap janji Nuyon tentang bagi hasil dengan perbandingan 50:50 itu. Nuyon pun bersama sejumlah tuha peut dan tuha lapan desa itu menggelar rapat. Mengajak masyarakat untuk lebih kreatif dalam beternak. Tidak lagi menggunakan sistem lama, yaitu melepas ternak begitu saja. Tanpa menyediakan lahan peternakan. Pola lama ini merugikan masyarakat lainnya.

“Kami pikir pola lama itu kurang bagus. Itu merugikan masyarakat lainnya. Sebut saja, ternak kita lepas sembarangan, lalu ternak itu memakan cabai, kacang milik petani lainnya. Ini yang rugi orang lain. Untung sepihak, sepihak lagi malah rugi,” ujar dia. Nuyon mengaku sulit meyakinkan masyarakat. Maklum, paskatsunami 26 Desember 2004 silam, banyak masyarakat mulai terlena pada bantuan lembaga donor.


“Diawal kami ditanya, apakah ini ada uangnya. Saya jawab, rumah saya saja sangat jelek. Mana mungkin punya uang banyak. Masyarakat yakin, karena mereka juga mengenal saya dan tahu keturunan saya, dan kondisi keuangan saya yang pas-pasan. Makan saja susah,” kata Nuyon tersenyum.


Ditemui di tempat terpisah, salah seorang pekerta pada peternakan Muda Samudra, M Saleh (55 Tahun) menyebutkan awalnya dia kurang tertarik dengan ajakan Nuyon. Namun, dia ingin mencoba cara beternak yang benar. Tidak mengikuti pola peternakan dari nenek moyang. “Saya coba saja. Setelah berjalan, kami di sini saling bersama. Kebersamaan pula membuat kami bertahan. Kami ingin desa ini lebih maju. Peternakannya maju, dan gampong juga maju,” kata Saleh.


Dia bersama 25 rekannya saban waktu menjaga ternak itu. Pulang ke rumah dengan sistem bergantian. “Kita saling mengerti. Karena di sini sistem bagi hasil. Jadi kalau ada yang perlu pulang ke rumah ya gentian. Hana yang pajoh akai (tidak ada yang menipu teman sendiri. Semua dibangun dengan kejujuran),” kata Saleh.

Sementara itu, keuchik Desa Alue Awe, Murhaban Ibrahim, mengatakan program mawah dan memperkenalkan cara beternak yang baik pada masyarakat itu sangat bagus. “Otomatis kampung juga aman dari perkelahian antar warga. Dulu, seringkali saya menerima laporan kalau lembu si A, memakan cabai si B. Kita damaikan lagi. Kalau begini kana man,” ujarnya.

Dia menyebutkan, jika semua kampung memiliki pola pertanian dan peternakan dengan sistem serupa, maka tinggal menunggu waktu, petani dan peternakan akan kaya. Mereka kaya dengan hasil kerjanya sendiri. Tidak merusak milik orang lain.


Kini, program mawah terus berjalan. Dua tahun ke depan, sapi itu akan melahirkan anak. Dengan begitu, pekerja diuntungkan. Kampung akan dibangun dari hasil sapi tersebut. Ya, inilah kisah membangun kampung dari hasil masyarakat. Saatnya masyarakat berjaya di kampungnya, dan membangun kampungnya sendiri.

Menyo keun minyeuk mandum lehop. Meunyo ken dro mandup gob (kalau bukan minyak semua lumpur. Kalau bukan kita siapa lagi). Tamsilan kalimat bijak masyarakat Aceh itu tampaknya cocok untuk ditabalkan pada kampung ini. Ya, kampung bekas perang, mulai mengarang pembangunan daerahnya sendiri.

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.14. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Geliat Mawah di Alue Awe"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added