Pembangunan Gampong Ala Kadar?
PEMERINTAH gampong (desa) merupakan ujung tombak, dari rangkai panjang sistem pemerintah sebuah negara. Idealnya, paska lahirnya UU No 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, pembangunan di gampong lebih agresif. Hal itu dikarenakan, UU itu membuka ruang partisipasi masyarakat untuk menentukan pembangunan yang mereka inginkan di tingkat gampong.
Namun, wacana pembangunan model buttom up sampai saat ini masih sebatas wacana. Belum ada bukti nyata. Sepanjang tahun 2010, saya mengikuti 10 musyawarah rencana pembangunan (Musrembang) di tingkat gampong dalam Kabupaten Aceh Utara. Terlihat jelas, masyarakat sangat pesimis dengan apa yang mereka usulkan untuk dibangun oleh pemerintah setempat. Masyarakat telah bosan dengan usulan-usulan pembangunan saban tahun. Tanpa realisasi nyata. Rasa pesimis masyarakat bukan tidak beralasan. Pasalnya, berbagai elemen berebut “kue” pembangunan.
Berbagai kepentingan menyatu. Ini pula yang kerap kali menggagalkan usulan pembangunan dari gampong. Alur usulan biasanya, dari gampong lalu ke kecamatan. Kemudian di bawa ke forum Musrembang tingkat kabupaten. Setelah itu, dianalisis oleh tim Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten/kota. Lalu, tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) mengusulkan seluruh program itu dalam APBK/APBA kemudian di bahas oleh DPRK/DPRA.
Dari seluruh rangkaian itu, satu per satu usulan akan berguguran dengan sendirinya. Maklum, konflik kepentingan terjadi. Kontraktor memiliki kepentingan tersendiri, kepala dinas, anggota DPRK/DPRA dan kepala daerah juga memiliki kepentingan. Terkadang, kepentingan berbagai elemen tadi, mengalahkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Ini pula yang seringkali membuat ketimpangan pembangunan. Misalnya, jika pejabatnya dari daerah A, maka daerah lebih maju dibanding daerah Z. Realitas pembangunan seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Ini baru masalah usulan program, dan ini pula yang saya sebut pembangunan ala kadar (seadanya).
Masalah lainnya adalah, ketersediaan dana. Seringkali, defisit anggaran di sejumlah kabupaten/kota menjadi alasan, untuk menggagalkan proyek pembangunan yang diusulkan rakyat. Jika ditilik lebih jauh, anggaran bukanlah masalah utama. Masih banyak anggaran yang bisa dipangkas, seperti anggaran tambahan mobil dinas, dan lain sebagainya.
Evaluasi BKPG
Tahun lalu dan tahun ini, sebanyak 6. 411 gampong mendapatkan dana bantuan keuangan pemakmu gampong (BKPG) sebesar 100 juta per gampong dari Pemerintah Aceh. Dana ini digunakan untuk pembangunan fisik, dan simpan pinjam perempuan (SPP).
Umumnya, dana BKPG diguanakan untuk fisik semata. Sangat sedikit yang digunakan untuk usaha simpan pinjam kaum wanita.
Saya pikir, dengan dana BKPG tersebut, perlu dibuat satu unit badan usaha milik gampong (BUMG). Badan usaha ini bisa melakukan aktivitas bisnis, untuk menambah pondasi keuangan gampong. Misalnya, membeli hasil pertanian, seperti padi, sayuran dan lain sebagainya, kemudian menjualnya kembali. Laba dari kegiatan bisnis ini bisa digunakan untuk pembangunan gampong.
Aktivitas lainnya, BUMG ini bisa mencari sumber dana lain dengan cara bekerjasama dengan perusahaan swasta. Hanya saja, manajemen BUMN ini yang perlu diatur secara profesional. Para pengurus BUMG, idealnya mengacu pada perusahaan swasta. Misalnya, masa jabatan, uji kelayakan dan kepatutan, serta pertanggungjawaban semua dikontrol oleh masyarakat desa itu sendiri. Jika ini dilakukan, maka potensi korupsi di BUMG bisa diminimalisir.
Tugas pemerintah adalah menyiapkan manajemen yang handal, dan mendampingi aktivitas BUMG tersebut. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan pasar. Selama ini, Pemerintah Aceh masih gagal menyediakan pasar hasil pertanian seluruh daerah di Aceh.
Lihatlah, berapa banyak kilang padi modern di Aceh? Nihil. Saat ini, pedagang pengumpul di Aceh, menjual padi ke Medan, Sumetara Utara. Sampai di Medan, diolah dengan menggunakan mesin modern, maka jadilah dia beras yang bagus, dengan harga yang sangat mahal. Hasil produksi pertanian lainnya, juga mengalami persoalan yang sama. Pola seperti ini yang patut di rubah oleh pemerintah di seluruh daerah di Aceh.
Petunjuk teknis penggunaan dana BKPG, tampaknya perlu diperluas, dari fisik, simpan pinjam, dan pendirian badan usaha gampong. Jika semua gampong, memiliki BUMG sendiri, dengan jenis usaha yang spesifik, manajemen yang bagus, maka pemerintah tidak akan pusing mengurusi subsidi dana pembangunan untuk gampong. Ini membuat gampong lebih mandiri, menghasilkan laba, untuk membangun daerah. Selain itu, dari sini bisa dinilai keberhasilan keuchik.
Keuchik tidak hanya sebagai pekerja yang membuat surat keterangan untuk warga, mengurusi sengketa antar masyarakat dan persoalan kerukunan antar warga lainnya. Namun, keuchik bisa mengelola bisnis di desanya sendiri. Keuchik yang sukses patut diberi award oleh pemerintah daerah. Ini pula semakin memicu semangat keuchik untuk kerja keras.
Organisasi Keuchik
Selain itu, untuk mengawal kepentingan gampong, maka keuchik perlu membentuk organisasinya. Di Aceh Utara telah terbentuk asosiasi keuchik Aceh Utara (Asgara). Organisasi penting untuk menyatukan kekuatan para keuchik, memperjuangkan kepentingan mereka ke level kabupaten. Jika tidak bersatu, maka para birokrat akan acuh dengan keluhan keuchik, dan keluhan pembangunan di tingkat gampong.
Forum sejenis Asgara ini perlu dibentuk oleh para keuchik di seluruh kabupaten. Sehingga, perjuangan keuchik dan gampong bisa disampaikan kepada para pengambil kebijakan.
Sampai saat ini, masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah di kabupaten/kota dan pemerintah provinsi untuk memajukan gampong. Selain itu, masyarakat harus pro aktif untuk memajukan gampong dan daerahnya sendiri. Mari bersatu membangun gampong.