Tim Likuidator PT AAF Ilegal?
Laporan Masriadi Sambo
KEBERADAAN tim likuidator PT Aceh Asean Fertilizer (AAF) kembali digugat. Kali ini tidak tanggung-tanggung, Komisi VI DPR RI yang menyatakan tim yang bekerja menjual aset PT AAF itu ilegal. Benarkah?
KISAH PT Aceh Asean Fertilizer (AAF) kembali dibuka. Kali ini, persoalan keabsahan hukum tim likuidator dipertanyakan. Tim likuidator ini bekerja sejak tahun 2006 untuk mengurusi segala aset PT AAF: Apakah akan dijual atau tidak. Namun, umumnya, aset PT AAF dijual kepada pihak ketiga.
Penjualan aset dimulai sejak tahun 2006, ketika Mahkamah Agung, mengeluarkan fatwa bahwa PT AAF bukan merupakan badan usaha milik negara (BUMN). Jika bukan BUMN, maka mekanisme penjualan aset tidak mesti mengikuti peraturan perundang-undangan. Kejadian ini terjadi pada saat mantan Meneg BUMN, Sugiharto. Saat itu, 7 September 2006, di depan Komisi VI DPR RI, mantan Meneg BUMN, Sugiharto, juga menyatakan PT AAF tidak termasuk kategori BUMN.
Dari sini masalah bermula. Padahal, jika merujuk komposisi pemegang saham, perusahaan yang didirikan oleh negara-negara Asean itu, Indonesia mengantongi 60 persen saham yang diwakilkan ke PT Pupuk Sri Wijaya (Pusri), kemudian disusul Thailand, Philipina, Malaysia masing-masing 13 persen, dan saham Singapura sebanyak 1 persen.
Anggota Komisi VI, DPR RI, Ir Muhammad Azhari M Hum, dalam rilis tertulisnya yang diterima Kontras, menyebutkan dari komposisi saham saja, sudah sangat jelas PT AAF adalah BUMN. Fakta lain yang menyebutkan AAF adalah BUMN, yaitu merujuk pada aturan hukum pendirian PT AAF, yakni peraturan pemerintah No 6/1979 tentang penyertaan modal negara Republik Indonesia dalam bidang pengusahaan dan pengembangan industri pupuk urea. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa Republik Indonesia melakukan penyertaan modal dalam pengusahaan dan pengembangan industri pupuk urea di Daerah Istimewa Aceh bersama-sama dengan negara Asean lainnya.
Disebutkan pula, modal negara yang disetorkan untuk mendirikan perusahaan itu sebesar USS 56.340.000. Dalam UU No 19/2003 tentang BUMN, sangat jelas disebutkan modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. “Dua aturan itu, jelas menyebutkan PT AAF adalah BUMN,” sebut politisi Partai Demokrat asal Aceh ini.
Pria berkacamata ini menyebutkan, penjualan aset BUMN mengacu pada UU No 17/2003 tentang keuangan negara, dan UU No 1/2004 tentang perbendaharaan negara. Dalam UU perbendarahaan negara disebutkan, untuk penjualan aset senilai Rp 10-50 miliar harus mendapat persetujuan menteri keuangan, kemudian penjualan aset senilai Rp 100 miliar harus mendapat persetujuan presiden, dan penjualan aset senilai di atas Rp 100 miliar harus mendapat persetujuan DPR RI.
Pertanyaannya, aset milik PT AAF yang telah dijual saja seperti Kantor PT AAF di Jakarta, dan Medan, Sumatera Utara, bernilai puluhan miliar. Menariknya lagi, persoalan ini telah dibahas di Komisi VI, DPR RI, 7 September 2006 silam. Dalam notulen rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi VI, saat itu dengan Meneg BUMN, telah sepakat untuk membatalkan/menunda proses likuidasi PT AAF yang dilaksanakan atas dasar RUPS PT AAF tertanggal 14 Januari 2006 dengan mengingat pertimbangan yang disampaikan oleh pimpinan DPR melalui surat No KD.02/6429/DPR RI/2006 tertanggal 25 Agustus 2006.
Selanjutnya, komisi VI DPR RI mendesak pemerintah untuk membuat skenario yang menyeluruh terhadap penyelesaian PT AAF yang dikaitkan dengan fokus holding PT Pusri. Kemudian, dalam skenario pemerintah diminta mengkaji restrukturisasi perusahaan dengan mengintegrasikan PT AAF secara korporasi, operasional, dan utilisasi aset PT AAF oleh holding PT Pusri melalui PT PIM. Kemudian, dalam RDP itu juga disepakati bahwa DPR akan membuat panitia kerja untuk membahas persoalan tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, panja DPR RI, 27 September 2006 memutuskan bahwa PT AAF adalah BUMN. Oleh sebab itu, likuidasi PT AAF yang tergabung dalam holding PT Pusri harus sesuai dengan UU No 17/2003 tentang BUMN, dan UU No 1/2004 tentang perbendaharaan negara. Saat itu DPR juga sepakat agar pemerintah melalui menteri BUMN segera membayar tunggakan gaji karyawan PT AAF.
Kemudian, 2 Oktober 2006, tim Panja DPR RI telah melakukan pertemuan informal dengan Meneg BUMN, PT Pusri, PT PIM, mantan direksi PT AAF yang juga bertindak sebagai tim likuidator. Pertemuan itu difasilitasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Marie Elka Pangestu. Dalam pertemuan itu disimpulkan, PT AAF seperti yang dilaporkan oleh Meneg BUMN pada raker dengan komisi VI DPR RI 7 September 2006, melanggar UU sehingga batal demi hukum.
Meneg BUMN bersedia dan berkewajiban mencari dana talangan dari BUMN lainnya untuk membayar tunggakan gaji karyawan terhitung sejak Februari 2006 sampai September 2006 senilai Rp 40 miliar. Kesepakatan lainnya adalah tahun 2007, Meneg dan DPR RI sepakat untuk mengusulkan dana untuk membantu PT AAF dan dimasukkan melalui pos anggaran pada PT PIM.
Selain itu, disepakati pula jika memang belum ada dana dari BUMN lainnya untuk gaji karyawan, akan dipinjam dana penjualan kantor PT AAF senilai Rp 32 miliar. Namun, menurut Ali Gading, mantan direksi PT AAF, saat itu dana sisa penjualan kantor tersebut hanya Rp 8 miliar. Kemudian, DPR RI mengusulkan agar pemerintah segera membicarakan teknis pengoperasian kembali PT AAF dan diintegrasikan dalam PT PIM. Tujuannya untuk memperkuat struktur industri pupuk di dalam negeri.
Anggota Komisi VI, DPR RI, Muhammad Azhari menyebutkan, Mahkamah Agung ketika mengeluarkan fatwanya tidak diberikan informasi yang utuh. Informasi yang diberikan hanya PT AAF adalah perusahaan patungan dari negara-negara Asean. Sehingga, fatwa MA kala itu menyatakan AAF bukan BUMN. Fakta lain yang menyatakan AAF adalah BUMN, yaitu deviden perusahaan tersebut yang langsung disetor ke negara, PT AAF tidak tercantum dalam anak perusahaan PT Pusri, PT AAF masuk dalam eksekutif master plan revitalisasi industri BUMN 2005-2009. Bahkan, direksi dan komisaris PT AAF diangkat oleh pemerintah melalui menteri BUMN, dan bukan diangkat oleh PT Pusri.
Untuk itu, Muhammad Azhari meminta agar tim likuidator berhenti melakukan penjualan aset saat ini. “Lebih baik tim likuidator berhenti menjualkan aset saat ini. Kami sedang mengawal proses ini sampai tuntas. Kita akan panggil semua pihak yang terlibat, termasuk tim likuidator. Pendapat saya, tim likuidator itu ilegal,” sebut Azhari.
Selain itu, fatwa MA yang menyatakan PT AAF bukan BUMN, bisa digugat oleh masyarakat melalui mekanisme judial review. “Kalau masyarakat mau menggugat fatwa MA itu sah saja. Kami siap mengawal isu ini, pokoknya kami di pihak masyarakat lah,” sebut Azhari.
Tolak penjualan aset
Masyarakat di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, menyebutkan, pihak masyarakat siap mengajukan judial review (peninjauan kembali) Fatwa MA yang menyatakan bahwa AAF bukan BUMN kepada mahkamah konstitusi. Masyarakat meminta, agar seluruh aset PT AAF jangan dijual. Pasalnya, dulu, ketika perusahaan itu didirikan, ratusan hektare tanah masyarakat dibeli oleh AAF. Tujuannya mulia, agar perusahaan hidup, masyarakat bisa lebih makmur. Namun, kini, tim likuidator malah menjual aset tersebut, dan hingga kini belum ada kepastian kapan pabrik itu bisa beroperasi kembali.
Informasi lainnya, perumahan PT AAF kini juga dalam proses penjualan. Bagi mantan karyawan bisa membeli rumah di kompleks itu. Harganya variatif, tergantung tipe dan kualitas rumahnya. Bagi masyarakat yang bukan mantan karyawan, terpaksa mencari “kaki” mantan karyawan PT AAF, baru bisa membeli rumah tersebut.
Koordinator Asosiasi Keuchik Dewantara yang mewakili 15 desa di kawasan AAF, Sofyan Hanafiah, mengatakan, perusahaan pupuk tersebut harus dihidupkan kembali. “Keberadaan AAF dan perusahaan lainnya seperti PT KKA dan PIM merupakan kebanggaan Aceh sekaligus penunjang ekonomi masyarakat setempat,” katanya.
Mereka mengklaim, sikap ini telah didukung seluruh masyarakat Dewantara. Tuntutan dinilai cukup beralasan, karena pada awal pembentukan AAF tahun 1979, warga rela melepaskan tanah leluhur mereka, bahkan lokasi kuburan keluarga seluas 400 hektare hanya dengan harga Rp 350 per meter.
“Warga merasa terpukul ketika AAF ditutup dengan alasan tak ada pasokan gas. Selanjutnya perusahaan ini dilikuidasi dan berujung dijualnya sejumlah aset AAF,” pungkas Hanafiah. Menurut warga setempat, aset yang telah dijual oleh tim likuidator antara lain, dua unit gedung berlantai 8 di Jakarta dan satu unit gedung di Medan. Pihak likuidator juga diduga akan menjual tanah dan bangunan kompleks perumahan AAF di Krueng Geukueh, Aceh Utara. Warga meminta agar Pemerintah Aceh mendukung mereka menyampaikan aspirasi ini ke pusat.
“Kami tidak mau tahu, bagaimanapun caranya AAF harus dihidupkan kembali oleh pemerintah. Jika tidak, lahan yang dulu berstatus ganti rugi akan kami ambil alih kembali. Kami juga menentang penjualan aset AAF,” kata tokoh lainnya H Abubakar.
Tanggapan tim likuidator
Salah seorang anggota tim likuidator PT AAF, yang berhasil dihubungi Kontras, Marwan Yahya , menyebutkan, keberadaan tim likuidator legal dan sah. Pasalnya, tim likuidasi dibentuk atas mandat pemegang saham perusahaan itu.
“Pemegang saham itu ada lima negara, Indonesia diwakili oleh PT Pusri. Kita ini sah, karena mendapatkan mandat dari pemegang saham. Sampai saat ini pun, mandat itu belum dicabut oleh pemegang saham. Mandat yang kami terima adalah untuk melakukan likuidasi (pembubaran) PT AAF,” sebut Marwan. Dia mengakui memang sebagian besar aset PT AAF telah dijual sejak 2006 silam.
Dia menyebutkan, pihaknya menghormati permintaan DPR RI agar tim likuidator menghentikan aktivitas penjualan. “Kita hormati, semua orang menghormati permintaan DPR RI ini. Tujuan kami hanya satu, agar pabrik AAF segera ada yang membeli dan menghidupkannya kembali, sehingga banyak tenaga kerja yang bisa ditampung di sana,” sebut Marwan, sembari menyebutkan dia sedang berada di Jakarta untuk mengurusi persoalan PT AAF. Dia juga menyebutkan, jika DPR RI ingin persoalan ini lebih jelas, bisa kembali memanggil tim likuidator, PT Pusri serta Meneg BUMN. “Kan bisa dipanggil lagi semua elemen oleh DPR. Sehingga, persoalannya bisa lebih jelas,” pungkas Marwan.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 562 | Tahun XII 7 - 13 Oktober 2010