Enaknya Jadi Pengemis
Terjadi sejak puluhan tahun lalu. Beragam usia pengemis ada di Lhokseumawe, apa motivasi mereka mengemis, sekadar hobi atau malah pekerjaan?
SIANG itu, 31 Agustus 2009. Pria paruh baya itu duduk di atas lantai, tepat di depan gerbang Gedun DPRK Aceh Utara. Saat itu, sedang terjadi prosesi akbar, pelantikan anggota DPRK yang baru. Pria itu tersenyum-senyum. Harapannya jelas, menarik simpati dari orang-orang yang berkunjung. Sesekali dia mengangkat kantung plastic kusam, kepada orang-orang yang melintas di depannya. Ada yang memberi uang ribuan. Ada pula uang recehan. Setiap kali menerima sedekah, dia selalu mengucapkan Alhamdulillah.
“Saya ini orang miskin. Saya hanya hidup dari belas kasihan orang lain,” kata pria yang tak bersedia menyebutkan namanya itu. Tak lama kemudian, dibelakang pria ini datang tiga pengemis lainnya. Ketiganya wanita, namun, ketika melihat Kontras, membidikkan jepretan kamera, ketiga wanita ini langsung kabur. Sambil menutup wajah dengan jilbab.
Sekilas pria ini masih terlihat sehat. Dia mengaku, tulang kaki kirinya nyeri. Sangat sulit digerakkan. Jika bergerak, ngilu membalut seluruh sendi kakinya. Tak ada solusi lain untuk bertahan hidup. Ya, terpaksa mengemis.
Pengemis memang menjadi cata mencari uang yang paling praktis. Cukup dengan modal menengadahkan tangan. Penelusuran Kontras, pengemis di Kota Lhokseumawe datang dari berbagai daerah, ada yang mengaku berasal dari Kecamatan Tanah Jambo Aye, Nisam, Matang Kuli dan sejumlah kecamatan lainnya di Aceh Utara. Sebagian berasal dari Kabupaten Bireuen dan Aceh Timur. Soal klaim mengklaim pengemis ini pun hingga kini belum rampung. Pemerintah Kota Lhokseumawe bersikeras bahwa jumlah pengemis di kota itu sangat sedikit. Sangat banyak yang berasal dari Aceh Utara. Sedangkan, Pemerintah Aceh Utara mengatakan sama saja angka pengemis Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Untuk memastikan kebijakan yang akan diambil untuk menanggulangi pengemis, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe kembali melakukan pendataan ulang angka pengemis. Saat ini, Dinas Sosial sedang menurunkan tim pendataan. “Mereka yang didata itu adalah pengemis yang memiliki KTP Lhokseumawe. Jika tidak, tidak masuk dalam wilayah pendataan kita. Jadi, sekarang kami tidak memiliki data yang pasti,” kata Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe, Zakaria, M Si.
Tahun 2008 lalu, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe, saat itu masih dipimpin M Yusuf, merilis sebanyak 100 orang pengemis berkeliaran di Lhokseumawe setiap hari. Angka ini termasuk pengemis yang datang dari Kabupaten Bireuen, dan Aceh Utara yang melakukan aktfiitas di Lhokseumawe.
Bongkar Pasang Kebijakan
Kebijakan penangangan pengemis di Lhokseuamawe selalu berubah, seiring dengan perubahan pimpinan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Ketika M Yusuf menjabat, dia menggelontorkan ide untuk membangun rumah sejahtera untuk seluruh pengemis dan gelandangan di Kota Lhokseuamawe. Rumah sejahtera ini pun hampir mendapat persetujuan anggaran dari DPRK Lhokseumawe. Pengemis akan menginap pada rumah itu, makan dan diberikan pekerjaan yang mereka inginkan di rumah sejahtera tersebut. Lalu, entah bagaimana, Yusuf pun tidak menjabat pada dinas itu lagi. Lalu, ketika Zakaria menjabat, ide yang diusung untuk memecahkan masalah pengemis adalah memberikan pendidikan dan modal usaha yang memadai. “Solusi jangka panjang kita adalah memberikan pendidikan yang memadai untuk mereka, lalu memberikan modal usaha yang cukup. Sehingga, persoalan pengemis bisa teratasi dengan baik dan cepat. Kalau tidak diberi modal usaha yang cukup, ini akan sulit juga. Mereka akan kembali mengemis,” kata Zakia.
Dia menyebutkan, pendataan yang sedang dilakukan diperlukan untuk memastikan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang apa yang akan ditempuh. Sementara itu, Kepala Bidang Rehabilitasi Pengemis Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Lhokseumawe, Rosnawati tidak ingin mengaku bahwa ada pengemis di kota itu. Dia mengklaim, serta-merta bahwa pengemis di Lhokseumawe semua berasal dari Aceh Utara. Padahal, penelusuran Kontras, sebagian besar pengemis memang warga Lhokseumawe, tersebar di Desa Pusong, Mon Geudong, dan Cunda, Kota Lhokseumawe.
“Sampai sekarang belum ada kebijakan dari bidang saya. Kami tidak punya uang. Setahun saya, kami hanya ada kegiatan pendataan untuk tahun ini,’ kata Rosnawati.
Rosnawati bahkan menyebutkan pihaknya tidak memiliki data tentang pengemis. Padahal, tahun lalu, dinas yang sama telah merilis data pengemis pada sejumlah media. Artinya, kebijakan tidak berkelanjutan terjadi pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja.
Mengapa mengemis?
Umumnya pengemis yang beroperasi di Lhokseumawe dan Aceh Utara sehat jasmani dan rohani. Sangat sedikit yang cacat fisik, sehingga tidak bisa bekerja lagi. Masih banyak mereka yang bisa bekerja. Daerah operandi umumnya adalah di Simpang Lestari (depan Pendopo Bupati Aceh Utara), Pantai Ujong Blang, dan sejumlah SPBU di jantung kota. Informasi yang dihimpun, rata-rata per hari penghasilan pengemis ini berkisar Rp 50.000-150.000 per hari. Angka ini terbilang pantastis. Ini pula membuat para pengemis ini enggan mengais rezeki dengan cara yang layak. Mereka lebih memilih meminta-minta.
Perlu Qanun
Penanganan pengemis di kota-kota besar di Indonesia sudah lebih baik ketimbang di Aceh. Lihatlah Medan, Sumatera Utara. Pemprov Sumut mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) dilarang mengemis di seluruh jantung kota. Pengemis dan si pemberi sedekah akan dikenakan hukuman. Hukuman terkecil berupa dibina oleh Polisi Pamong Praja, terberat dihukum satu tahun penjara. Tujuannya tak lain, agar pengemis kota itu tidak ada lagi. Perda ini mulai berlaku di Medan, sejak 2008 silam. Akibatnya, tidak terlihat lagi pengemis dengan menengadahkan kantung plastik. Kini, pola mengemis di Medan, sudah berubah. Para pengemis berdagang kerupuk, dijual Rp 500 per bungkus kecil. Ini tentu lebih mulia. Karena berdagang, bukan meminta-minta.
Namun, untuk Aceh, belum ada kebijakan khusus untuk pengemis ini. Perlu pengesahan qanun segera, agar pengemis bisa tertampung dengan baik, dan kota terlihat lebih indah. [masriadi]