Mencoba Bertahan di Tengah Kemajuan Industri
Ketang...keting.....ketang...kethik! suara yang lahir dari pertemuan palu dengan lempengan besi telah sangat akrab bagi warga Kampung Mee Matang Payang, Kecamatan Tanah Pasir, Kabupaten Aceh Utara. Meski tak pernah mendapatkan bantuan modal, mereka tetap mencoba bertahan di tengah pesatnya kemajuan industri.
UDARA siang Sabtu (15/1) yang menyengat seakan tidak mengusik mereka untuk terus menekuni pekerjaannya. Samsul Bahri (35) adalah satu di antara warga Kampung Mee yang masih setia melakoni aktivitas itu sejak dua puluh tahun lalu. Ia meneruskan usaha itu dari orangtuanya. Saat itu, Samsul bekerja bersama dengan dua orang lainnya.
Sesekali matanya memperhatikan besi yang merah membara dibakar ke dalam api. Lalu mengangkat besi itu, memukulnya dengan martil, lalu mencelupkan ke air (Seupoh), kemudian di bakar lagi. Dipipih lagi, sampai besi itu rata. Dibentuk menjadi parang. Sesekali dia berhenti. Mengusap peluh yang menetes di dahi. “Ini sudah menjadi usaha keluarga sejak zaman dulu. Saya meneruskan usaha keluarga,” sebut Samsul Bahri.
Kawasan itu memang sentral pengrajin pande besi. Lima desa tercatat sebagai sentral produksi parang dan alat pertanian yaitu Desa Paloh, Blang, Aleu, Mee Matang Payang dan Desa Pade, Kecamatan Tanah Pasir.
Untuk menjaga persaiangan usaha, masing-masing pengrajin membuat produksi khusus. “Misalnya, ada yang khusus membuat skop, pisau dapur, parang, cangkul, rencong, pedang. Itu berbeda-beda produksinya. Jadi, tidak ada saingan usaha,” sebut Samsul Bahri.
Bahan baku diambil dari besi per mobil. Besi menentukan kuwalitas produk yang dihasilkan. Jika besi yang digunakan tidak bagus, maka hasilnya akan buruk, mudah patah, atau mudah tumpul.
Samsul Bahri sendiri mampu memproduksi parang sebanyak 50 buah per hari. “Itu dengan tiga pekerja. Kalau pekerja banyak, mungkin bisa lebih banyak lagi. Kami tak sanggup menggaji pekerja, labanya sangat sedikit,” ujar Samsul. Dia membandrol parang buatannya Rp 30.000 per buah. Tergantung ukurannya, jika parang panjang bisa dijual Rp 45.000 per buah.
Umumnya, pengrajin di daerah itu masih menggunakan alat tradisional untuk memproduksi parang. Misalnya, dengan menggunakan palu memipih parang, memotong besi dengan gergaji besi, dan mempertajam dengan batu asah, bukan dengan grenda.
“Hanya satu dua orang saja yang sudah menggunakan grenda untuk mempertajam parang. Selebihnya, dipipih setipis mungkin, kemudian diasah dengan batu asah. Kalau ada alat modern, pasti kerjaan kami bisa lebih cepat dan mudah,” ujar Samsul Bahri.
Namun, apa hendak dikata. Samsul sudah bosan membuat proposal, meminta bantuan peralatan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh Utara. “Kita dianggap kucing lapar merengek-rengek dan program pemerintah hanya di buku laporan saja, tak ada realisasi lapangan,” kata dia.
“Sudah delapan kali saya buat proposal. Sampai sekarang belum ada satu pun bantuan yang datang. Alasan mereka macam-macam, kalau dulu bilang diupayakan dalam APBK. Kalau sekarang bilang sudah tak ada uang, karena kasus Rp 220 miliar itu. Tahun depan, entah apa lagi alasan mereka,” sambung ayah tiga anak ini.
Hal senada disebutkan pengrajin lainnya, Ismail Hasan. Dia menyebutkan sudah enam kali mengajukan permohonan bantuan permesinan ke Disperindag Aceh Utara. Namun, sampai kini, bantuan tak kunjung datang.
Pelatihan manajemen
Kadis Perindag Aceh Utara, Mehrabsyah, yang ditemui terpisah menyebutkan, pihaknya hanya bertugas melakukan pembinaan industri kecil di Aceh Utara. Pembinaan yang dimaksud Mehrabsyah, dengan cara memberikan pelatihan manajemen usaha.
“Kita bertugas sebatas pembinaan saja. Kalau memberikan bantuan atau kredit lunak, kita tidak mampu. Silahkan ke bank, kalau butuh kredit. Kami hanya membina saja,” pungkas Mehrabsyah singkat.
Siang terus merangkak naik. Samsul terus bekerja, memipih besi menjadi parang. Menunggu entah kapan mendapatkan mesin yang canggih. Laba dari penjualan parang, hanya cukup untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Meski tidak mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah, Samsul terus berkarya. Menghidupi dapur rumah tangga dari usaha tersebut. Entah sampai kapan nasib mereka mendapat perhatian.(masriadi sambo)
Akses m.serambinews.com dimana saja melalui browser ponsel Anda.