MOST RECENT

|

Wali



PAGI baru saja turun. Matahari masih tersenyum malu-malu, ketika handphoneku berdering. Mengabarkan bahwa panglima besar akan berangkat segera. Menuju kampung halaman yang puluhan tahun silam ditinggalkan. Meninggalkan kampung atas nama perjuangan. Meninggalkan keluarga, ibu dan ayah yang sangat dibanggakan.

Saat itu, masih jelas diingatanku panglima besar mengatakan bahwa bangsa ini harus sejajar dan seimbang dengan bangsa lainnya. Sama seperti endatu (nenek moyang) kita dulu. Bangsa ini harus menempati posisi dimata dunia. Bangsa ini harus A, B, dan seterusnya. Bahkan, waktu itu aku tak faham apa yang dia sampaikan. Bagiku, hanya ikut apa kata panglima besar. Kalimatnya sama dengan maklumat penting. Tak bisa kubantah. Dan, tak mampu otakku menghasilkan pikiran untuk membantah kalimatnya itu. Bagiku, kala itu, dia sangat luar biasa.
Kini, kabarnya dia kembali. Ini bukan kepulangan pertama. Ini untuk ketiga kalinya. Dua kali terakhir, aku tak bisa menemuinya. Dia terlalu sibuk. Bahkan,mungkin dia lupa pada sosok anak kecil yang setia mendengarkan ceramahnya dulu. Mungkini pula, dia ingat. Kabarnya, panglima besar memiliki ingatan yang luar biasa. Kabarnya lagi, dia selalu hafal wajah-wajah orang yang pernah dilihatnya.

Kali ini, ajudan pribadinya yang menelponku. Aku tak tahu apa artinya aku dimata panglima besar. Aku juga tak yakin, baginya aku ini penting. Aku juga tak faham, mengapa ajudan pribadi langsung menelponku. Darimana dia mendapatkan nomor handphoneku.
Teman-teman seangkatan mengatakan bahwa panglima besar ingin mengenang semua kisah dengan generasi pertama gerakan ini. Panglima besar, ingin menemuiku. Menyediakan waktu 15 menit untuk aku. Sontak diantara mimpi dan sadar, aku mendengar permintaan itu. Rasanya, jika panglima sudah di sini, aku ingin memeluknya. Menceritakan susah sekali hidup di hutan. Di gigit ular dua kali. Ditembak aparat Negara lima kali. Dan, tak makan satu bulan penuh. Aku ingin, beliau mengerti pengorbananku.

Ketika kuceritakan ini pada teman-teman,mereka hanya tertawa. “Kamu ini hanya orang kecil. Dulu, waktu kita berperang, kamu tidak memiliki senjata sendiri kan. Kamu sering pinjam senjataku. Mana mungkin, panglima memanggilmu. Menyediakan waktu pula. Ah, kamu pasti tidak baca do’a tidur semalam,” kata Jamin, seangkatan denganku ketika di hutan dulu.

Kucoba kembali mengingat-ingat apa yang kurasakan tadi pagi. Kuperiksa handphone, jelas, ada panggilan masuk dari nomor luar negeri. Meski hanya menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) aku rajin mengikuti perkembangan dunia. Aku yakin itu memang nomor luar negeri.

Kuhilangkan pikiran itu. Aku tidak bersiap menjemput panglima besar. Kemarin, aku lihat, teman-teman sibuk menyiapkan kendaraan. Mau ke Kutaraja. Menjemput panglima di bandara. Di daerah ini, tak ada yang mengajakku. Aku sadar benar, posisiku hanya pasukan bawah. Pasukan yang hanya digunakan sebagai pengintai lawan. Menyiapkan seluruh sandi operasi. Dan, jika mungkin, sesekali menyerang lawan. Itu pun dengan senjata pinjaman dari pasukan lainnya. Aku juga tak mau pusing. Saat ini, kusibukkan diriku ke kebun dan ladang. Satu istri dan dua anak, menemaniku saban waktu. Menyiapkan sarapan jika pagi tiba. Bagiku itu sudah cukup. Aku bukan tamak, seperti teman-teman yang selalu mengatakan bahwa dialah pejuang. Seakan tak ada orang lain yang berjuang. Hanya dia yang memanggul senjata.

Ada pula yang tak pernah memanggul senjata. Tapi, mengaku pejuang. Ini kata teman-teman gerilyawan tanggal 16 Agustus. Karena, pasukan resmi berdamai dengan pemerintah negeri ini, pada 15 Agustus. Jumlah gerilyawan 16 Agustus ini malah lebih banyak ketimbang jumlah pasukan kami dulu. Ah, mereka ini ingin menikmati rezeki diatas darah masyarakat Aceh. Menikmati lezatnya kue perdamaian. Sebagian teman, sangat marah dengan mereka. Bagiku, itulah demokrasi. Siapa saja,bisa berekspresi. Tergantung dia menggunakan etika dan naluri. Aku juga tak mempersalahkan itu.
Satu cerita yang kuingat, ketika mereka membentakku. Mereka tidak tau aku bekas pasukan pengintai. Mereka memaki, memarahi dengan kasar. Padahal, aku hanya menyelip kendaraannya. Arogan sekali. Tidak segan pula mereka mengatakan bahwa dialah yang berkuasa sekarang. Aku hanya diam. Kutunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) ku pada mereka. Mereka terkejut. Mereka tau namaku, tapi tak mengenal orangnya. Cepat-cepat dia memberi hormat, meminta maaf. Inilah demokrasi.
***
Pagi kembali tiba. Matahari masih tersenyum malu-malu. Sama seperti kemarin. Aku bagun. Kubaca sms yang masuk di inbox hanphoneku. Kubaca pesan, masih dari nomor kemarin. Ajudan pribadi panglima besar. Isinya, panglima sudah berada di Malaysia. Pagi ini bertolak ke Aceh. Aku diminta berangkat ke Kutaraja.


Kuntunjukkan pesan itu pada istriku. Dia bukan asli Aceh. Ayahnya Minang, Ibunya Aceh. Istriku menyarankan agar menghubungi panglima wilayah. Memastikan apakah pesan itu benar atau tidak. Karena, untuk ke Kutaraja, butuh uang ratusan ribu. Bagi Istriku, ratusan ribu itu lebih bermanfaat bila digunakan untuk membeli kebutuhan dapur. Pendapatan kami memang dari kebun dan sawah saja. Tak lebih dari itu.
Kucoba menghubungi panglima wilayah. Tak ada jawaban. Ajudannya bilang, kalau dia sudah ke Malaysia. Menemui panglima besar di sana. Harapanku pupus. Tak lagi kuperdulikan sms dan handphone itu.


Lebih baik aku mengurusi tanaman kacang panjang yang hampir panen dibanding memikirkan sms itu. Mungkin, ada teman di luar negeri yang mengerjaiku. Esok paginya, kulihat wajah panglima besar menjadi headline surat kabar lokal. Aku percaya itu dia. Aku jadi memikirkan kembali sms dan telepon dari nomor luar negeri itu.
Ingin rasanya aku ke Kutaraja, menemuinya. Namun, kubaca di surat kabar, tak sembarang orang bisa menemuinya. Bahkan, wartawan pun sulit menemuinya. Kubatalkan kembali niatku. Istriku berulang kali menyakinkan, agar jangan terlalu memikirkan berita panglima besar itu. Dia tahu, di kepalaku masih bersarang peluru. Jika aku berpikir keras, maka alamat pusing begitu menggigit. Sangat sakit. Nyeri sekali.
Pagi datang lagi, matahari kemarin masih seperti kemarin. Tersenyum malu-malu. Kali ini aku dibangunkan bukan dengan dering handphone. Namun, dengan ketukan pintu rumah yang tak beraturan.


“Tengku…maaf, menganggu pagi-pagi begini,” kata Maun setelah mengucapkan salam.
“Ada apa?”
“Kami diperintahkan panglima besar untuk menjemput Tengku. Beliau ingin bertemu. Ingin memberi perintah besar,”.
Istriku mengeryitkan kening. Dia tidak percaya. Si Maun ini sangat usil. Dia berkali-kali membohongiku. Antara yakin dan tidak, kuminta uang dari istriku. Dia memberikan uang Rp 300.000. Katanya, untuk ongkos ke Kutaraja.


Maun mengatakan seluruh biaya sudah ada. Jangan dirisaukan. Namun, istriku tetap risau. Dia pesan, uang itu untuk makan dan beli sebungkus kretek.
Enam jam perjalanan menyiksa dari Lhokseumawe ke Kutaraja. Aku penuh tanya. Si Maun tancap gas sekenanya. Sesekali kuingatkan dia. Bahwa, jalan itu bukan punya orantuanya. Jalan umum, ada aturan lalu lintas yang penting dipatuhi.


Sampai di Kutaraja, kulihat rumah mewah penuh dengan pengawalan ketat. Mereka mengenakan pakaian hitam berles merah. Sebagian anak buahku dulu. Mereka memberi hormat. Aku pikir, mereka juga sudah lupa padaku.
Pasukan pengamanan, datang memelukku. Lalu, mengapit. Membawa ke depan panglima besar. Aku baru sadar, ternyata aku pantas juga untuk dikawal. Panglima duduk alakadar. Tatapan matanya tajam. Kiri dan kanannya, penuh buku. Ada pula berbagai Koran nasional dan lokal. Para mantan menteri gerakan dulu juga ada di situ.


“Satu pesan untukmu Rasyid. Kamu kuamanahkan untuk mengawal seluruh teman-temanmu yang menjadi anggota parlemen. Kuamanahkan kau mengontrol mereka. Aku sudah tua. Kamulah penerusnya. Ingat tak ada perang, tak ada lainnya. Hanya ada kesejahteraan rakyat Aceh,” kata panglima, akrab kami di sapa wali Negara.


Aku hanya menunduk. Mengaturkan kesiapan. Tanpa membusungkan data karena mendapat kepercayaan dari wali. Panglima lalu mengatakan, jika para parlemen itu melanggar, maka jasadku dalam kubur akan tersiksa. Mereka harus mensejahterakan rakyat.


Semua kami menangis mendengar ucapan terakhir itu. Kami ingin dia hidup seribu tahun lalu. Meski usia telah senja. Kami ingin dia tetap ada. Ya, panglima besar yang sangat berwibawa. [Cerpen > Masriadi Sambo]

Publis Oleh Dimas Sambo on 02.26. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added