Potret Korupsi di Aceh
Masriadi Sambo dan Said Kamaruzzaman - KONTRAS
NEGERI para koruptor. Itulah yang cocok ditabalkan untuk Provinsi Aceh ini. Pasalnya, sampai saat ini, semangat pemberantasan korupsi belum menghasilkan apa pun. Itu bisa dilihat dari survei barometer korupsi di Aceh yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII).
Hasil survey itu dilansir TII, Juni 2010 lalu. Dalam sambutan hasil survey itu, Sekjen TII, Teten Masduki, menyebutkan, Aceh memang provinsi yang memiliki banyak tantangan, yaitu memasuki masa transisi menuju damai, transisi menuju sejahtera, dan transisi menuju demokrasi, yang terjadi dalam tempo bersamaan. Teten menilai, persoalan birokrasi di Aceh masih berjalan sangat lamban.
Restrukturisasi dinas dan badan di lingkungan Pemerintah Aceh belum membawa dampak signifikan untuk perbaikan birokrasi. “Hanya kepemimpinan politik baru saja berganti. Birokrasi masih berjalan lamban. Selain itu, masih lambat pula revitalisasi lembaga lokal untuk turut memantau proses transisi, masih terfragmentasinya kekuatan masyarakat sipil, dan belum padunya lembaga pengawasan di banding besaran dana yang dikelola,” tulis Teten.
Bahwa Aceh mengelola dana yang sangat besar setiap tahun bukan isapan jempol lagi. Coba lihat struktur APBA dari tahun ke tahun dan bandingkan dengan kondisi sebelum tsunami. Ada perbedaan jumlah yang luar biasa, antara lain dengan adanya Dana Otonomi Khusus.
Dalam tiga tahun terakhir, dana Otsus yang diberikan Pemerintah Indonesia untuk Aceh sebesar Rp 10,9 triliun, dengan rincian tahun 2008 sebesar Rp 3,5 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 3,6 triliun, tahun 2010 sebanyak Rp 3,8 triliun. Tahun depan (2011) akan diberikan sebanyak Rp 4,4 triliun. Dana otsus adalah salah satu sumber pendapatan Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam pasal 179 ayat (2c) UUPA.
Yang menjadi tanda tanya banyak pihak, kemana dana Otsus digunakan? Mengapa tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian rakyat?
Melihat berbagai persoalan yang dihadapi Aceh pascadamai, TII melakukan survei dengan harapan survei itu menjadi acuan untuk kemajuan masa depan Aceh. Dalam survei itu, TII mewawancarai 2.140 responden di 23 kabupaten di Aceh. Responden yang diwawancarai berusia di atas 17 tahun dengan presentase responden kalangan mahasiswa sebanyak 20 persen, PNS 20 persen, pegawai swasta 20 persen, tokoh masyarakat, agama dan adat 25 persen, TNI/Polri 5 persen, dan tidak bekerja 10 persen.
Hasilnya, untuk pertanyaan performa pemerintah pada level provinsi, sebanyak 75 persen responden menilai kinerja pemerintah tidak efektif, 19 persen bahkan menilai sangat tidak efektif, hanya 13 persen responden yang menilai performa Pemerintah Aceh efektif, dan satu persen yang menilai sangat efektif.
TII menilai, jawaban para responden itu sangat wajar. Mengingat fenomena korupsi bukan hanya terjadi pada masa kepemimpinan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dan wakilnya, Muhammad Nazar saja. Korupsi juga terjadi pada era kepemimpinan sebelumnya.
Selain itu, responden juga menilai, ada enam lembaga yang dinilai berwajah korup, yaitu Pemerintah Aceh, DPRA, kepolisian, kejaksaan tinggi, pengadilan tinggi, dan perguruan tinggi.
Enam lembaga itu dinilai korup, karena lembaga itu umumnya dililit masalah. Misalnya, kata Teten, masih ada praktek jual beli proyek, kesepakatan di luar ruangan, lobi-lobi informal, jual-beli kasus, semua proses-proses di belakang meja yang terjadi di lingkungan lembaga-lembaga seperti DPRA, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan perguruan tinggi. Laporan ini muncul dalam bentuk pengalaman pribadi responden, yang pernah berurusan dengan enam lembaga itu.
Karena itu pula, sebanyak 38 persen menilai Pemerintah Aceh lembaga paling korup, disusul kepolisian 26 persen, DPRA 23 persen, pengadilan tinggi, dan kejaksaan tinggi sebanyak tiga persen.
Pertanyaan berikutnya yang dilakukan dalam survei itu, bagaimana masyarakat menilai wajah korupsi sebelum dan sesudah tsunami? Jawaban dari masyarakat, sebanyak 50 persen responden menjawab setelah tsunami terjadi korupsi lebih parah, 14 persen responden menjawab sebelum tsunami lebih parah korupsi di Aceh, dan 35 persen responden menjawab sebelum dan sesudah tsunami wajah korupsi sama saja. Tidak ada perubahan signifikan.
Tahun 2007 lalu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mendirikan Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA). Adalah Tengku Ridwan Muhammad, yang didaulat menjadi ketua lembaga yang sangat luar biasa ini, ditakuti para pejabat teras Aceh.
Setahun terakhir, lembaga ini dipimpin Amrizal J Prang. Banyak kalangan menilai kinerja lembaga ini penuh kepentingan. Pasalnya, lembaga itu didirikan atas dasar SK Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Mengingat lembaga ini dibentuk dan bertanggung jawab kepada gubernur, tentu saja gubernur berpeluang mengintervensi kasus-kasus yang ditangani oleh lembaga tersebut.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 571 | Tahun XII 9 - 15 Desember 2010