Pembangunan Ala Abu Nawah di Aceh Utara
NASIB buruk sedang menimpa Kabupaten Aceh Utara. Pembangunan tidak berjalan paskabobolnya uang kas daerah itu sebesar Rp 220 miliar. Bupati, Ilyas A Hamid dan wakilnya, Syarifuddin SE, kini terjeras kasus bobol kas itu. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Aceh, tersangka lainnya lebih dulu mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta.
Kebijakan pimpinan daerah ini memang kacau balau. Lihat saja, tahun 2008, Pemkab Aceh Utara mengalokasikan anggaran sebesar Rp 6,5 miliar untuk mendirikan perusahaan penerbangan yang diberinama Nort Aceh Airline Service (NAAS) belakangan berganti nama menjadi Nort Aceh Airline (NAA). Pesawat ini hanya terbang dua kali, kemudian berhenti hingga kini. Bahkan, para manajemennya menghilang entah kemana.
Kebijakan lainnya, sejak lima tahun lalu, Pemerintah Aceh Utara sibuk menggelar Nort Aceh Expo (NAE). Dalil yang digunakan sebagai ajang promosi daerah dan mengundang investor untuk berinvestasi ke daerah ini. Tak kurang dari Rp 2 miliar, dana untuk pelaksanaan pameran itu. Tahun ini, pameran digelar 17-31 Desember 2010, menghabiskan dana Rp 1 miliar. Pameran ini layak disebut pasar malam. Hanya banyak pedagang kaki lima asal Medan, Sumatera Utara yang membanjiri lokasi pameran itu. Tak ada pula investor yang disebut-sebut datang, dan berinvestasi di daerah itu. Sepanjang lima tahun terakhir, belum ada satu pun investor yang mau menanamkan modalnya di Aceh Utara.
Tentu, bicara investasi maka bicara kepastian hukum dan keamanan di Aceh. Sampai saat ini, senjata ilegal masih saja ditemukan di Aceh (Serambi, 18-12-2010). Tidak terjaminnya keamanan, membuat investor akan berpikir seribukali lagi untuk menanamkan uang di Aceh. Selain itu, sektor perizinan yang masih lamban, membuat investor enggan membuang energi pada hal-hal yang tak penting. Kemudian, pungutan liar yang masih ada sampai saat ini. Belum lagi infrastruktur yang hancur lebur. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Aceh Utara, 85 persen jalan di daerah itu rusak parah. Para investor tentu menggunakan prinsip ekonomi, menanamkan modal sedikit-dikitnya, meraup untung sebesar-besarnya. Maka, Aceh Utara harue membenahi seluruh sektor, sebelum bermimpi untuk mengundang para investor itu.
Kemudian lihatlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimiliki Aceh Utara. BPR Sabe Meusampe, hingga kini masih berada dalam status pengawasan khusus (DPK) Bank Indonesia. Bank milik Aceh Utara itu terbelit masalah kredit macet mencapai 20 miliar yang bersumber dari APBK 2007. Bank itu dilarang menghimpun dana pihak ketiga. Kini, bank itu disuntik modal tambahan sebesar Rp 3 miliar dari APBK-Perubahan 2010. Kemudian, PT Dunia Barusa Satu (PT BUS) yang mengelola Kapal Motor Marissa. Kapal itu tersangkaut di perairan Pulau Tuangku, Aceh Singkil. Kini, tak bisa beroperasi, dan manajemen meminta dana tambahan untuk biaya penarikan kapal. Padahal, kapal yang dibeli seharga Rp 5,6 miliar itu hingga kini belum menyetor pendapatannya kepada Pemerintah Aceh Utara. Biaya penarikkan kapal ditaksir mencapai ratusan juta, karena harus mendatangkan tag boat dari Singapura.
Sektor usaha lainnya milik Pemerintah Aceh Utara adalah PDAM Tirta Mon Pase. Perusahaan air minum ini juga belum pernah menyetorkan PAD untuk Aceh Utara. Maka, lengkap sudah penderitaan daerah ini.
Pembangunan lainnya yang dilakukan, adalah mengekspor barang melalui Pelabuhan Krueng Geukuh, Aceh Utara. Niat ini baik. Namun, pelaksanaannya yang tidak bagus. Tim ekspor, menghadapi puluhan kendala, dari biaya ekspor barang keluar yang awalnya hanya 5 persen kini menjadi 10 persen, ketersediaan barang, dan ketiadaan modal dari para pengusaha ekspor. Perlu diingat, selama ini, pengusaha Aceh hanya sebagai agen pengumpul, yang menjual barang pada pengusaha Medan, Sumatera Utara. Setor barang, dapat uang, lalu beli barang lagi di Aceh. Sektor ini juga tidak dibenahi oleh Aceh Utara.
Angka pengangguran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampai September 2010, penganggguran mencapai 49.962 dari total penduduk 543.476 di Aceh Utara. Ini menunjukkan, pemerintah tak mampu mengurangi angka pengangguran yang terus “menggunung”. Jika ini terus terjadi, resikonya, kriminalitas juga akan meningkat. Jika kriminalitas meningkat, investor sampai kiamat pun tak akan mau datang ke daerah ini.
Pembenahan Menyeluruh
DARI beberapa persoalan mendasar di Aceh Utara, tampaknya daerah ini perlu berkaca pada kegagalan yang selama ini dijalankan. Pemimpin yang baik, tentu pemimpin yang mau berkaca, mengevaluasi diri, dan bekerja keras untuk memperbaiki kesalahannya.
Masa kepemimpinan Bupati Ilyas A Hamid, dan wakilnya Syarifuddin hanya setahun lagi. Empat tahun menjabat, tak ada kebijakan yang bisa membanggakan, menghasilkan keuntungan untuk rakyat Aceh Utara. Rakyat masih terisolir dengan infrastruktur jalan yang buruk, pengangguran meningkat dan lain sebagainya.
Dengan kondisi dana APBK yang sangat pas-pasan Rp 900 miliar lebih untuk membiaya 27 kecamatan, tentu tidak mencukupi. Aceh Utara harus mencari pendanaan sektor lain, misalnya membubarkan badan usaha yang tidak produktif dan menjadi beban APBK. Memangkas seluruh biaya aparatur yang tidak penting seperti biaya kertas, perjalanan dinas yang berlebihan, dan lain sebagainya. Selain itu, menyusun program yang memiliki dampak langsung pada masyarakat. Misalnya, membuka usaha yang bisa menampung komuditi pertanian milik petani Aceh Utara dengan harga pasar. Selama ini, petani cendrung tertipu para mafia bisnis. Ketika musim panen tiba, maka harga akan anjlok. Ini yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Aceh Utara. Tak perlu bermimpi memiliki pesawat terbang, kapal motor dan angan-angan mewah lainnya. Cukup satu kebijakan saja yang populis, dan menguntungkan rayat. Kebijakan ini akan dikenang masyarakat Aceh Utara, karena memang berdampak positif pada perbaikan ekonominya.
Selain itu, hubungan Aceh Utara-Jakarta perlu diintensifkan. Apa pun ceritanya, daerah sangat memerlukan dana pusat. Banyak anggota DPR RI asal Aceh, dalam beberapa kali pertemuan dengan saya menyebutkan mereka tidak mengetahui titik masalah yang dihadapi daerah. Bahkan, pejabat daerah tidak pernah mau menyampaikan persoalan itu. Setahu saya, seluruh komisi di DPR RI, ada anggota dewan dari pemilihan Aceh. Ini harusnya bisa dimanfaatkan untuk melobi dana dari berbagai kementrian di Jakarta.
Lobi Jakarta ini pula yang dimainkan oleh Kabupaten Pidie Jaya. Sehingga, kabupaten baru itu sangat agresif melakukan pembangunan, membuat jalan tol, rumah duafa dan lain sebagainya, dan seluruhnya bersumber dari dana kementrian. Ini luar biasa. Mampukah Aceh Utara melakukan itu? Kita tunggu saja, aksi DPRK Aceh Utara dan Pemerintah Aceh Utara dalam setahun terakhir ini? [MASRIADI SAMBO]