MOST RECENT

|

Syariat Melorot dari Pinggang




PELAKSANAAN syariat Islam di Aceh tampaknya mulai melorot dari garis pinggang. Garis awal pelaksanaan hukum Allah itu telah berlaku sejak zaman Kerajaan Iskandar Muda, tempo dulu. Puluhan tahun silam, masyarakat bumi Serambi Mekkah ini telah menganut Islam secara kaffah. Tidak setengah-setengah, alias Islam pada catatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Seiring perkembangan zaman, syariat Islam pun kembali di qanunkan (Perda) pada tahun 2002 silam. Secara resmi, Pemerintah Aceh memberlakukan hukuman untuk pelaku khalwat, maisir, khamar dan pelanggaran akidah dan ibadah. Kota Lhokseuamawe, mulai gencar melakukan sosialisasi terhadap empat qanun yang disahkan secara estafet itu. Bahkan, Lhokseumawe daerah pertama yang mengusulkan eksekusi hukuman cambuk terhadap Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Namun, puncak eksekusi cambuk perdana di Indonesia, terjadi di Masjid Agung Bireuen, 25 Juni 2005 silam. Sedangkan eksekusi cambuk di Lhokseuamwe, dilakukan lima bulan kemudian di Masjid Raya Baiturahman,

Eksekusi kedua di Lhokseuamawe, seharusnya dilakukan pada 12 Desember 2007 silam. Namun, aneh bin ajaib, 11 terhukum dalam kasus khalwat dan maisir sepakat tidak hadir di panggung eksekusi yang dipusatkan di Lapangan Hiraq Lhokseumawe. Akibatnya, eksekusi gagal dilaksanakan. Ke-11 terhukum, dua di antaranya terlibat kasus khalwat, yaitu HT Zainal Abidin Bin TM Ali (divonis lima kali cambuk), dan Cut Meurah Raziah BTH (tiga kali cambuk). H.T.Zainal Abidin Bin T.M.Ali merupakan mantan anggota DPR Kota Lhokseumawe dari Partai Bulan Bintang (PBB).


Sedangkan terpidana kasus maisir, yaitu M. Yusuf Bin Karim, Zulfikri Bin A. Jalil Basyah, Maulana Bin Usman, Budi Safiadi Bin Abdul Sari, Afriadi Bin Muhammad, Zulkarnaen Bin Rahimin, Abdul Hadi Bin Karimullah, dan A. Hadi Saputra, masing-masing divonis enam kali cambuk. Sementara M. Salihin Bin Zakaria, yang juga terlibat kasus maisir, vonis hakim menyatakan yang bersangkutan dikembalikan kepada orang tuanya, kerena terpidana masih anak-anak. Kasus ini merupakan kasus pertama eksekusi cambuk gagal terjadi di Aceh.


Hingga saat ini, ke 11 terhukum cambuk itu batal dihukum. Pasalnya, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2005, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Aqubat Cambuk, sama sekali tidak disebutkan dengan jelas tentang tindakan selanjutnya bila terpidana tidak hadir pada saat akan dieksekusi cambuk. Dalam aturan itu, tidak tercantum bahwa bila siterhukum tidak hadir, maka dapat dijemput paksa oleh WH atau aparat kepolisian. Lagi-lagi, teknis pelaksaan syariat Islam kedodoran.
Persoalan lainnya, rekruitmen Wilayatul Hisbah (WH) terkesan centang-perenang. Polisi syariah itu umumnya memegang ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan status tenaga kontrak. Sangat sedikit alumnus perguruan tinggi, lebih spesifik alumnus jurusan syariah atau ilmu hukum yang bekerja pada lembaga WH. Informasi yang dihimpun Kontras, rekruitmen WH hanya bersandar pada pengetahuan si calon polisi syariah membaca ayat pendek Al Quran semata. Itu pun tidak fasih mengaji ayat pendek. Akibatnya, pengetahuan mereka soal qanun dan sanksinya pun terbatas. Selain itu, pondasi dana untuk WH pun sangat terbatas. Idealnya, razia gabungan yang melibatkan Polisi Militer (PM) dilakukan enam kali dalam sebulan. Namun, WH hanya memiliki fondasi dana sebanyak dua kali dalam sebulan. “Belum ideal memang. Kami hanya bisa melakukan razia dua kali dalam sebulan. Padahal, idealnya enam kali. Anggarannya tidak cukup, jika kita lakukan enam kali dalam sebulan,” sebut Sekretaris WH Aceh Utara, Mursalin, baru-baru ini. Mursalin enggan menyebutkan angka rupiah yang dibutuhkan untuk sekali razia. Kabarnya, mencapai Rp 50 juta per sekali razia gabungan.


Selain itu, efek jera yang ditimbulkan dari razia pakaian muslimah yang dilakukan di Aceh Utara dan Lhokseumawe pun tak seberapa. Jika razia sedang gencar dilakukan, maka perangui (tabiat) mengenakan pakaian ketat pun hilang sesaat. Namun, jika razia mulai kendor, tabiat mengenakan pakaian ketat, seketat-ketatnya ini pun kembali marak. Tidak hanya remaja, kalangan dewasa pun melakukan hal yang sama.
Persoalan lainnya, soal wanita tuna susila (WTS) yang masih beroperasi di Lhokseumawe. Jumlahnya mencapai belasan orang. Beberapa orang diantaranya pernah ditangkap WH Kota Lhokseumawe. “Kami pernah menangkap WTS. Lalu, kita deportasi ke Medan. Sebagian WTS ini orang Aceh, sebagian lagi orang Medan,” kata Kepala Kator Satpol PP dan WH Lhokseumawe, Ridwan Jalil. Praktik WTS ini masih marak di Kabupaten Aceh Tenggara. Lihat saja di kawasan Pajak Seban, Kec amatan Babussalam, tepat di belakang GOR Kutacane, Aceh Tenggara. Selain itu, di Desa Kampung Nangka, Kecamatan Lawe Bulan, dan beberapa lokasi wisata di daerah itu. Pelaksanaan hukum cambuk pun di bumi sepakat segenep itu hanya dilakukan sekali pada tahun 2006 silam, untuk kasus khalwat. Setelah itu, hingga kini belum pernah dilakukan pencambukan kembali. Jika pun dilakukan razia dan WTS itu tertangkap, hanya dilakukan pembinaan. Informasi yang dihimpun WTS di Aceh Tenggara, sebagian “diimpor” dari Medan, Sumatera Utara dan sebagian lagi penduduk lokal. Lebih dominan dari penduduk lokal. Ini merupakan bukti, pelaksanaan syariat Islam masih kedodoran.
Banyaknya bukti kelemahan pelaksanaan syariat Islam ini perlu dibenahi pemerintah. Pelaksanaan syariat belum merata ke seantero Aceh. Namun, meski begitu, DPRA terkesan memaksakan kehendak untuk meningkatkan status pelaksanaan syariat, dari sekadar cambuk ke rajam dengan disahkannya qanun jinayat.


Pro-kontra pun muncul. Bukan hanya antara legislative dan eksekutif. Namun, pro-kontra muncul sampai ke pelosok desa di Aceh. Salah satunya, Hermandar Puteh, penduduk Desa Madan, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Hermandar menyebutkan, sebelum masyarakat sejahtera, maka perbuatan melanggar larangan agama berpotensi terjadi. “Untuk itu, perlu disejahterakan dulu rakyat. Jangan hanya buat hukum, tapi kesejahteraan tidak dipikirkan. Semua masyarakat setuju tentang jinayat, dan hukum lainnya. Semua beragama Islam setuju itu, karena jika tidak setuju, akan kafir. Tapi, proses pelaksanaannya yang perlu kita perjelas. Nanti si kaya tak dihukum, si miskin dihukum,” ujar Hermandar sedikit bergidik.


Hermandar meminta, agar penerapan hukum tidak pandang bulu. Dia khawatir, jika hukum rajam tidak jelas petunjuk teknisnya, maka akan banyak korban dari masyarakat lemah. Soal pelanggaran syariat, tidak ada beda antara kampung dan desa. Di kampung, juga kerap kali terjadi khalwat. Namun, persoalannya diselesaikan secara adat, yaitu dinikahkan.


Pendapat masyarakat lainnya, Mukhtaruddin Husen. Warga Desa Asan Krueng Kreh, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara itu menyebutkan agar qanun jinayat ditunda terlebih dahulu. “Benahi dulu system pelaksanaan qanun khalwat, maisir dan khamar. Jika itu sudah menyeluruh ke seluruh Aceh, maka ditingkatkan ke penerapan qanun jinayat. Ini soal baju ketat dan jilbab saja belum selesai ditangani oleh pemerintah, mengapa mesti dipaksakan qanun jinayat,” kata Mukhtaruddin.


Lain lagi pandangan, Nur Laila, warga Desa Hagu Barat Laut, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Dia setuju qanun jinayat diberlakukan. “Namun, untuk tahun ini jangan diterapkan dulu. Lima tahun pertama, sosialisasi dulu kepada masyarakat. Jangan langsung diterapkan, dan kemudian langsung dirajam. Itu tidak logis,” kata Laila.
Pro-kontra tentang qanun ini memang sedang hangat terjadi di Aceh. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Namun, tampaknya, kalangan DPRA tidak bercermin pada pelaksanaan syariat Islam yang masih melorot dari garis pinggang. Tidak kokoh dengan konsep, sanksi dan pelaksanaan yang mumpuni. Seharusnya, pelaksanan syariat Islam selama ini, menjadi cermin unguk merumuskan qanun jinayat tersebut. Toh, di kabupaten pedalaman Aceh, masih banyak kaum hawa tak berjilbab, masih banyak pos WTS, masih banyak pula kelemahan qanun-qanun syariat yang telah disahkan sebelumnya. Perlu diingat, qanun syariat untuk semua Aceh. Bukan hanya lintas Kuala Simpang-Banda Aceh. Saatnya, mengevaluasi pelaksanaan syariat negeri ini. (masriadi)

Publis Oleh Dimas Sambo on 00.51. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Syariat Melorot dari Pinggang"

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added