Pemekaran di Aceh Utara Untuk Kepentingan Siapa?
Laporan Masriadi Sambo - KONTRAS
Saat ini tercatat ada 27 kecamatan di Aceh Utara. Lalu, muncul gagasan melakukan pemekaran tiga kecamatan lagi. Konon, tujuan pemekaran ini untuk menyejahterakan rakyat. Ada apa lagi?
PUBLIK Aceh Utara tiba-tiba geger karena ada wacana pemekaran di kabupaten yang kini mengalami krisis keuangan yang sangat dalam. Pasalnya, saat ini kabupaten tersebut sangat sulit untuk membangun. Masalahnya, tidak punya uang. Program pembangunan pun jalan di tempat.
Kini, sejumlah elite di tiga kecamatan berencana memekarkan diri dari kecamatan induknya. Dalil yang digunakan adalah atas nama rakyat dan atas dasar percepatan pembangunan di pedalaman kabupaten itu.
Sebanyak tiga kecamatan yang dimekarkan, yakni Kecamatan Kuta Piadah dimekarkan dari Kecamatan Seunuddon, Kecamatan Lamkuta dari Kecamatan Sawang, dan Kecamatan Peuto dari Kecamatan Lhoksukon.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kontras, konsep pemekaran itu telah disusun sejak tahun 2006. Tiga kecamatan baru itu pun menyusun tim pemekaran. Koordinator pemekaran ditunjuk Tarmizi AR. Tarmizi ketika ditemui Kontras, membenarkan rencana pemekaran sejak 2006 lalu. Namun, baru 24 Juni 2010 Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, mengirimkan surat kepada Gubernur Irwandi Yusuf tentang hasil verifikasi data pemekaran tiga kecamatan itu. Dalam suratnya, Bupati menyebutkan, ketiga kecamatan itu layak dimekarkan.
“Barusan saja, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah menjawab surat bupati itu. Gubernur meminta bupati agar mempertimbangkan rencana pemekaran untuk pemerataan dan percepatan pembangunan di Aceh Utara,” sebut Tarmizi.
Dia menyebutkan, Pemerintah Aceh Utara juga telah mengirimkan surat kepada DPRK setempat untuk meminta persetujuan. “Untuk lokasi perkantoran di tiga kecamatan baru itu sudah disiapkan oleh masyarakat. Tiga hektare tanah masing-masing kecamatan telah kami siapkan. Kalau soal pegawai dan mobil dinas, tinggal dikirim saja ke kecamatan baru itu. Karena, pegawai dan mobil dinas memang sudah banyak di kabupaten ini,” terang Tarmizi.
Dia menyebutkan, jika ada kalangan yang berbeda pandangan terkait rencana pemekaran merupakan hal yang wajar. Pasalnya, seluruh kebijakan pasti ditanggapi beragam. Ada yang pro, sangat banyak pula yang kontra.
“Terpenting, rencana pemekaran ini tidak ada kepentingan elite. Ini murni kepentingan masyarakat, agar masyarakat mendapatkan akses layanan kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan yang baik,” terang Tarmizi.
Tolak pemekaran
Sementara itu, Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Aceh Utara dan Lhokseumawe, menolak rencana pemekaran itu. Juru bicara FKMS, Safwani SH, menyebutkan, rencana itu hanya untuk kepentingan segelintir elite politik di tiga kecamatan tersebut.
“Kalau alasannya kesejahteraan, kecamatan yang sudah dimekarkan saja sampai sekarang belum ada pembangunan yang signifikan. Itu hanya alasan saja, untuk mengisi jabatan tertentu di tingkat kecamatan,” sebut Safwani.
Dia menyontohkan, sejumlah kecamatan hasil pemekaran belum mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang baik. Contohnya, Kecamatan Pirak Timu, hasil pemekaran dari Kecamatan Matang Kuli.
Sudah empat tahun pascapemekaran kecamatan, sampai saat ini belum ada pembangunan yang signifikan. Masyarakat di pedalaman itu hingga kini belum bisa menikmati infrastruktur jalan yang baik. Di sepanjang jalan kecamatan itu banyak lumpur. Selain itu, ratusan hektare sawah masih bergantung pada air hujan. Tak ada irigasi sama sekali.
Di sektor pendidikan, hanya ada satu sekolah menengah pertama (SMP) negeri di kecamatan itu. Itu pun sangat memprihatinkan. Tidak memiliki pagar, dan hanya memiliki enam ruang kelas. Rumput panjang di halaman, plus segala kekurangan lainnya. Maka lengkap sudah penderitaan daerah pedalaman.
Hal yang sama terlihat di Kecamatan Geureudong Pase hasil pemekaran dari Kecamatan Syamtalira Bayu. Di daerah itu, seluruh jalan masih berbatu. Bahkan, Geureudong Pase yang sumber pendapatannya hanya bergantung pada hasil pertanian hingga kini masih bergelut dengan gangguan gajah liar. Pemerintah Aceh Utara belum mampu mengatasi gangguan hewan itu hingga kini.
Potret serupa juga terlihat di Kecamatan Paya Bakong, Kecamatan Kuta Makmur, Kecamatan Nisam Antara, dan sejumlah kecamatan lainnya hasil pemekaran dari kecamatan induk. Semuanya masih hidup dalam kondisi memprihatinkan.
“Jadi, realitas alam ini tak bisa terbantahkan. Menjadi pertanyaan kita, mengapa Camat di kecamatan induk memberikan rekomendasi pemekaran, lalu mengapa Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, menerima. Harusnya, dilihat dulu, apakah ini mendesak atau tidak,” tegas Safwani.
Proses pemekaran kecamatan harus memenuhi beberapa syarat seperti syarat administratif yang berisikan batas usia kecamatan induk, jumlah desa, keputusan badan musyawarah desa, keputusan kepala desa, dan surat rekomendasi dari camat, bupati, dan gubernur.
Syarat dari segi fisik kewilayahan yaitu jumlah desa, lokasi calon ibu kota kecamatan, dan sarana-prasarana pemerintah. Syarat teknis terdiri atas jumlah penduduk, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, aktivitas perekonomian, ketersediaan sarana dan prasarana. Semua syarat itu telah dipenuhi tiga calon kecamatan baru tersebut.
Safwani menyebutkan, kini benteng terakhir untuk menolak rencana pemekaran itu hanya pada DPRK Aceh Utara. “Kita minta DPRK Aceh Utara menolak rencana pemekaran itu. Lebih baik fokus pada peningkatan PAD, dibanding mengurusi persoalan pemekaran,” tegas Safwani.
Hal senada disebutkan Koordinator LBH Pos Lhokseumawe, Rahmad Hidayat SH. Dia menilai, pemekaran kecamatan tidak tepat waktu. “Kalau tidak disokong dengan dana yang kuat, buat apa pemekaran. Kalau ada dana, mengapa tidak semua kecamatan yang terlalu luas, dimekarkan,” sebut Rahmat. Dia meminta, agar masyarakat mengerti persoalan keuangan yang sedang terjadi di Aceh Utara.
Inilah rekam rencana kebijakan baru di Aceh Utara. Banyak yang menilai ini merupakan kebijakan, “Nafsu besar tenaga kurang.” Nafsu ingin memekarkan kecamatan, namun tidak memiliki pondasi dana yang mapan. Satu benteng lagi yang harus ditembus, sikap DPRK Aceh Utara menyikapi persoalan pemekaran ini. Jika anggota dewan itu menerima, maka bersiap ikat pinggang. Anggaran yang tersisa pun harus dialokasikan lagi untuk membangun sarana pendukung di tiga kecamatan tersebut, seperti kantor camat, koramil, dan polsek.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 561 | Tahun XII 30 September - 6 Oktober 2010