Bola Panas Reservoir Lhokseumawe
Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat di Desa Pusong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe mengklaim tanah untuk pembangunan reservoir itu milik mereka.Namun kini, Pemerintah Lhokseumawe, mengklaim tanah itu milik Negara. Warga pun beraksi.
PANTAI seluas 7.976 meter persegi itu terlihat kosong. Diberi tanda dengan tali plastik, warna merah menyala. Masing-masing warga memiliki tanah 25 meter persegi. Tanah itu kini diakui Pemko Lhokseumawe sebagai tanah Negara, dibangun untuk pembangunan reservoir, sebagai solusi mengatasi banjir kawasan kota. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Cerita sengketa ini berawal pada tahun 1984 silam. Saat itu, Lhokseumawe masih tergabung dalam Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, dipimpin oleh Ali Basyah sebagai bupati.Sekda Aceh Utara saat itu, dijabat T Syahbuddin Harni.
Saat itu, tanah yang kini dimiliki 33 warga Dusun Rawa Jaya, Lorong III, Desa Pusong, Kecamatan Banda Sakti, itu ingin dibagikan pada 44 orang pejabat teras kala itu. Namun, masyarakat memprotes keras. Mereka mendatangi Sekda, T Syahbuddin Harni. Kemudian, konflik ini berakhir damai. Pemerintah Aceh Utara di bawah Sekda menyerahkan tanah itu untuk dikelola dan ditempati masyarakat Pusong. Kemudian, sebagian dari masyarakat mengurus sertifikat tanah. Namun, sebagian tidak mengurus sertifikat tanah. Kendalanya, adalah biaya. Masyarakat Pusong, yang dominan bekerja sebagai nelayan tidak memiliki uang untuk mengurus sertifikat tanah. “Waktu itu, sudah jelas-jelas, Pemerintah Aceh Utara, memberikan tanah pada kami. Jadi, kenapa sekarang di bangun reservoir kembali,” kata salah seorang pemilik tanah, M Daud, kepada Kontras, awal pekan lalu.
Masih teringat jelas diingatan Daud dia mendapatkan tanah itu. Saat itu, bahkan Sekda Aceh Utara, T Syahbuddin Harni, datang ke meunasah Desa Pusong. Duduk bersama seluruh perangkat gampoeng. Perjanjian saat itu, Pemerintah Aceh Utara, memberikan tanah, berupa rawa-rawa kepada masyarakat Pusong sepanjang 50 meter dari daratan di belakang Vihara (lokasi sembahyang umat Cina). Kemudian, masyarakat membagi dua, yaitu masing-masing 25 meter. Luasnya saat itu lebih dari 4.000 meter persegi. Di depan tanah tersebut terdapat hutan bakau, milik Alm Cot Habib. Surat untuk hutan bakau ini bahkan dikantungi keluarga Habib dari Pemerintah Belanda, kini hutan ini dilimpahkan pada cucu Cot Habib.
Masyarakat pun aman sejenak. Mereka menempati tanah itu. Sebagian diantaranya membiarkannya kosong. Hanya digunakan sebagai lahan untuk mencari tiram. Masyarakat lainnya memanfaatkan lahan itu untuk menangkar ikan. Tidak ada lagi ketegangan antar masyarakat versus pemerintah. Ini terjadi sampai tahun 2001 silam.
Tahun 2001, resmi sudah Pemerintah Kota Lhokseumawe memisahkan diri dari Aceh Utara. Nah, paskatsunami 2004 silam, masalah mulai muncul. Pemerintah Kota Lhokseumawe, saat itu dipimpin Pj Walikota, Marzuki Muhammad Amin, mengeluarkan surat keterangan menguasai tanah Negara. Kejadian ini terjadi tahun 2006, dua tahun usai tsunami. Tujuannya tak lain, agar korban tsunami di Desa Pusong Lama itu juga menerima bantuan rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh. Ini, khusus untuk masyarakat yang belum memiliki surat keterangan menguasai tanah Negara, atau sertifikat tanah. Kemudian, tahun 2008, Pemerintah Lhokseumawe dibawah kepemimpinan Munir Usman merancang pembangunan reservoir. Luasnya mencapai 40 hektare. Termasuk pembangunan jalan lingkar dan jembatan kabeling. Ini megaproyek selama Munir memimpin Lhokseumawe.
Protes Keras
Sebagaimana layaknya pejabat ketika ingin membangun sebuah proyek, maka pernyataan proyek itu pun diekspose ke media massa. Munir Usman mengatakan tanah untuk reservoir itu milik Negara, jadi, tak perlu ada ganti-rugi. Membaca kabar ini, sontak pemilik tanah di Pusong merasa panas-dingin. Kemarahan mereka sampai ke ubun-ubun. Mereka pun mendatangi Walikota, Munir Usman. “Kami protes pada Februari 2009, Saya lupa tanggal persisnya. Kami ingin mengetahui kebijakan apa yang akan diambil Walikota, Lhokseumawe, tentang tanah kami. Waktu itu, tidak ada jawaban yang memuaskan,” kata jurubicara warga pemilik tanah, Mahdi.
Kemudian, 3 Juli 2009, seluruh pemilik tanah diundang oleh Camat Banda Sakti Lhokseumawe, M Irsyadi untuk membahas persoalan tanah tersebut. Hasilnya, dua solusi yang ditawarkan warga, yaitu memindahkan jalur reservoir itu ke tengah laut, atawa menggantikan tanah milik warga. Direlokasi ke tempat lainnya.
“Kami tidak minta ganti-rugi uang. Tapi, kami minta dipindahkan jalur itu ke tengah laut. Jika dipindahkan, diambil tanah kami sepuluh meter juga tak masalah. Solusi kedua, tawaran kita agar seluruh pemilik tanah diganti dengan tanah juga. Dipindahkan ke tempat lain, tentu tetap di pinggiran pantai,” kata Mahdi. Namun, usulan itu mentok.
Tumpang Tindih Kebijakan
Masyarakat pemilik tanah pun mengherankan kebijakan yang diambil oleh Pemko Lhokseumawe terkait masalah ini. Di satu hari, April 2009, Sekretaris Daerah Kota Lhokseuamwe (Sekdako) Safwan, sepakat agar memindahkan jalur reservoir yang terkena tanah warga. Jadi, jalur reservoir itu akan dibangun di atas tanah milik Negara. “Waktu itu, Sekdako, Safwan sudah setuju. Ketika berkunjung kemari, beliau bilang bahwa sudah setuju untuk memindahkan jalur reservoir ke atas lahan milik Negara. Jadi, tidak ada yang dirugikan masyarakat,” ungkap Mahdi. Namun, anehnya lagi, pada 28 April 2009 Arifin Abdullah, kini menjabat asisten III, Pemko Lhokseumawe mengeluarkan surat dan ditujukan kepada Camat Banda Sakti, dan Keuchik Pusong. Isinya, menerangkan bahwa bahwa apabila ada tanah masyarakat yang terkena pembangunan reservoir maka akan dilakukan pembayaran pada tahun 2010 mendatang. Dualisme kebijakan ini semakin membingungkan pemilik tanah. Terakhir, dua bulan lalu, Mahdi kembali berupaya menemui Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, terkait kejelasan nasib tanah mereka. “Waktu itu, dari asistennya Pak Walikota, Munir Usman, mengatakan bahwa soal tanah itu dikembalikan lagi pada Camat. Ini artinya, proses yang kami tempuh mundur. Tak ada kemajuan,” kata Mahdi diamini oleh beberapa pemilik tanah lainnya.
Blokir Lokasi
Jengkel tuntutan mereka dibolak-balik, dilempar sana-sini, warga pun memblokir jalan reservoir itu. Mereka menutup jalan dengan kayu-kayu kecil. 8 September 2009 lalu, terjadi ketegangan antara pekerja kontraktor dengan pemilik tanah. Saat itu, pekerja ingin mulai mengeruk pinggiran laut itu. Di situ, akan dibangun jalur reservoir.
Menenanam pipa utama, untuk disalurkan ke lokasi penampungan akhir.
Masyarakat bersikeras, bila pekerja berani mengeruk pinggiran laut yang diklaim milik warga itu maka akan berhadapan secara fisik dengan warga. Beruntung, pekerja mengalah. Mereka terlihat duduk-duduk saja di atas mobil becho, tanpa melakukan kegiatan hingga sore hari. “Kami siap menjaga tanah kami. Kami akan larang siapa pun, yang masuk kemari untuk mengeruk tanah kami. Ini belum selesai. Jika sudah selesai, kami ikhlaskan tanah ini untuk pemerintah,” kata Mahdi.
Harapan serupa datang dari Keuchik Pusong Lama, Muslim Abdullah. Dia menyebutkan, persoalan tanah itu memang belum rampung. Beberapa kali Walikota Lhokseuamawe, Munir Usman, sempat mengajak tokoh desa duduk. Keputusan yang diambil pun masih bersifat lisan. Tidak ada keputusan secara tertulis yang bisa dipegang oleh masyarakat. “Saya harap, agar Walikota mengambil kebijakan yang pro rakyat. Jika tidak, saya khawatir, masyarakat akan mengambil langkah sendiri. Jika sudah begini, hal yang tak diinginkan akan terjadi,” harap Muslim. Desa Pusong sekilas terlihat santai, dan tenang. Dikelilingi oleh laut. Dihembus angin saban waktu. Namun, di sudut kampung itu, setiap hari masyarakat berjaga-jaga, agar becho tak masuk ke lahan yang diklaim milik mereka. Ya, menjaga harta benda. Inikah kebijakan yang pro rakyat, solusi harus segera diambil Pak Wali. Alamak. [masriadi]
BUCHARI [KABAG PEMERINTAHAN PEMKO LHOKSEUAMAWE]
“Akan Dibahas Kembali Setelah Lebaran”
Kepala Bagian Pemerintah, Pemko Lhokseumawe, Buchari, mengakui persoalan tanah warga di Desa Pusong itu memang terbilang rumit. Pasalnya, sebagian tanah itu berstatus hak penggunaan lahan (HPL), sebagian lagi telah memiliki sertifikat. “Tanah di Pusong itu, dari jaman dulu sebagian sudah punya sertifikat tanah. Jadi, persoalan tanah ini memang terbilang rumit. Kita akan pikirkan kebijakan tentang persoalan itu, dan duduk kembali dengan panita pembangunan reservoir,” kata Buchari.
Dia menyebutkan, Pemko Lhokseumawe berupaya semaksimal mungkin untuk memberi kebijakan terbaik untuk masyarakat. Namun, kebijakan itu akan dikaji kembali secara rinci, antara Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, Sekdako, Safwan, dan tim panitia pembangunan. “Nanti, setelah di bahas, maka akan diambil kebijakan yang diupayakan menguntungkan masyarakat. Namun, setelah lebaran ini baru bisa dilakukan. Saya akan bawa ke Sekdako kembali persoalan ini, untuk dipecahkan masalahnya,” kata Bachtiar. Bachtiar tahu persis persoalan tanah di Desa Pusong. Pasalnya, dia pernah menjabat sebagai Camat di Kecamatan Banda Sakti.
“Kita lihat nanti setelah lebaran. Kalau sekarang, saya tidak tahu solusi apa. Tidak ada solusi, meskipun bidang ini termasuk bidang kerja saya,” pungkas Bachtiar singkat ketika dihubungi per telepon. [masriadi]